Selasa, 20 Mei 2008

Umat Islam, Fiqih dan Sains

(Catatan kecil atas Seminar: Paradigma Fiqih penyebab Keterpurukan)

SURYA, 23 Mei 2003 
Oleh: Agus Purwanto*)

Di dalam tafsirnya, al-Jawahir, Syeikh Jauhari Tontowi guru besar dari Universitas Kairo menggugat ulama islam. Menurutnya di dalam kitab suci al-Qur’an terdapat lebih dari 750 ayat kauniyah, ayat tentang alam semesta, dan hanya sekitar 150 ayat fiqih. Anehnya, para ulama telah menulis ribuan kitab fiqih tetapi nyaris tidak memperhatikan serta menulis kitab tentang alam raya dan isinya.

Ummat dan para ulama banyak menghabiskan waktu untuk membahas persoalan fiqih, dan seringkali berseteru serta bertengkar karenanya. Mereka lalai atas fenomena terbitnya matahari, beredarnya bulan, san kelap-kelipnya bintang. Mereka abaikan gerak awan di langit, kilat yang menyambar, listrik yang membakar, malam yang gelap gulita, dan mutiara yang gemerlap. Mereka juga tak tertarik pada aneka tumbuhan di sekitarnya, binatang ternak maupun binatang buas yang bertebaran di muka bumi dan aneka fenomena serta
keajaiban alam lainnya.

Pandangan Dunia

Selain disibukkan urusan fiqih, pengalaman dan pengamalan keagamaan kita cenderung esoteris dan mengabaikan serta meremehkan akal. Padahal secara empirik akal sangat powerful. Al-Qur’an tidak kurang dari 43 kali menggunakan kata akal dalam bentuk verbal seperti afala ta’qiluun, apakah engkau tak berfikir. Sepuluh ayat lainnya menggunakan kata verbal fikir seperti laallakum tafakkarun, agar engkau memikirkannya. Teguran agar manusia menggunakan akalnya seoptimum mungkin.

Sains adalah produk riel dari akal dan kita pun menyaksikan bukti diktum knowledge is power. Dalam rentang waktu pendek Afganistan dan Irak yang terbelakang luluh lantak oleh produk sains. Negara-negara maju yang menjadi kiblat peradaban saat ini adalah mereka yang menguasai sains dan teknologinya.

Ungkap populer “Science without religion is blind and religion without science is lame” (Ilmu pengetahuan tanpa agama adalah buta, agama tanpa ilmu pengetahuan adalah lumpuh) menggambarkan hubungan antara ilmu pengetahuan dan agama. Ilmu pengetahuan dan agama saling melengkapi, tidak bisa saling meniadakan dan masing-masing mempunyai domainnya sendiri-sendiri. Ilmu pengetahuan memberi cahaya dan kekuatan sedangkan agama memberi cinta, harapan dan kehangatan. Ilmu pengetahuan membantu menciptakan peralatan dan mempercepat laju kemajuan, agama mengarahkan dan menetapkan tujuan upaya manusia tersebut.

Ilmu pengetahuan memperindah akal dan pikiran, agama memperindah jiwa dan perasaan. Ilmu pengetahuan dan agama membuat manusia merasa nyaman. Ilmu pengetahuan melindungi manusia dari aneka penyakit, banjir, gempa bumi dan badai. Agama melindungi manusia dari keresahan, kesepian dan pikiran picik. Ilmu pengetahuan menuntun pada revolusi lahiriah, sedangkan agama membawa pada revolusi batiniah.

Persoalannya, tradisi sains dan minat umat islam dalam usaha menguasai ilmu pengetahuan sangat rendah. Keadaan ini tidak bisa dilepaskan dari pandangan dunia (world view) umat islam yang didominasi kalam al-Asy’ariyah. Dalam usahanya menjaga keagungan dan superioritas Sang Pencipta aliran ini telah menegasikan peran atau kodrat manusia dan alam sedemikian rupa.

Al-Ghazali juru bicara terkemuka aliran al-Asy’ariyah, seperti halnya Hume menyatakan tidak perlunya hubungan kausal di alam semesta ini. Kausalitas hanyalah following upon (kelanjutan dari) dan pengulangan yang menyebabkan manusia percaya bahwa suatu sebab diikuti oleh efeknya.

Pandangan tersebut mendominasi dunia islam (sunni) bahkan sampai saat ini dan menjadi faktor yang menyulitkan pengembangan ilmu pengetahuan yang bertumpu pada landasan hukum-hukum yang tetap di alam (sunnatullah). Pandangan terakhir ini berpijak pada keyakinan bahwa Allah tidak mungkin bermaksud mendustai dan menyesatkan. Dia adalah Pencipta yang Pengasih, yang mengatur segala sesuatu di jagat raya agar dapat dihuni dan dimengerti
manusia.

Dengan demikian pandangan dunia yang memacu pengembangan nalar merupakan keniscayaan. Setelah itu, memulai pendirian bangunan ilmu itu sendiri. Dalam upaya realisasi ini dan agar tidak mengulangi kesalahan sains modern perlu disadari tiga hal sejak dini yaitu aspek aksiologis, ontologis dan epistemologis dari ilmu pengetahuan.

Aspek aksiologis muslim adalah ujung dari mata rantai tujuan setiap usaha manusia termasuk membangun ilmu adalah Allah itu sendiri. Artinya, bangunan ilmu akhirnya harus bermuara kepada Allah. Kongkritnya
inna yahsallahi min ibadihil ulama, jiwa ilmuwan kian terkait dengan Sang Khalik justru setelah terlibat dalam pergumulan memahami pola ciptaan-Nya. Bibir mereka bergetar robbanaa ma kholaqta hadza bathila subhaanaka faqinaa adzabannar (QS al-Imran 191). Tujuan utilitarian-materialistik sains seperti harus dimanfaatkan untuk peningkatan kesejahteraan hidup umat manusia adalah tujuan derivatif yang merupakan realisasi misi rahmatan lil’alamin.

Aspek kedua adalah ontologi yakni apa yang dikaji oleh ilmu pengetahuan. Ontologi sains modern menolak sesuatu yang non-material maupun unexperimentable. Islam menegaskan bahwa obyek ilmu adalah
huwa ma siwallah, sesuatu yang bukan Allah baik yang wujud maupun yang gaib. Andai hanya (baru) bisa merumuskan yang wujud, sains tidak perlu menutupi ketakmampuannya dengan penolakan atas hal yang gaib.

Aspek ketiga adalah epistemologi yakni dengan apa sesuatu bisa dikenali atau diketahui. Salah satu fungsi diturunkannya Al-Qur’an adalah sebagai huda atau petunjuk agar manusia menjadi terarah. Petunjuk ini juga berlaku bagi para ilmuwan dalam membangun ketiga landasan ilmu pengetahuan. Tegasnya, menurut epistomologi islam kitab suci al-Qur’an juga bisa menjadi sumber pengetahuan.

Asumsi-asumsi dasar atomisme al-Baqillani, salah seorang pengikut Asy’ariyah, menyandarkan diri sepenuhnya pada teks-teks kitab suci. Atomisme ini diketahui bersesuaian dengan atomisme kuantum. Contoh lain adalah QS an-Naml:18 yang mengisyaratkan bahwa pemimpin semut adalah ratu atau semut betina (an-Namlatu). Kita tidak boleh sekedar berapologetik yakni mencocokkan ayat dengan hasil sains. Sebaliknya, premis atau asumsi diambil dari kitab suci dan selanjutnya ditindaklanjuti dengan riset.

Sains klasik dimulai oleh usaha kolektif beberapa tokoh di zaman renaisans seperti Leonardo da Vinci, Copernicus, Kepler dan Galileo. Landasan filosofisnya dibangun oleh Francis Bacon yang dituangkan di dalam bukunya Novum Organum. Bacon sangat anti metafisika dan menekankan pentingnya eksperimen dalam menyibak rahasia alam semesta. Metoda ini kemudian diakui sebagai metoda ilmiah. Pandangan ini disempurnakan dan diberi basis matematis oleh Isaac Newton.

Sains terus berkembang dan lahirlah dua teori penting di dalam fisika yaitu teori relativitas dan mekanika kuantum di awal abad ke-20. Kemajuan material pun bergerak fantastis. Sebenarnya tidak ada masalah dengan metoda eksperimen yang diajukan oleh Bacon. Masalah timbul ketika para filsuf mengklaim bahwa eksperimen adalah satu-satunya jalan dan realitas hanyalah sesuatu yang terukur dan teramati. Seperti telah disebutkan terdahulu penguasaan sains harus dibarengi kesadaran atas landasan filosofisnya.

Pandangan dunia yang komprehensif yang menyatakan bahwa Allah mempersilahkan manusia untuk mengelola alam harus disosialisasikan di kalangan umat islam. Manusia dibekali dengan indera dan instrumen akal. Allah siap bekerjasama dengan manusia sepanjang manusia mau dan berusaha dengan-Nya. Hal ini telah dibuktikan oleh masyarakat negara-negara maju seperti Barat dan Jepang yang notabene tidak islam secara formal. Dengan pandangan dunia semacam ini orang islam diharapkan mengalami perubahan orientasi. Selanjutnya, akan berpatisipasi menyibak rahasia alam semesta dan tidak semata menyalurkan energinya dalam perbincangan fiqih.

Hal yang tidak kalah urgennya adalah kenyataan bahwa sains tidak dapat diperoleh dengan belas kasihan tetapi harus direbut. Syeikh al-Zarnuji di dalam kitab ta’limul muta’allim mengutip pesan Rasul saw, “Hikmah adalah sesuatu yang hilang dari orang mu’min, di mana saja kau temukan ambillah”. Hikmah tidak lain adalah ilmu atau kebajikan tertinggi.

Selanjutnya juga perlu disadari, penguasaan atas sains memerlukan waktu panjang atau tidak bisa dengan jalan pintas. Sains yang menyebabkan barat begitu digdaya telah dibangun sejak enam abad silam. Sedangkan Jepang pada jaman restorasi Meiji, tepatnya sejak 1860-an, seribu pelajar terbaik dikirim ke luar negeri dan 299 guru asing didatangkan ke Jepang. Kajian sistematik atas sains dan teknologi barat dilakukan dan 86 guru sains asing diundang dalam kurun waktu 1860 s.d. 1890. Tahun 1871 dibangun lembaga riset, 1877 universitas Tokyo didirikan dan dua tahun kemudian 1879 berdiri
Imperial Academy of Sciences. Tahun 1904 hasil kerja ilmiah pertama mereka muncul yaitu model atom Saturnus dari kelompok Nagaoka. 1917 didirikan Institute of Physical and Chemical Research. Bangunan dan tradisi ilmu Jepang telah
dirintis sekitar satu setengah abad silam.

Wawasan masyarakat muslim harus diperluas terlebih lagi cerdik pandainya. Fiqih hanyalah salah satu bagian saja. Calon ilmuwan muslim perlu dibekali dengan wawasan filsafat sehingga mengenal akar ilmu pengetahuan. Bila tidak mereka akan terperangkap dalam lingkaran sempit spesialisasi ilmu yang tajam. Atau mengutip Syeikh Jamaluddin al-Afghani, tanpa pemahaman filsafat para ulama hanya seperti lilin kecil yang menerangi lingkup kecil pula.

Pudarnya filsafat pada gilirannya juga melemahkan tradisi berfikir logis-analitis yang diperlukan dalam membangun sains. Kini sains merupakan perkara wajib, mengingat kaidah
ushul fiqih, wa maa yutawassalu bihi ilaa iqoomatil waajibi yakunu waajiban. Segala sesuatu yang mengantarkan pada kewajiban (seperti kemuliaan islam) hukumnya menjadi wajib.

*)
Doctor of Science, alumni Universitas Hiroshima. Pekerja LaFTiFA (Lab
Fisika Teori dan Filsafat Alam) ITS.





Tidak ada komentar: