Selasa, 20 Mei 2008

ITS dan Sarjana Santri

SURYA, 28 Ok tober 2002
Oleh: Agus Purwanto*)

Hari-hari ini kawasan kampus ITS dipenuhi pamflet, spanduk dan kegiatan
pemilihan rektor periode 2003-2007 serta dies natalis ITS ke 42. Meski dua
event ini cukup semarak di dalam tetapi tidak bergaung keluar. Sayang
perguruan tinggi papan atas Indonesia timur ini tidak memanfaatkan
momentum tersebut untuk mencuri perhatian kalayak luas. Bandingkan
dengan event serupa di ITB, UGM, UI, dan IPB. PT terakhir ini bahkan
seperti tidak mau kalah dari tiga PT terdahulu. Pemilihan rektornya
disemarakkan oleh mantan penyanyi cantik Maya Rumantir sebagai salah
seorang carik (calon riektor)nya.

Proses pemilihan rektor ITS sampai saat ini berlangsung biasa-biasa saja
dan terkesan sangat formal. Keformalan ini barangkali disebabkan oleh
persyaratan awal carik. Hanya guru besar atau staf bergelar doktor dengan
jabatan lektor kepala ke atas dan belum berusia 61 tahun yang boleh maju
menjadi carik. Akibatnya hanya sekitar empat puluh orang yang memenuhi
persyaratan tersebut. Selanjutnya hanya 19 orang yang secara tertulis
menyatakan bersedia menjadi carik. Dua hal terakhir ini barangkali perlu
mendapat catatan tersendiri.

Pertama ITS hanya mempunyai empat puluhan guru besar dan doktor
lektor kepala usia aktif. Satu angka yang cukup kecil bila mengingat usia
ITS yang sudah masuk tahun ke-42 dan berobsesi menjadi mercusuar PT
Indonesia timur. Angka ini mengindikasikan adanya keterpisahan antara
jabatan administratif formal guru besar, lektor kepala dan gelar akademik
formal doktor. Artinya staf yang rajin ngurusi jabatan administratif enggan
meningkatkan jenjang akademik formalnya dan sebaliknya. Sebagai
ilustrasi adalah staf FMIPA dengan empat jurusan yang ada. Tidak kurang
dari 150 staf di fakultas ini. Sekitar sepertiganya adalah lektor kepala ke
atas dan sekitar 20 staf bergelar doktor. Dari jumlah tersebut yang
memenuhi persyaratan carik hanya empat orang.

Pertanyaan yang layak diajukan dan rasanya perlu diperhatikan bagi
rektor ITS terpilih nanti adalah mengapa fenomena itu terjadi? Mengapa
yang aktif meningkatkan jenjang administrasinya relatif pasif pada
peningkatan kualitas akademiknya, demikian pula sebaliknya? Secara
mudah orang bisa mengatakan faktor peraturan dan mekanisme yang
mungkin tidak mendukung. Selain itu juga faktor internal staf itu sendiri.
Para staf sudah merasa cukup puas dengan dapat memenuhi hajat
hidupnya sendiri. Soal institusi dengan segala misi serta pengembangannya
adalah perkara nomor sekian.

Faktor kedua seolah didukung oleh kenyataan bahwa dari 40an staf yang
lolos seleksi awal hanya 19 orang yang bersedia menjadi carik. Dari
kampanye para carik 9 Oktober lalu tampak bahwa mereka ini pun tampak
maju seadanya. Tanpa persiapan khusus dan tanpa gagasan alternatif yang
ditawarkan untuk menjadikan ITS sebagai salah satu PT terdepan.
Bandingkan dengan rektor ITB saat ini yang dulunya maju dengan gagasan
–gagasan dan didukung penuh oleh tim suksesnya.

Kenyataan di atas seperti membenarkan kritik bahwa kita secara umum
tidak mempunyai pemimpin dan hanya mempunyai pejabat. Namun
demikian hajatan tanpa greget ini telah dan sedang berlangsung. 16
Oktober lalu telah dilakukan perhitungan suara yang meloloskan lima
carik untuk diperas lagi menjadi tiga calon 4 Nopember mendatang. Karena
itu siapa pun carik terpilih nanti semestinyalah didukung oleh seluruh
sivitas akademika. Tentu agar dinamika kampus termasuk prosesi
pemilihan rektornya mendatang menjadi penuh greget dan makna. Bukan
seperti saat ini, wujuduhu kaadamihi adanya sama dengan tidak adanya.

Salah seorang staf dosen yang menyempatkan hadir saat kampanye
bertanya kepada carik sekitar impian apa yang hendak ditawarkan jika
terpilih. Seperti telah disebutkan di atas pertanyaan ini tidak terjawab
sebab para carik lebih banyak berbicara formalitas yang sifatnya umum.
Penulis tergelitik dengan pertanyaan di sekitar impian tersebut.

Para pakar kurikulum ITS sudah cukup deskriptif dalam menguraikan
kurikulum yang berbasis kompentensi dan bermuatan lokal. Namun ada
grand story yang rasanya terlewat dan perlu dipertimbangkan khususnya
untuk membangun kultur sekaligus impian ITS. Harus diakui bahwa
banyak staf pengajar ITS yang keluar masuk pesantren dalam rangka kerja
sama. Kerjasama ini umumnya berarah ITS-pesantren artinya tenaga ITS
membantu meningkatkan kualitas pesantren. Lalu bagaimana kerjasama
dengan arah sebaliknya?

Ketika berbicara muatan lokal seringkali para petinggi lembaga ini
mengaitkan dengan lokasi ITS yang dekat dengan laut. Selanjutnya yang
difikirkan adalah laut dengan segala bentuk eksplorasinya. Suatu
pandangan yang tidak salah sekaligus juga wajar mengingat keberadaan
ITS adalah Surabaya kota industri dan niaga.

Surabaya bahkan lebih luas lagi Jatim tempat ITS berada adalah daerah
yang dikenal dengan tradisi mistisnya yang kadang tampak antilogika.
Seringkali peristiwa yang bertentangan dengan akal sehat terjadi di
wilayah ini. Peristiwa ini bukan saja terjadi pada kalangan awam
melainkan juga terjadi di kalangan petingginya. ITS bisa mengambil peran
untuk mengimbangi tradisi ini yakni dengan mengumandangkan urgennya
kekuatan logika.

Dalam peristiwa-peristiwa kasuistik ITS hendaknya proaktif bersuara yang
sekaligus berguna untuk membangun opini secara luas. Sebagai contoh
ketika ramai-ramainya kasus penggalian prasasti batu tulis, mestinya ahli
geofisika ITS bersuara minimum di media yang terbit di Surabaya. Intinya
perisitiwa yang berakhir memalukan itu tidak perlu terjadi jika kita
memanfaatkan pengetahuan geofisika. Demikian juga dengan rencana
pembangunan jembatan Suramadu. Jepang akan mengirimkan insinyur-
insinyur handalnya bukan paranormal atau pasukan jinnya. Hal yang perlu
disadari, kita tidak sedang menolak keberadaan paranormal dan kekuatan
gaib lainnya. Tidak. Kita hanya ingin mendudukkan persoalan pada
porsinya yang tepat agar tidak tumpang tindih dan bermuara pada
absurditas.

Terpenuhinya tuntutan di atas sangat ditentukan oleh kemampuan
individual staf akademik ITS. Karena itu sulit diharapkan kontinuitas dan
akibatnya juga efektivitasnya. Cara lain, ITS perlu memasukkan misi ini
dalam kurikulum makronya. Kebutuhan ini bisa dimasukkan dalam mata
kuliah humaniora. Etika, pandangan dunia tauhid, filsafat agama, filsafat
sains, dan sejarah peradaban hendaknya menjadi materi utama kuliah
humaniora dan agama.

Mata kuliah di atas sifatnya wajib. Ada baiknya bila ditawarkan pula mata
kuliah humaniora/agama yang sifatnya pilihan. Dalam mata kuliah ini
diintrodusir pelajaran nahwu dan shorof. Submateri ini diperlukan sebagai
penguat urgensinya epistemologi alternatif di dalam konstruksi sains
holistik. Sebagai ilustrasi, perhatikan terjemahan al-Qur’an dalam bahasa
Indonesia untuk surat an-Naml ayat 18. Semua terjemahan menyebutkan
“…berkata seekor semut …” padahal bila diperhatikan teks aslinya kita pun
bisa menerjemahkan “…berkata semut betina …” atau “…berkata Ratu semut
…”. Dua terjemahan terakhir ini yang lebih sesuai dengan hasil riset biologi.
Contoh lain adalah apa yang dilakukan para pengikut teologi al-Asy’ariyah
dalam membangun atomisme. Mereka sepenuhnya menyandarkan diri pada
teks-teks kitab suci. Uniknya, meski pandangan mereka atas perilaku
Tuhan mengandung paradoks-paradoks serius tetapi atomismenya sesuai
dengan atomisme kuantum.

Namun kita tidak sedang mencocok-cocokkan pernyataan kitab suci dengan
sains modern. Yang kita inginkan adalah kitab suci bisa menjadi sumber
informasi awal untuk ditindaklanjuti oleh aktivitas riset. Inilah yang tidak
terjadi dalam epistemologi sains modern yang menolak teks-teks wahyu
sebagai salah satu sumber pengetahuan.

Misi tersebut sebaiknya juga didukung oleh kegiatan ekstrakurikuler.
Masjid ITS yang terlanjur bernama sangat mentereng manarul ilmi harus
memperlihatkan makna namanya, menara atau pelita ilmu. Kegiatan
tersebut misalnya pengajian tafsir al-Jawahir karya Syeh Jauhari Thontowi
guru besar Universitas Kairo Mesir. Kitab tafsir sebanyak 13 jilid ini
adalah tafsir saintifik (eksakta) atas ayat-ayat suci al-Qur’an.

Jenis tawaran tersebut bukanlah hal yang mengada-ada. Kebutuhan sains
holistik telah menjadi isu yang terus berkembang. Banyak ilmuwan
menulis buku dengan tema ini. Sebagai contoh, Fritjof Capra profesor fisika
nuklir menulis buku The Tao of Physics yang berisi kaitan antara tradisi
mistik timur dan fisika modern. Buku lanjutannya berjudul The Turning
Point menceritakan kegagalan sains modern dan tawaran sains
alternatifnya. Yang lebih baru lagi The Non-Local Universe: The New
Physics and Matters of the Mind oleh Robert Nadeau dan Menas Kafatos.
Juga The Large, the Small and the Humand Mind karya Roger Penrose.

Tawaran tersebut juga bukan utopia mengingat ITS berada di kawasan
yang kental nuasa santrinya. Selain itu tidak sedikit dari para pengajar
ITS yang berasal dari lingkungan ataupun berlatar belakang pesantren.
Rektor dan para pembantunya mendatang layak memikirkan tawaran ini.
Tawaran yang menjanjikan kultur unik dan khas bagi sivitas akademika
ITS seperti yang ditanyakan salah seorang staf akademik saat mengikuti
acara kampanye para carik. Gagasan yang menjanjikan produk sarjana
santri. Polesan yang sangat diperlukan bagi komunitas ITS yang umumnya
terperangkap dalam gegap-gempitanya dunia industri.

Atau para carik mempunyai tawaran yang lebih holistik namun sengaja
tidak disampaikan saat kampanye? Kita tunggu saja. Yang jelas bangsa ini
akan meninggalkan era lama dan memasuki era baru. Yakni sayonara pada
era mitos dan hijrah menuju era rasional, suka atau tidak. Tentu tidak
patut bagi insan ITS khususnya dan cerdik pandai umumnya sekedar
berdiri sebagai penonton.

*) Mantan Vice-President of Saijo-Hiroshima Moslem Association, Staf
pengajar Jurusan Fisika FMIPA-ITS.

Tidak ada komentar: