Selasa, 20 Mei 2008

Kesenjangan Dini dan Character Building

SURYA, 18 Juni 2003
Oleh: Agus Purwanto*)

Dunia pendidikan kita penuh paradoks. Contoh menyolok adalah,
ditetapkannya program Wajib Belajar (Wajar) 9 tahun tetapi biaya
pendidikan ditanggung peserta didik. Bahkan, fakta lapangan
memperlihatkan lembaga pendidikan sedang berlomba menjadi sekolah
mahal. Setelah melakukan ulasan atas fenomena pendidikan tersebut, Bp.
Supriyono dosen FIP dan Pascasarjana UM mengusulkan agar sekolah
unggulan yang mahal-mahal itu dihapus (Surya, 1/5/2003).

Konsekwensi dari program Wajar adalah bebas biaya. Bila tidak, Wajar
menjadi tak ada artinya. Alasannya sederhana, kewajiban harus diikuti
sanksi. Nah, bagaimana mungkin memberi sanksi pelanggar Wajar bila
sekedar menyekolahkan anak-anaknya saja memang tidak mampu. Jumlah
penduduk miskin bertambah secara signifikan sejak krismon, sebagai
contoh Jatim mencapai angka 30 persen. Tulisan ini bermaksud
menguatkan ide penghapusan sekolah mahal di atas.

Pendidikan ala Pasar

Andai dunia pendidikan dapat diibaratkan sebagai wajah maka make-up
wajah pendidikan kita senantiasa berubah dari waktu ke waktu bergantung
periasnya yakni mendiknas. Periode sekarang merek make-up tersebut
adalah KBK atau kurikulum berbasis kompetensi. Sebagaimana make-up
yang sebenarnya, make-up pendidikan bisa dan boleh senantiasa berubah
tetapi wajah pendidikan selalu tetap kecuali dilakukan operasi plastik.
Wajah pendidikan kita adalah pasar.

Di antara sekian praktek yang menyebabkan pendidikan menjadi mahal
ada satu yang cukup unik. Setiap awal tahun ajaran baru tim pemasaran
dari penerbit buku masuk ke sekolah. Hasilnya, buku terbitannya menjadi
pegangan tahun itu dan seyogyanya dibeli. Uniknya, setiap tahun tim
penerbit buku yang datang selalu berganti. Akibatnya buku pegangan pun
senantiasa berganti sehingga seorang kakak tidak bisa mewariskan buku
tersebut kepada adiknya. Seorang siswa yang tidak naik kelas pun tidak
dapat menggunakan buku pegangan tersebut dua kali dan terpaksa harus
membeli buku pegangan baru.

Praktek yang makin menyempurnakan wajah serta citra pasar lembaga
pendidikan. Pada gilirannya meneguhkan tudingan bahwa sekolah adalah
instrumen kapitalisme. Tak pelak juga Indonesia dengan ideologi Pancasila
yang memang masih terbuka dengan berbagai muatan atau tafsiran ini.

Kesenjangan Dini

Ada kenyataan yang harus kita akui bahwa para pendidik senior kita
umumnya mengenyam pendidikan barat. Akibatnya aroma barat dari
pendidikan pun sulit dihindari. Hal ini bisa dilihat dari kandungan materi
pendidikan yang sangat menekankan pengasahan akal (Intelligence
Quotient, IQ). Padahal, tahun 2000 lalu menteri pendidikan AS mencak-
mencak lantaran pendidikan bagi anak sampai usia 15 tahun AS kalah dari
Jepang dan Cina dalam keterpaduan aspek IQ dan EQ (Emotional
Quotient). Sebagai bahan perbandingan ada baiknya menambah acuan,
untuk itu kita lihat sekolah di Jepang.

Jepang tergolong sebagai negara maju tetapi mampu bertahan dengan
tradisi serta adat-istiadat ketimuran yang kental unsur mistisnya. Ada hal
menarik tentang pendidikan di sana yakni muatan character building
pendidikan mereka sejak sekolah dasar (shougakkou) sampai dengan SMU
(kotougakkou). Seperti dapat dilihat di film-film layar kaca, siswa-siswi SD
negeri Sakura pergi dan pulang sekolah dengan berjalan kaki. Sekitar jam
07.15 setiap kelompok yang terdiri dari lima atau enam siswa berangkat
menuju sekolah. Jam tiga atau empat sore mereka pulang dalam
kelompok-kelompok dan setiap kelompok dipimpin seorang ketua.

Berjalan kaki dan pergi-pulang berkelompok sifatnya wajib bagi para siswa
SD, tanpa pandang bulu. SD di sana menerapkan sistem rayon, anak-anak
bersekolah di SD terdekat di masing-masing wilayahnya. Para orang tua
tidak perlu memilihkan sekolah untuk anaknya karena pemerintah daerah
setempat telah menetapkannya. Mereka tinggal mendaftar ulang. Jepang
juga menerapkan Wajar karena itu pemerintah akan mendatangi orang tua
termasuk orang asing yang tidak menyekolahkan anaknya yang sudah usia
sekolah.

Ada tiga hal yang terkandung dari kewajiban di atas. Semangat juang,
kebersamaan dan tanggung jawab yang ditanamkan dan dipraktekkan
secara langsung. Bandingkan dengan tata-cara dan kebiasaan siswa-siswi
SD di negeri kita. Siswa dapat pergi dan pulang secara bebas dalam arti
boleh sendiri, bersama teman, atau diantar pembantu. Mereka pun boleh
berjalan kaki, naik kendaraan umum, atau naik mobil orang tuanya. Tidak
ada pendidikan etos kerja dan kebersamaan.

Makna lain yang tidak kalah seriusnya dari kebebasan di atas, SD kita
diam-diam menciptakan kesenjangan sejak dini. Anak orang kaya terus
menerus di tempatkan dalam suasana kemewahan. Sementara anak orang
miskin dibiarkan dalam kekurangannya sambil nonton penampilan
temannya yang anak orang kaya. Negara diam-diam mendukung perbedaan
kelas.

Keuletan dan Menghargai Kerja

Pendidikan sikap dan karakter ini dijalankan di sekolah Jepang dalam
berbagai bentuk. Dalam olahraga, setahun sekali yakni di musim panas
siswa kelas satu sampai dengan kelas enam dibagi dalam dua kelompok
besar yakni merah dan putih. Mereka berkompetisi dan semua jenis
olahraga yang dipertandingkan adalah olah raga tim. Lagi-lagi
kebersamaan dan teamwork mereka tekankan.

Setahun sekali pula diadakan pentas seni yang melibatkan seluruh siswa.
Setiap siswa mendapat, berlatih dan memainkan satu atau dua peran.
Uniknya pentas seni maupun lomba olah raga ini disaksikan oleh para
undangan yang terdiri dari orang tua siswa, tokoh masyarakat, kepala
sekolah TK dan SLTP serta pemerintah lokal setempat.

Pendidikan seperti mencuci piring juga diajarkan di sekolah. Di Jepang
tidak dikenal. yang namanya pembantu rumah tangga. Ketika libur sekolah
anak-anak SD meliburkan ibu mereka dari kegiatan mencuci piring di
dapur dan pekerjaan itu mereka gantikan.

Fenomena unik lainnya dapat dilihat pada siswa SLTP dan SMU di sana.
Mereka dibolehkan bersepeda ke sekolah, tetapi tidak diijinkan
mengendarai sepeda motor apalagi mobil pribadi. Kalaupun terlalu jauh
siswa boleh pergi dengan bis kota atau kereta api. Padahal kita semua
mafhum bahwa Jepang adalah produsen utama kendaraan bermotor.

Perhatikan perilaku siswa-siswi SLTP dan SMU kita, tidak sedikit yang ke
sekolah dengan mobil bahkan mengemudinya sendiri. Kita pun sering
mendengar keluhan para orang tua yang anak-anaknya mogok sekolah
lantaran tidak dibelikan sepeda motor. Betapa manjanya anak-anak kita.
Fenomena ini juga mengisyaratkan betapa kacaunya lalu lintas dan sistem
untuk mendapatkan surat ijin mengemudi (SIM). Anak seusia SLTP yang
belum genap 17 tahun sudah mempunyai SIM, atau belum memiliki SIM
tetapi sudah dapat leluasa mengemudi di jalan umum.

Fenomena sosial dalam lingkup lebih luas dapat difahami dari fenomena
lembaga pendidikannya. Sudah bukan rahasia bahwa masyarakat Jepang
adalah masyarakat workaholic, gila kerja. Mereka sangat menghargai
waktu dan pekerjaan. Hal ini dapat dilihat dari jawaban spontan
anak-anak bila ditanya cita-cita mereka. Menjadi juru masak, penjual
bunga, penjual buku dan sejenisnya yang sederhana adalah cita-cita
mereka. Cita-cita seperti ini merupakan refleksi dan hanya dapat terjadi di
masyarakat yang tidak memandang mulia satu jenis pekerjaan dan hina
pekerjaan lainnya. Negeri yang sempat porak poranda oleh bom atom ini
pun berhasil mewujudkan impian kolektif mereka, “mengalahkan” dan
melampaui Amerika, setidaknya dalam ekonomi.

Berbeda dari bocah Jepang yang umumnya bercita-cita sederhana, bocah
Indonesia umumnya bercita-cita “tinggi” seperti menjadi insinyur dan
dokter. Tetapi tidak adanya character building dalam pendidikan
menyebabkan rendahnya kemauan serta semangat juang masyarakat
maupun para petinggi kita. Daya tahan lemah dan gampang menyerah.
Akibatnya, cita-cita tinggi para bocah muncul tanpa ruh dan di masa
berikutnya menjadi keinginan sekedar bisa hidup. Celakanya, sekedar
hidup itupun seringkali juga ditempuh via jalan pintas.

Kerapuhan mental ditambah dengan ketiadaan impian kolektif bangsa,
menyebabkan masyarakat tidak mempunyai energi dan semangat hidup
yang besar. Kini, rendahnya semangat hidup ini telah sampai pada kondisi
yang menyedihkan. Perhatikan saja fenomena persimpangan jalan,
perkantoran dan para petinggi yang keluar negeri mencari pinjaman;
fenomena mentalitas pengemis.

Keruwetan sistem pendidikan dan kondisi sosial negeri ini sudah seperti
benang kusut. Pembenahan harus dibenahi di semua lini. Untuk lini
pendidikan perlu dilakukan bedah plastik wajah pendidikan, dan pola
character building pendidikan Jepang layak untuk dipertimbangkan.
Semangat dan etos kerja, kebersamaan, tanggung jawab dan menghargai
pekerjaan diajarkan secara konkrit dan keteladanan bukan dengan
kata-kata.

Sistem rayon (tingkat SD dan SLTP) sebagai kebijakan terkait akan
membantu pemerataan kualitas sekolah. Sistem ini juga memungkinkan
keterlibatan dan pengawasan masyarakat dalam pendidikan. Pada
gilirannya tidak relevan membicarakan sekolah unggulan, sekolah plus
atau pun sekolah borjuis yang diskriminatif.

Untuk mengadopsi sistem asing manapun tidaklah bisa serta merta dan
seketika, sebab pendidikan memang tidak berdiri sendiri. Namun meniru
pola Jepang relatif tidak memerlukan dana sehingga kemiskinan bangsa ini
bukanlah kendala utama. Penulis sengaja tidak menampilkan aspek-aspek
intelektualnya sebab dari sisi ini in kita tidak kalah dari negeri lain
manapun. Tetapi kemampuan itu tidaklah terlalu berarti tanpa dibarengi
pendidikan karakter yang membangun sikap dan komitmen.

Character building yang pernah menjadi wacana di awal berdirinya
republik ini mendesak untuk diangkat kembali. Bahkan lebih dari itu,
mendesak untuk dijadikan kandungan utama pendidikan kita. Semua itu
diperlukan agar bangsa ini kembali mampu berjalan tegak dengan harga
diri. Selain itu, negara harus menanggung biaya Wajar. Tuntutan ini pun
bukan mustahil dipenuhi oleh negara pasca amandemen UUD yang
menetapkan 20 persen APBN harus dialokasikan untuk pendidikan. Kita
tidak ingin Wajar sekedar menjadi bentuk cuci tangan pemerintah atas
kewajiban memenuhi hak pendidikan warga negaranya.

*) Pekerja pendidikan di LaFTiFA (Lab Fisika Teori dan Filsafat Alam) ITS;
alumnus Universitas Hiroshima Jepang.

2 komentar:

Agus mengatakan...

sekarang orang sibuk berbicara kejujuran, selama ini laopo wae?
selalu nunggu akut, termasuk masalah guru besar jiplak menjiplak, dibicarakan (belum tentu diselesaikan) bila sudah akut

Amisha mengatakan...

Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.

Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.

Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut