SURYA, 21 September 2002
Oleh: Agus Purwanto*)
Saat penutupan olimpiade fisika di Bali akhir Juli lalu kami bertemu dengan guru fisika SMU Surabaya. Singkat cerita, saat berkenalan dan menyebut identitas sebagai staf pengajar fisika ITS bapak guru tersebut bertanya “Dari fisika teknik Pak?” Sejawat saya yang ketua program pascasarjana fisika ITS menjawab dan menjelaskan dengan penuh semangat apa dan bagaimana
jurusan fisika itu. Kami pun tidak ingin diidentifikasi sebagai orang fisika teknik.
Begitulah sekelumit gambaran atmosfer dunia ilmu kita khususnya fisika sebagai salah satu ilmu dasar. Fisika belum banyak dikenal bahkan oleh guru fisika sendiri. Akibatnya, seperti kata pemeo tak kenal maka tak sayang. Itulah yang terjadi pada jurusan fisika di hampir semua universitas di tanah air. Hanya sekitar sepuluh sampai dua puluh persen dari mahasiswa yang diterima di jurusan fisika mengambil fisika sebagai pilihan pertama!
Ketidaktahuan dan pandangan minor atas fisika adalah hal yang wajar. Harus diakui bahwa dengan segala keterbatasan yang ada sosialisasi fisika memang amat kurang. Meskipun di negara-negara maju fisika adalah simbol prestasi sekaligus prestise, di Indonesia fisika dan komunitasnya adalah kere (JH Sinamo, Kompas 30/7/2002).
Fisika sebagai Ujung Tombak
Kelebihan fisika ada pada kandungan fisika itu sendiri. Fisika adalah ilmu yang membahas fenomena alam dengan bahasa matematika. Sifat umumnya adalah pembahasan di dalam fisika lebih menonjol pada aspek why-nya dibanding aspek how. Belajar suatu konsep fisika seringkali sekaligus belajar sejarah konsep itu sendiri. Sebagai contoh, untuk perkuliahan yang sama, di jurusan fisika dipelajari motivasi atau sejarah lahirnya konsep bersangkutan sebelum disajikan formulasi matematis yang rinci dan lengkap.
Secara umum nuansa seni berfikir (the art of thinking) yang logis, runut dan intuitif sangat dominan di dalam pengajaran fisika. Ditambah dengan materi khas fisika yakni mekanika kuantum dan mekanika statitik membuat mahasiswa fisika mempunyai pengalaman mengembara ke dunia ide yang lebih dalam. Materi khusus yang sesuai minat diberikan di tahap sarjana. Ada beberapa bidang minat di jurusan fisika FMIPA seperti Fisika Teori/Murni, Fisika Nuklir, Fisika Medis, Biofisika, Fisika Material Elektronik, Fisika Bumi, Fisika Komputasi dan Instrumentasi, dan bahkan belakangan ini ada juga Fisika Keuangan.
Dengan latar belakang demikian lulusan fisika relatif siap terjun di berbagai bidang termasuk bidang baru sekalipun. Lulusan fisika pun diserap diberbagai bidang atau industri. Sebagai contoh di perusahan eksplorasi minyak Pertamina atau Schlumberger, industri semikonduktor, industri pesawat IPTN (dulu), industri telekomunikasi maupun perbankan. Ada dua ekonom kita yang latar belakang pendidikan taraf sarjananya adalah fisika yaitu Dr. Umar Juoro dan Dr. Rizal Ramli. Hanya sebagian kecil yang di dunia pendidikan, itupun umumnya mereka yang terbaik di masing-masing angkatannya.
Naluri untuk merasa berada di barisan terdepan pun tumbuh. Lulusan fisika juga relatif suka melakukan petualangan intelektual dan memasuki wilayah baru yang asing dan menantang. Sebagai contoh, perhatikan fisikawan teoritik Stephen Wolfram yang terobsesi untuk melahirkan teori kemanunggalan alternatif. Wolfram keluar dari mainstream model building konvensional dan string theory. Di dalam bukunya The New Kind of Science kreator software numerik-simbolik mathematica ini menggabungkan konsep fisika, biologi, kimia dan sains komputer.
Danah Zohar lulusan fisika MIT menaruh perhatian pada model holografik dari fikiran dan kesadaran. Di dalam bukunya Quantum Self dan Quantum Society Zohar mengajukan model kuantum bagi kesadaran untuk menjelaskan bagaimana otak dan neuronnya dapat bekerja secara terpadu dan koheren. Karya terbarunya The Spiritual Intelligence menyempurnakan evolusi ide kecerdasan mulai IQ yang muncul di awal abad dua puluh dan EQ yang diintrodusir Daniel Goleman pertengahan 1990-an.
Lulusan fisika yang melanjutkan studi di jurusan selain fisika umumnya merasa menjadi lebih mudah. Karena itu ketika di luar negeri mereka umumnya bisa menulis publikasi internasional lebih dari yang dipersyaratkan. Sebagai contoh adalah rekan M (inisial namanya) lulusan fisika FMIPA ITB yang kini berstatus staf pengajar di almamaternya. Tahun 1998 ia melanjutkan studi di jurusan X (sebut saja begitu) di fakultas tenik, universitas Hiroshima. Bidang yang digeluti adalah rekayasa atau teknologi skala nano (nano engineering) yang memerlukan penguasaan mekanika kuantum.
Di bidang barunya ini rekan M sangat produktif menulis publikasi dan membuat profesornya yang awam kuantum mempunyai ambisi baru. Ambisinya adalah menembus majalah ilmiah Nature yang presitisius itu. Ambisi yang di luar kebiasaan profesornya yang pragmatis. Rekan M lulus sebagai doctor of engineering dengan tiga belas published paper, padahal syarat kelulusan hanya menuntut dua publikasi! Rentetan akibat lainnya adalah satu saat sang profesor membutuhkan mahasiswa baru. Menariknya, ia tidak butuh mahasiswa X melainkan mahasiswa fisika. Tahun lalu tiga lulusan fisika ITB diundang untuk studi lanjut di labnya atas biaya lab sang profesor.
Utilitarianisme versus holisme
Pertanyaan lain yang sering mengemuka adalah untuk apa fisika khususnya fisika teoritik ini dipelajari dan dikembangkan. Apa keuntungan-keuntungannya? Untuk apa –misalnya-mempelajari jagat raya terlebih di saat awal penciptaanya? Selain masyarakat kita masih harus memenuhi kebutuhan keseharian, toh tema-tema tersebut bakal sulit untuk mendapatkan dana penelitian.
Memang benar di jurusan fisika seperti halnya di jurusan sastra, filsafat, atau sekolah tinggi agama tidak diajarkan bagaimana membuat roti. Namun kita pun mafhum bahwa kebutuhan manusia bukanlah sekedar pemenuhan isi perut dan penumpukan materi. Keresahan dan kegalauan hidup bukan hanya milik orang miskin melainkan milik bersama. Tidak sedikit orang yang telah hidup dikelilingi materi namun masih didera resah gelisah berkepanjangan. Sebabnya, manusia memang terdiri dari dari jasad yang material dan ruh yang intelektual-spiritual. Kebutuhan keduanya harus dipenuhi secara berimbang.
Selain itu setiap disiplin atau bidang ilmu terkait satu dengan lainnya membentuk pohon ilmu. Setiap bagian pohon mempunyai peran dan fungsinya sendiri yang khas. Daunnya bisa untuk makan ternak, rantingnya untuk kayu bakar, pohonnya bisa untuk membuat jembatan dan seterusnya. Maka tidak fair bila kita berharap bisa membangun jembatan dari daun-daunnya.
Kebudayaan atau peradaban dapat diibaratkan sebagai pohon. Tumbuhnya pepohonan merupakan cerminan dari tumbuhnya setiap bagiannya terlebih-lebih akarnya. Fisika dan ilmu dasar lainnya adalah akar dari pohon ilmu, karenanya penguatannya adalah syarat utama agar pohon memberi buah yang lebat dan dedaunan yang mampu menaungi dan memberi keteduhan para musafir yang singgah.
Atau mengutip pernyataan pemenang Nobel ilmu ekonomi 1998 Armatya Sen bahwa pembangunan harus difahami sebagai peluasan kebebasan dalam arti peningkatan kemungkinan orang mencapai sasaran-sasaran yang mereka nilai tinggi. Sen pun menunjukkan bahwa peningkatan kebebasan orang bernilai instrumental seperti meningkatkan kesejahteraan ekonomis, dan merupakan nilai pada dirinya sendiri. Menggunakan pendekatan ini jelaslah
bahwa pendekatan utilitarianistik semata tidaklah memadai. Manusia dengan segala usahanya tidak bisa difahami dan diukur dengan pendekatan ekonomis semata.
Manusia adalah mahluk yang ingin tahu bahkan terhadap hal-hal yang diluar jangkauan akalnya sekalipun. Manusia mahluk transenden yang tak pernah puas dengan pengetahuan yang telah dimilikinya. Leluhur manusia, Adam alaihissalam yang telah diberi pengetahuan langsung oleh Allah dan berpengetahuan lebih ketimbang mahluk lain masih saja ingin tahu rahasia
buah kuldi. Rasa ingin tahu manusia tak pernah terpuaskan, ia terus bertanya dan bertanya. Pengetahuan itu sendiri adalah kehormatannya.
Jagat raya membuka diri untuk diselidiki oleh manusia. Bahkan melaluinya diharapkan manusia juga bisa memahami Sang Pencipta dengan segala kehendakNya secara lebih komprehensif. Fisika menyelidiki misteri jagat ciptaan tersebut baik yang mikro maupun makro. Manfaat fisika selain seperti telah diuraikan terdahulu, fisika merangsang manusia untuk memperluas wawasan dan mengembangkan imajinasi serta fantasinya. Dan fantasi inilah yang paling diperlukan manusia bila ia ingin maju.
Fantasi selanjutnya menjadi impian yang membangkitkan energi tak terbatas bagi manusia untuk terus menerus mengejar impian tersebut. Impian ini membangkitkan fisikawan untuk terus berfikir perkara-perkara besar dan jauh. Impian ini disebar-luaskan pada masyarakat dan lahirlah proyek-proyek ilmiah raksasa dan atau terdepan (frontier).
Laboratorium Akselerator Linier Stanford (SLAC) di Palo Alto California dibangun tahun 1960-an. Di sini akselerator linier sepanjang dua mildigunakan untuk mengakselerasi elektron hingga mencapai energi 17 GeV. Satu giga elektron volt (GeV) adalah energi elektron yang berada di daerah berpotensial listrik satu milyar volt! Bila elektron ini ditumbukkan pada proton maka terjadilah disintegrasi proton kedalam beberapa quark.
Laboratorium besar lainnya di Amerika, seperti Brookhaven National Laboratory (BNL) di Long Island New York dan Fermi National Accelarator Laboratory (Fermilab) di Chicago. Amerika pun ingin tetap berada di barisan paling depan di sains material dan teknologinya dengan mencanangkan proyek teknologi skala nano sampai tahun 2020.
Laboratorium ambisius juga dibangun di Genewa Swis yaitu Centre Europenne Pour la Recherche Nucleare (CERN). Akselerator penumbuk elektron-positron yang bisa mencapai energi sebesar 100 GeV ini berradius sekitar dua kilometer. Tahun 1983 lalu, partikel pembawa gaya lemah W yang diprediksi oleh teori kemanunggalan Glashow-Salam-Weinberg dideteksi di
CERN ini. Satu tahun kemudian pimpinan proyek pelacak partikel W tersebut, Dr. Carlo Rubia, mendapat Nobel fisika. Laboratorium besar fisika partikel Eropa lainnya adalah Deutsches Elektronen- Synchroton (DESY) di Hamburg Jerman.
Asia tak mau ketinggalan. Laboratorium SuperKamiokande dibangun satu kilometer di bawah permukaan tanah di gunung Kamioka dekat Toyama Jepang. SuperKamiokande berhasil mendeteksi massa kecil neutrino pada 1998 lalu dan menjadi rujukan utama bidang flavor physics. Saat workshop neutrino di kaki gunung Fuji dua tahun lalu direktur SuperKamiokande Prof. Y. Suzuki melaporkan bahwa tahun 2005 ini Jepang akan membangun laboratorium sejenis lima kilometer di bawah permukaan air di laut. Cina pun memperlihatkan kelasnya sebagai negeri yang ikut menyumbang nobelis fisika. Beijing electron-positron collider (BEPC) adalah kolider versi SLAC SPEAR yang diupgrade.
Proyek-proyek tersebut barangkali tidak langsung bermanfaat dan lahir dari orang-orang yang tertarik pada hal-hal yang jauh ke depan. Mereka membuka luas cakrawala pandang kita jauh menembus ruang waktu sekaligus merangsang serta menumbuhkan keinginan kita. Mereka mengajak kita memahami pilihan dan kebijakan Tuhan dalam penciptaan, mengenali pola dan perusakan simetri yang dibuatNya, ataupun mengarungi dimensi ekstra yang mengkerut selama evolusi jagat raya.
Penggalian prasasti Batutulis bisa difahami dengan perspektif fantasi ini.Demikian pula dengan tayangan sinetron-sinetron gedongan dan cerita-cerita sakti lainnya. Miskinnya imajinasi dan fantasi telah menuntun kita pada tindakan-tindakan lucu dan naif secara akal sehat. Fisika mengatasi dengan caranya yang khas. Ia menawarkan fantasi dan impian dengan energinya yang takterbatas yang sanggup memecah kebekuan serta mendobrak kejumudan.
*) Alumni Graduate School of Science, Universitas Hiroshima Jepang.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar