Minggu, 25 Mei 2008

Dua Tipe Poligami

SURYA, 15 Desember 2004
Oleh: Agus Purwanto*)

Muktamar NU di Boyolali dan Tanwir Muhammadiyah di Mataram lalu dengan nuansa
yang berbeda sempat diwarnai isu poligami. Kelompok pembela perempuan NU yang
dimotori Shinta Nuriyah istri KH. Abdurrahman Wahid menolak bantuan katering wong
Solo bagi konsumsi muktamar. Alasannya, sang pemilik terlibat dalam tindak kekerasan
terhadap perempuan melalui poligami. Syafii Maarif ketua Pimpinan Pusat (PP)
Muhammadiyah menolak desakan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Gorontalo agar
Muhammadiyah bersikap terbuka terhadap poligami.

Gugatan Klasik

Bila diibaratkan olahraga menembak atau memanah maka jender dalam islam adalah
papan tembak dengan lingkaran-lingkaran poligami, kepemimpinan, warisan dan khatib
perempuan. Para atlet jago tembak dan ahli memanah berasal dari kalangan non-islam
maupun orang islam sendiri. Olahraga ini belakangan mengalami kemajuan pesat dan
membuat gemas para penggemar sekaligus berdebar-debar dan cemas.

Poligami merupakan fenomena kemanusiaan yang mendapat justifikasi formal dalam
Islam. Al-Qur’an dan pribadi Muhammad saw sebagai rujukan sentral islam telah
meneguhkan ajaran ini. Tetapi, mengapa poligami digugat? Apakah ditemukan korelasi
yang kuat antara poligami dan keterbelakangan umat islam? Atau sekedar akibat
inferiority complex yang diidap umat islam terhadap Barat sehingga semua yang berasal
dari Barat dipandang baik, diambil dan yang tidak sesuai dengan Barat harus dibuang?
Tiga dasawarsa lalu ketika umat islam Indonesia belum maju seperti saat ini wacana
gugatan terhadap poligami juga telah berkembang. Saat itu penggugat poligami berasal
dari kalangan orientalis Barat dengan tudingan utama Muhammad sebagai tokoh sentral
islam mengidap maniak seks.

Para ulama mejawab tudingan ini dengan mengurai sejarah perkawinan Rasulullah saw.
Sejarah memperlihatkan bahwa perkawinan Rasulullah dengan istri-istrinya setelah
Aisyah bersifat kemanusiaan bahkan dari sisi pribadi Muhammad bersifat “terpaksa”.
Bersifat kemanusiaan karena para istri tersebut adalah janda-janda pejuang islam yang
ditinggal syahid suaminya dan kemudian memerlukan status dan perlindungan sosial.
Para janda yang umumnya tidak muda tersebut memilih nabi yang jelas keutamaannya.
Tetapi mereka pun tahu bahwa sebenarnya Muhammad tidak terlalu berminat menikahi
mereka karena itu sebagian rela menyerahkan hak biologisnya kepada Aisyah.

Wacana penolakan poligami saat ini justru disuarakan oleh kalangan islam sendiri yang
serangannya tidak kalah hebat ketimbang serangan Barat. Tudingannya, poligami dapat
bertahan sekian abad di dalam islam disebabkan adanya bias jender yakni dominasi
laki-laki atas berbagai pemahaman dan penafsiran terhadap islam. Akibatnya, wajah
islam adalah wajah maskulin.

Selain itu, saat ini situasi telah berubah dibanding situasi pada saat turunnya teks suci
islam empat abad silam. Kini banyak wanita mempunyai status dan kemampuan yang
melebihi laki-laki. Karena itu ajaran-ajaran yang diskriminatif dan merendahkan derajat
wanita termasuk poligami perlu dimaknai secara kontekstual atau bahkan dihapus sama
sekali.

Poligami versus haji

Sebenarnya argumen penolakan terhadap poligami tidak terlalu kuat dan terlalu
dibuat-buat. Pertanyaan sederhana yang harus dijawab oleh para aktivis anti poligami,
bila bukan poligami lalu apa? Apakah Barat sebagai kiblat baru mereka memang
menawarkan model keluarga dan hubungan sosial khususnya hubungan laki-perempuan
yang ideal? Salah satu edisi Hiragana Times tahun 2000 menyebutkan bahwa
mahasiswa asal Eropa terkejut atas fenomena seks bebas Jepang yang mereka katakan
lebih Eropa ketimbang Eropa. Mereka pun menyebut Jepang sebagai sex paradise. Di
Jepang alat-alat masturbasi diiklankan dengan gencar. Apakah model kehidupan seperti
ini yang akan mereka tawarkan setelah menolak poligami?

Memang harus diakui praktek poligami selama ini lebih banyak memunculkan duka dan
kesedihan ketimbang keceriaan. Sebabnya teks kitab suci yang mengijinkan poligami
dimaknai secara sederhana yakni perkawinan satu laki-laki dengan dua, tiga atau empat
wanita. Meskipun demikian, kenyataan ini tidak cukup untuk dijadikan argumen
penolakannya apalagi bila kemudian menawarkan kesedihan baru atau tidak
menawarkan solusi alternatif.

Teks bagi poligami mengisyaratkan bahwa poligami merupakan tindakan bersyarat
bukan tindakan umum. Demikian pula bila mempertimbangkan penjabaran poligami
yang diperlihatkan melalui (bukan oleh) rasul suci Muhammad saw. (Penggalan)
Kalimat ini perlu ditegaskan, diperlihatkan melalui mengandung makna perintah Tuhan
kepada Muhammad untuk melakukan poligami yang sebenarnya berat baginya.
Sedangkan diperlihatkan oleh mengandung makna keputusan dan inisiatif Muhammad
untuk berpoligami atas dasar kerelaan dan suka cita.

Dengan demikian poligami sesungguhnya mengandung misi ilahiah yakni dalam rangka
mendukung gerakan da’wah dan mengurangi beban psikologi-sosial. Menggunakan
analogi sederhana poligami merupakan perintah bersyarat seperti halnya haji. Artinya
tidak semua muslim dewasa dapat menjalankan poligami. Ada syarat yang harus
dipenuhi, pertama pihak laki-laki mampu secara material sehingga mampu meringankan
keluarga secara keseluruhan baik istri sebelumnya maupun istri baru. Keluarga wong
Solo dengan beberapa istrinya yang kemudian menjadi pengelola bisnis ayam bakar
suaminya adalah contoh poligami yang memenuhi persyaratan ini.

Bila tidak, pihak calon istri yang mau berpoligami harus mampu secara material
sehingga mampu mengurangi beban calon suami sekaligus keluarga terdahulunya. Di
masyarakat tidak sedikit wanita muda yang berkedudukan dan mapan baik papan,
sandang, pangan maupun kendaraan terpaksa menjadi janda karena ditinggal mati
suaminya. Wanita seperti ini seringkali tidak ingin terus hidup tanpa suami tetapi juga
tidak ingin hidup dengan suami yang dalam banyak hal berada di bawah suaminya
terdahulu. Juga ada wanita introvert karena asyik dengan studi dan berlanjut di karier
sehingga akhirnya mencapai posisi amat mapan secara sosial ekonomi tetapi kemudian
menjadi gadis senja karena laki-laki takut mendekatinya.

Poligami tipe kedua ini mirip perkawinan-perkawinan yang dialami nabi suci. Para istri
mempunyai rumah dan pada dasarnya bisa menghidupi dirinya sendiri tanpa nafkah dari
nabi saw sekalipun. Nabi dapat terus berda’wah tanpa harus terganggu dengan
istri-istri barunya. Wanita-wanita pelaku poligami tipe ini setidaknya akan terhindar dari
orang-orang yang terganggu oleh kesendiriannya dan tutup mata serta berspekulasi
untuk mendampinginya.

Para pekerja dakwah atau para akademisi idealis yang dipenuhi impian-impian dan
obsesi untuk membangun tradisi ilmu sebagaimana yang mereka lihat ketika di luar
negeri tetapi terbentur minimnya anggaran layak berpoligami tipe kedua ini. Kenyataan
memperlihatkan bahwa usaha-usaha sampingan para akademisi untuk menutupi
kebutuhan ekonominya pada saat yang sama telah mematikan kariernya sebagai
ilmuwan. Mereka mati dini sebagai ilmuwan meskipun kemudian mereka mungkin
mampu mempunyai jabatan-jabatan struktural yang tinggi. Kendala mereka untuk
berpoligami adalah posisinya yang pasif dan menunggu sinyal dari pihak wanita mapan
dan kaya. Inilah syarat mampu secara material bagi poligami agar tidak terlepas dari
misi sucinya.

Manusia secara naluriah saling membutuhkan satu sama lain termasuk membutuhkan
pasangan atau lawan jenis. Isu single parent bagi wanita-wanita karier belia yang
kemudian bercerai perlu diteliti apakah mereka benar-benar mampu hidup sendiri dalam
kondisi normal. Di Barat termasuk di Jepang memang dikenal adanya wanita hidup
tanpa suami tetapi bukan tanpa laki-laki. Di mana pun baik dunia islam atau bukan
kehadiran laki-laki bagi wanita dan sebaliknya adalah keniscayaan, hukum alam atau
sunnatullah. Dalam mengatasi situasi-situasi khusus islam menawarkan poligami dan
menolak seks bebas atau perselingkuhan.

Media memberitakan bahwa arena muktamar NU di Boyolali dihiasi banyak mobil
mewah. Di dalam berbagai gambar juga dapat dilihat banyak muktamirin sedang
berkomunikasi menggunakan tilpun genggam. Fenomena ini memperlihatkan bahwa
elite NU mengalami perubahan keadaan ekonomi yang signifikan. Namun “Mayoritas
Migran itu Nahdliyin” demikian judul artikel analis di Perhimpunan Indonesia untuk
Buruh Migran Berdaulat, Wahyu Susilo (Kompas, 26/11/2004). Daripada menyoal dan
melarang poligami ada baiknya kelompok pembela perempuan di NU mendorong agar
para elite NU yang kini mengalami kondisi ekonomi yang membaik ikut memperbaiki
nasib TKI/TKW termasuk salah satunya dengan poligami. Para elite NU memenuhi
persyaratan dan masuk kategori kandidat poligami aktif.

Sedangkan sikap tidak tegas Muhammadiyah terhadap poligami dapat dimaknai sebagai
penerimaan apa adanya teks poligami. Artinya secara prinsip diperbolehkan karena teks
kitab suci menyatakan demikian. Menggunakan ungkapan Syafii Maarif, jajaran PP
Muhammadiyah tidak pernah bermimpi poligami apalagi terlintas niatan untuk
melakukannya kecuali bagi yang memang berbakat.

Tidak jelas, apakah karena dipandang kontraproduktif sehingga Muhammadiyah tidak
menjadikan poligami sebagai komoditi isu dan bagian dari gerakan yang perlu
ditonjolkan. Atau karena sekitar 60% pimpinan Muhammadiyah adalah PNS sehingga
warga dan pimpinan Muhammadiyah hanya mempunyai kesempatan poligami pasif
yakni menunggu pinangan.

Poligami tidak perlu dijadikan polemik berkepanjangan ataupun dilarang. Selain masih
banyak isu yang lebih penting dan mendesak, teks suci meski dengan kondisi yang
memberatkan bagi pelaksanaannya memang mengijinkannya. Hal yang perlu dilakukan
adalah memaknai situasi atau persyaratan yang memungkinkan tetapi memberatkan
tersebut misalnya dalam fiqih poligami. Pengalaman empirik memperlihatkan bahwa
poligami mestinya hanya boleh bagi yang mampu khususnya secara material
sebagaimana ibadah haji. Wallahua’lam.

*) Pekerja LaFTiFA (Lab Fisika Teori dan Filsafat Alam) ITS, dan pemimpi peradaban
Islam
.

Rabu, 21 Mei 2008

Pesan Ilmiah Isra’ Mi’raj

SURYA, 11 September 2004
Agus Purwanto*)

“Mahasuci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada malam hari dari masjid al-
Haram ke masjid al-Aqsha yang Kami berkahi sekelilingnya untuk Kami perlihatkan tanda-
tanda Kami ....” (QS al-Isra’:1)

Al-Qur’an menyatakan bahwa tidak satu pun ciptaan serta kejadian di alam
semesta ini yang kebetulan dan sia-sia. Para pemikir seperti Aristoteles dan
Einstein pun menyatakan bahwa alam semesta bertindak sesuai tujuan
tertentu. Bila demikian, apa yang hendak Dia perlihatkan melalui isra’ dan
mi’raj? Artikel ini membahas aspek fisika dari peristiwa malam 27 Rajab satu
tahun sebelum nabi saw hijrah.

Dimensi Ekstra

Teori relativitas khusus (TRK) menyatakan bila orang bergerak dengan laju
tinggi maka dia akan mengalami pemuluran (dilasi) waktu. Artinya, satu
menit bagi orang yang bergerak bisa jadi lima menit bagi orang lain yang
diam. Sebagian orang mencoba menjelaskan isra’ mi’raj dengan TRK dan
didukung QS al-Ma’arij: 3-4. Ayat ini mengisyaratkan pemuluran waktu, yakni
satu hari perjalanan malaikat dan ruh setara dengan 50 ribu tahun. Ini
berarti kecepatan malaikat dan ruh sama dengan kecepatan cahaya.

Implikasinya, bukan saja malaikat yang tersusun dari nur (cahaya)
melainkan juga ruh. Karena menurut prinsip TRK, hanya materi tak
bermassa yang bisa bergerak dengan laju cahaya dan materi tersebut hanya
foton yang tidak lain adalah gelombang medan elektromagnetik. Penafsiran
ini pada gilirannya menuntun pada kesimpulan bahwa isra’ dan mi’raj nabi
saw hanya sebatas ruhnya.

Bila dikaitkan dengan kosmologi modern penjelasan ala TRK menjadi tidak
memadai. Menurut model jagat raya berkembang, baik jagat raya tertutup,
terbuka maupun datar mi’raj nabi saw semalam hanya akan sampai di ruang
angkasa yang material. Nabi saw tidak pernah sampai di ruang spiritual
tempat sidratul muntaha.

Alternatifnya, isra’ mi’raj difahami dengan konsep dimensi ekstra. Dalam
ilustrasi dua dimensi ruang tertutup mengembang diberikan oleh permukaan
balon dengan tempelan potongan-potongan kecil kertas. Permukaan balon
adalah jagat raya secara keseluruhan, potongan kertas menyatakan galaksi
sedangkan permukaan balon tanpa tempelan adalah ruang antar galaksi. Bila
ditiup balon akan mengembang dan kertas-kertas akan berjauhan. Artinya,
alam semesta berkembang dan galaksi-galaksi saling menjauh.

Dalam sudut pandang ruang tiga dimensional, terdapat ruang di dalam dan
di luar permukaan bola. Dari sisi jagat raya dua dimensional ruang di dalam
dan di luar permukan dapat dipandang sebagai dimensi ekstra dari jagat raya
tertutup dua dimensi. Dalam perspektif ini bisa dikatakan bahwa langit
adalah ruang selain permukaan bola. Dan mi’raj adalah keluar dari langit
material dan masuk langit atau ruang immaterial. Lebih spesifiknya, nabi saw
keluar dari permukaan bola tiga dimensi (hypersphere) menuju dimensi lebih
tinggi dimana Sidratul Muntaha berada.

Dimensi ekstra dikenal baik di fisika. Keberhasilan memadukan gaya
elektromagnetik dengan gaya lemah dalam teori elektrolemah menuntun
pada teori kemanungalan agung (Grand Unified Theory, GUT). GUT klasik
belum sepenuhnya berhasil merealisasikan impian kemanunggalan gaya
elektromagnetik, lemah dan kuat. Impian tersebut baru dipenuhi oleh GUT
supersimetrik dengan konsep superruang delapan dimensinya. Empat dimensi
ruang-waktu kita dan empat lainnya adalah dimensi Grassmannian tempat
pasangan super setiap ciptaan berada.

Tetapi GUT supersimetrik masih menyisakan masalah hirarki konstanta
kopling gaya-gaya. Tahun 1998 Arkani Hamed dkk menggagas unseen atau
extra dimension dan berhasil mengatasi masalah tersebut. Di dalam konsep
dimensi ekstra ruang-waktu empat dimensi tempat kita tinggal digambarkan
sebagai garis lurus pada permukaan tabung silinder. Sedangkan keseluruhan
permukaan lainnya merepresentasikan dimensi yang lebih tinggi. Partikel
pasangan super yang berada di dimensi Grassmannian atau bulk particle di
dalam dimensi ekstra versi Arkani Hamed bisa berinteraksi dengan partikel
di ruang kita pada tingkat energi tertentu.

Dimensi ekstra ini juga diisyaratkan oleh QS al-Naml 38-40 dalam kisah
pemindahan singgasana ratu Bulqis ke istana nabi Sulaiman dalam
sekedipan mata. Dimensi ekstra juga diisyaratkan oleh hadis-hadis yang
menyatakan bahwa majelis-majelis ta’lim dikelilingi oleh para malaikat yang
ikut berdzikir dan mendo’akan peserta ta’lim. Jin dan malaikat ada di sekitar
kita tetapi kita tak pernah bertabrakan dengan mereka. Mereka hidup di
ruang dengan dimensi yang lebih tinggi tetapi kita bisa berinteraksi dengan
jin di ruang manusia.

Teleportasi Kuantum

Sekelompok penjelajah pemberani memasuki kamar khusus; pulsa cahaya,
dengung efek bunyi dan para hero menghilang dan tak lama kemudian
muncul kembali di permukaan planet nun jauh. Itulah impian dari teleportasi
yakni kemampuan melakukan perjalanan dari satu tempat ke tempat lain
tanpa harus melewati lintasan panjang yang membosankan, tanpa kendaraan
fisik dan setumpuk ransum.

Teleportasi kuantum mengeksploitasi prinsip dasar dari mekanika kuantum.
Ahli fisika teori sejak awal menyatakan bahwa fisika kuantum membawa
pada banyak fenomena yang tampak tak masuk akal sekalipun. Sebenarnya
mekanika kuantum secara prinsip tidak memungkinkan proses teleportasi.
Kaidah ketidakpastian Heisenberg tidak memungkinkan kita mengetahui secara
tepat posisi dan momentum suatu obyek pada waktu yang bersamaan.
Akibatnya, tidak mungkin men-scan secara sempurna suatu obyek yang akan
diteleportasikan. Scanning akan senantiasa memberikan error atas lokasi dan
kecepatan elektron dan atom suatu obyek.

Satu dasa warsa lalu, fisikawan C.H.Bennet dari IBM, G.Brassard, C.Crepeau
dan R. Josza dari Universitas Montreal, dan A.Peres dari Institut Teknologi
Technion Israel menemukan cara memanfaatkan kuantum untuk teleportasi.
Dan teleportasi kuantum telah menjadi kenyataan laboratorium bagi foton,
partikel individual dari cahaya. Meskipun demikian teleportasi dari benda
skala makro masih berupa fantasi. Barangkali kita pun bisa berspekulasi
bahwa Isra’ Mi’raj adalah teleportasi kuantum dalam skala makro!

Islamisasi Sains

Sains modern telah memberi kemajuan material yang luar biasa tetapi juga
membawa manusia pada keterasingan (alienasi) dan kehampaan spiritual.
Sains telah melakukan klaim-klaim di luar wewenangnya serta meneguhkan
pandangan dunia mekanik yang mengesampingkan peran Tuhan di dalam
kehidupan dunia ini. Akibat keterasingan dan berbagai krisis orang
merindukan sains alternatif yang dibangun dengan paradigma baru. Sains
dengan tataran ontologis, aksiologis, maupun epistemologis yang lebih
komprehensif. Sains holistik yang tidak mengabaikan peran wahyu dalam
tataran epistemologisnya.

Terkait dengan kerinduan tersebut, pendekatan sains-wahyu mestinya dibalik
menjadi wahyu-sains. Penafsiran isra’ mi’raj di atas adalah contoh alur pikiran
sains-wahyu, hasil sains dicari dan disesuaikan untuk mendukung nash kitab
suci. Pola yang mestinya kita kembangkan adalah pola wahyu-sains. Wahyu
dan tradisi dijadikan sebagai pijakan untuk membangun sains.

Dunia sufi mengenal nama Husain ibnu Mansur al-Hallaj (858-922M). Ajaran
al-Hallaj yang cukup populer adalah Haqiqot al-Muhammadiyah yang intinya
menyatakan bahwa awal mula dari segala penciptaan adalah Nur-Muhammad.
Muhammad saw terjadi dalam dua rupa yaitu rupa yang qodim (terdahulu)
dan baharu. Dari rupa yang qodim yaitu Nur-Muhammad diciptakan segala
sesuatu termasuk empat anasir api, udara, tanah dan air. Nur-Muhammad
adalah pusat kesatuan alam, pusat nubuwwah semua nabi serta sumber
pancaran ilmu dan hikmah serta meliputi seluruh ciptaan. Rupanya yang
baharu adalah rupanya sebagai manusia nabi dan rasul yang diutus Tuhan
dan merupakan bagian kecil dari pancaran Nur-Muhammad sendiri.

Ide ciptaan al-Hallaj sejalan dengan penciptaan jagat raya versi The Big Bang.
Dalam skenario Big Bang yang semula ada adalah superbola api yang
supermampat dan superpanas. Bola api ini meledak secara dahsyat dan
terhamparlah ruang dan waktu, gaya-gaya, partikel-partikel, inti atom, atom,
molekul, bintang dan galaksi serta kehidupan. Sisa radiasi saat ledakan besar
yang disebut Cosmic Microwave Background Radiation (CMBR) terdeteksi oleh
astronom A.Penzias dan R.Wilson. Nur-Muhammad setara dengan super bola
api, bunyi ledakan besar Big Bang dengan firman Tuhan KUN (Jadilah), dan
Nur-Muhammad yang meliputi seluruh alam ciptaan dengan CMBR.

Di dunia kalam juga terdapat hal serupa. Jauh sebelum atomisme kuantum
lahir dunia islam telah mempunyai atomisme Asy’ariyah yang unik. Atom
sebagai al-juz alladzi laayatajazza, bagian atau eksistensi yang tak bisa dibagi
lagi merupakan penyusun dunia. Atom merupakan lokus yang memberi
substansi pada aksiden.

Atomisme Asy’ariyah mempunyai tiga karakteristik. Pertama, atom tidak
mempunyai ukuran dan homogen tetapi terpadu membentuk benda yang
mempunyai entitas. Kedua, jumlah atom tertentu dan berhingga. Asy’ariyah,
berdasarkan QS al-Jin:28 menolak ketakberhinggaan mazhab atomis Yunani.
Ketiga, atom-atom dapat musnah dan lenyap secara fitrah, tidak bisa
bertahan selama dua saat berturut-turut, namun secara terus menerus Tuhan
menciptakan dan memusnahkannya. Al-Asy’ariyah bersandar pada teks kitab
suci seperti QS ar-Rum: 11.

Gagasan dasar atomisme Asyariyah sangat dekat dengan atomisme kuantum.
Di dalam kuantum, partikel adalah medan yang terpaket, memiliki
karakteristik partikel sekaligus gelombang dengan wujud konkrit sebagai
paket gelombang. Maka ia tidak memiliki dimensi sebagaimana materi
menurut pemahaman klasik. Selanjutnya, di dalam medan kuantum dikenal
adanya kreasi dan pemusnahan partikel. Secara alamiah partikel bisa
tercipta dan musnah.

Isra’ miraj dan dua contoh di depan mestinya dapat memicu ilmuwan muslim
dan melakukan reorientasi dalam aktivitas ilmiahnya. Mereka perlu kembali
mempertemukan ayat-ayat kitab suci dan ayat-ayat kauniyah. Persoalannya
kini, tradisi ilmiah di kalangan umat islam masih lemah. Kita masih
kekurangan ilmuwan muslim khususnya bidang eksakta, terlebih lagi yang
berreputasi internasional.

*) Pekerja LaFTiFA (Lab Fisika Teori dan Filsafat Alam) ITS, mantan Vice-
President of Saijou-Hiroshima Moslem Association.

Pilpres dan Fenomena Kebangkrutan Agama

SURYA, 27 Juli 2004
Oleh: Agus Purwanto*)

Dalam rentang waktu satu tahun ini kita disodori tiga peristiwa serupa meski tak sama
yaitu Inul, AFI dan pilpres. Ketiganya merupakan jalan menuju puncak yang menyita
perhatian publik, fenomenal dan rakyat menjadi penentu akhirnya. Ketiganya juga
menyimpan ironi yakni melibatkan asing dan mengisyaratkan ketakberdayaan agama.

Kedaulatan Rakyat

Inul adalah pribadi yang melejit dengan gerak revolusi pinggulanya yang berkecepatan
tinggi. Ketika karir ini masih bersifat lokal yakni dari kampung ke kampung tidak
terdengar tanggapan atasnya. Tetapi begitu naik ke level nasional mulai muncul kritik
dan kontroversi. Kritik keras bahkan larangan atas Inul dan Inulisasi direpresentasikan
oleh raja dangdut, Rhoma Irama.

Sebenarnya kritik Rhoma ada pada jalur yang benar tetapi wajah sendu, polos dan
kadang tetes air mata Inul membangkitkan simpati massa atasnya dan anti Rhoma.
Singkat kata, Inul menang dan popularitasnya kian meroket. Banyak artis berdecak
kagum dan menumpang ketenarannya.

AFI adalah aktivitas kelompok yang mampu memaksa sebagian masyarakat duduk
manis di depan teve selama dua jam setiap Sabtu malam dan mendiskusikannya
keesokan harinya. Ada tiga juri yang menilai penampilan setiap kontestan AFI tetapi
kata akhir tereliminasi tidaknya sang kontestan adalah para pemirsa.

Pemenang akhir AFI pertama adalah Fery kontestan asal Medan. Penampilannya yang
kalem dan cerita yang sempat berkembang sebelumnya bahwa dia berasal dari kalangan
wong cilik telah menumbuhkan simpati dan mengalahkan dua pesaing akhirnya KIA
dan Mawar. Para pengamat dan pekerja seni seperti Agus Sutejo Jiwo di salah satu teve
swasta mengatakan bahwa sebenarnya KIA lebih representatif daripada Fery.

Pemilu 5 Juli merupakan hajatan nasional dengan berbagai suguhan baru yang sangat
menarik. Salah satu suguhan tersebut adalah debat capres, para capres bebas mengurai
argument, bersumpah dan menjanjikan berbagai layanan gratis bila terpilih. Tetapi
keputusan akhir pemenang pilpres adalah rakyat yang memutuskannya di 570 000-an
TPS di seluruh pelosok tanah air.

Pemenangnya adalah mereka yang simpatik, tinggi besar, tampan dan pandai menyanyi,
serta yang dianiaya dengan fatwa haram. Pasangan paling kredibel dan kompeten yang
konon didukung kelompok reformis maupun strong and democratic leader versi iklan
kampanye Gus Dur terpaksa harus tersingkir.

Kesamaan dari tiga peristiwa di atas adalah kedaulatan rakyat dan keterlibatan pihak
asing. Inul menang dari Rhoma, Fery menjadi nomor satu dan SBY-JK serta Mega-
Hasyim masuk pilpres putaran kedua adalah atas kehendak rakyat. Untuk kasus terakhir
kita perlu menyampaikan selamat kepada rakyat yang telah menentukan calon
pimpinannya lima tahun ke depan secara bebas dan mandiri. SELAMAT untuk rakyat.

Ketiganya juga melibatkan asing. Inul makin berkibar ketika media asing Newsweek
memberitakan perjalanan karirnya secara cukup lengkap. AFI, Indonesian Idol maupun
“Who Wants to Be a Millioner” adalah tayangan import atau produk asing. Sedangkan
pemilu saat ini juga didanai, ditongkrongi dan dipengaruhi orang asing yang berkedok
pengamat, analis maupun akademisi.

Kematian Agama

Ketiga peristiwa di atas juga mengisyaratkan satu hal yang perlu dicermati dan disikapi
lebih serius. Kuntowijoyo (Kompas, 7/7/2004) dalam kasus politik yang baru
berlangsung menyebut dengan istilah pragmatisme religius. Maksudnya, dikotomi
sekuler-religius hilang dan semua urusan mempunyai dimensi rasional, ketuhanan dan
kemanusiaan. Kunto merujuk fakta bahwa semua pasangan capres-cawapres membawa
warna nasionalis-religius.

Bila hanya melihat peristiwa politik pilpres kita mungkin memang harus optimis seperti
akhir tulisan Kunto, siapapun yang dipilih hasilnya pasti sekuler-religius. Namun
menjadi lain bila tiga peristiwa di atas dilihat sebagai satu kesatuan yang kronologis dan
hirarkis. Mulanya Inul sebagai individu, kemudian AFI sebagai komunitas panggung
Indosiar dan terakhir perhelatan nasional pilpres.

Inul berasal dari keluarga biasa yang cukup aktif dalam mengikuti pengajian di
Pasuruan salah satu kota santri di Jatim. Pasuruan sendiri sempat dua kali mencuri
perhatian publik tanah air. Tepatnya ketika Amien Rais dicekal datang di kota tersebut
beberapa tahun lalu, dan ketika fatwa haram memilih pemimpin perempuan tiga bulan
lalu.

Tetapi Inul dan Inulisasi yang berkembang pesat sama sekali tidak merepresentasikan
santri dan berbagai atributnya. Santri yang baru belajar mengeja huruf hijaiyah pun tahu
bahwa goyang ngebor Inul dilarang Islam untuk dipertontonkan. Uniknya, pemuda-
pemuda kampung yang cukup rajin sholat berjamaah di masjid ikut mencemooh Rhoma
Irama lantaran pernah memarahi Inul.

Di sini agama menjadi tidak berdaya menyentuh problem Inul dengan kreasinya. Opini
yang berkembang adalah goyang ngebor merupakan problem seni dan kreativitas
karenanya tidak perlu dilarang. Sesekali diberitakan bahwa Inul adalah alumni sekolah
islam dan pandai membaca al-Qur’an untuk membangun opini bahwa sang ratu ngebor
adalah sosok kreatif-religius.

Di akhir setiap acara AFI selalu ada peserta yang tereliminasi. Di saat perpisahan yang
mengharukan peserta selalu berangkulan satu sama lain sambil –maaf- mengelus-elus
pundak yang tak tertutup kain dan bercium pipi peserta tereliminasi yang lawan jenis
sekalipun. Beberapa menit menjelang acara berakhir ada nasihat dari pembina ruhani
AFI ,”Jangan lupa, rajin sembahyang.” AFI pun tampak bagai tontonan artistik-religius.
Artinya, seni dengan segala asesorisnya termasuk yang menabrak agama maupun
kegiatan ritual seperti sembayang dapat berjalan berbarengan secara damai.

Kasus pemilu mungkin yang paling seru. Para pemuka agama berdiri berseberangan,
saling hajar lalu minta dukungan pada komunitas yang sama. Mereka pun tanpa risih
membicarakan pembagian bakal pendapatan dengan rekan yang kebetulan lain
dukungannya. Padahal pembicaraan itu ditayangkan media elektronik secara luas. Gus
Dur pun terpaksa menjadi makelar dengan meminta orang lain menyoblos pasangan
Wiranto-Solah sementara dia sendiri mengulang-ulang pernyataan akan golput.

Ummat yang selama ini penurut dan patuh mulai berani mengabaikan pimpinan mereka
dan secara bebas menentukan calonnya sendiri. Ummat mulai “rasional” dan tidak takut
kuwalat karena tidak mengikuti saran dan ajakan para kyai. Lebih dari itu, ummat juga
tidak peduli isu “anti islam” yang dihembuskan pada calon pilihannya, pun tak peduli
fatwa haram presiden perempuan.

Peristiwa elit agama selama musim kampanye lalu mengingatkan kita atas perilaku para
agamawan di Eropa abad 19 yang tidak sesuai dengan kaidah agama yang banyak
dikhutbahkannya. Waktu itu Nietsczhe memberontak dengan teriakan terkenal, “Tuhan
telah mati”. Protes Nietsczhe cukup relevan diusung ke negeri ini. Inuliasasi, AFI dan
pemberontakan atas perilaku elit agama serta perilaku elit agama itu sendiri saat pilpres
tentu lebih dari sekedar fenomena sekuler-religius melainkan juga kebangkrutan dan
kecenderungan pada kematian agama.

Atau boleh juga meminjam istilah Comte, masyarakat Indonesia sedang memasuki
jaman ketiga yakni jaman positif. Jaman dengan segala fenomenanya yang tidak lagi
memerlukan penjelasan teologis (agama) maupun metafisis.

Menanti Kesadaran Elit Agama

Ketiga peristiwa di atas jelas memberi pesan yang memprihatinkan dari perspektif
agama. Jepang barangkali dapat dijadikan contoh dari negeri positivistik. Di bulan
Desember denyut perayaan Natal dapat dirasakan di seantero Jepang. Uniknya, mereka
tidak merasa atau mengaku sebagai umat kristiani. Mereka pun mengaku tidak tahu
mengapa harus merayakan Natal selain tahu bahwa Barat melakukan pesta semacam ini
di setiap akhir tahun. Dalam banyak kesempatan penulis bertanya kepada mahasiswa S1
sampai S3 perihal agama mereka. Jawabnya seragam,”tidak tahu” dan mereka merasa
tidak beragama, dan mengalami peristiwa keagamaan hanya dalam tiga kesempatan.
Ketika lahir disambut secara budhis, menikah secara kristiani dan kembali budhis dalam
ritual kematian.

Ketercerabutan cita keagamaan masyarakat Indonesia belum separah masyarakat Jepang.
Namun bila melihat ke belakang misalnya sepuluh tahun lalu kemudian dibandingkan
keadaan saat ini, yang mana perempuan Indonesia berani tampil semi telanjang di
televisi tanpa rasa risih sedikit pun maka tidak terlalu berlebihan bila dibayangkan dan
diprediksi bahwa dalam satu-dua dasawarsa ke depan kita akan lebih dari Jepang dalam
pengasingan agama secara formal dan lebih dari Barat dalam memuja tradisi nudis dan
pergaulan bebas.

Kematian agama tidak berarti ateisme yang meniadakan Tuhan melainkan
dikesampingkannya peran agama dan Tuhan sebagaimana pandangan dunia mekanik
(mechanical world view). Tuhan dan ciptaanNya diibaratkan sebagai clockmaker dan
jam yang dibuatnya. Mulanya sang pembuat jam berfikir keras jam macam apa yang
akan dibuatnya, setelah ide muncul jam pun dibuat dan kemudian dibiarkan berjalan
sendiri sampai rusak. Singkatnya, Tuhan telah pensiun dari kesibukan proses penciptaan
mahluk.

Dalam era kematian agama barangkali Tuhan masih disebut-sebut bahkan secara hiruk-
pikuk. Namun penyebutan itu telah kehilangan makna transendentalnya. Penyebutan itu
pun tak lebih dari sekedar menyebut-nyebut perihal jenazah yang ada di depan kita
sementara kita bebas melakukan apa saja tanpa segan dan malu di depannya.

Itulah gambaran keagamaan masyarakat Indonesia yang terefleksi dari tiga serangkai
peristiwa Inul, AFI dan pilpres. Para elit harus membumikan ajaran agama dan tidak
boleh memperdagangkan dan mempermainkan agama. Elit Muhammadiyah, NU, Persis,
al-Irsyad dan yang lainnya tidak boleh gampang dibeli. Aktifis HMI, PMII, IMM,
KAMMI dan berbagai kelompok pengajian kampus tidak boleh disewa untuk demo
ataupun berebut duduk di belakang saat ujian apalagi nyontek. Sedikit kesalahan mereka
akan mempercepat proses kematian agama di negeri ini. Sebab merekalah simbol dan
bukti doktrin agama terdekat yang dapat dilihat langsung massa kebanyakan.

*) Pekerja di Lab Fisika Teori dan Filsafat Alam (LaFTiFA) ITS; mantan Vice-
President of Saijou-Hiroshima Association.

PSK, Siapa Peduli?

KOMPAS, 30 April 2004
Oleh: Agus Purwanto*)

Kasus pangkat dan golongan Dr. Terry Mart di jurusan fisika UI jelas kalah populer dari
kasus pemilu dan capres RI, meskipun demikian tetap sangat menarik untuk terus
diangkat. Pasalnya, kasus Terry Mart adalah potret buram dunia ilmu di negeri ini.
Sementara tidak dapat dipungkiri bahwa kemajuan suatu negeri juga berbanding dengan
kemajuan dunia ilmu.

Publikasi Terry Mart di jurnal internasional bias dilihat misalnya di http://xxx.lanl.gov
milik Los Alamos National Laoratory. Ada sekitar empat puluh published paper Terry
Mart bersama koleganya di dalam dan luar negeri. Dengan reputasi tersebut, dia adalah
satu dari amat sangat sedikit the real scientists yang kita miliki. Namun masa kerjanya
yang lebih dari sepuluh tahun dan reputasinya memang tidak serta merta membuatnya
dihargai. Sampai saat ini ia masih golongan 3A, golongannya sepuluh tahun lalu.

Seperti disinggung oleh Liek Wilardjo (Kompas, 9/3/2004) ada prosedur promosi yang
salah di fisika UI khususnya dan Indonesia umumnya. Keruwetan birokrasi, standar
yang tidak sama dan yang tidak kalah pentingnya adalah kepedulian dan kesadaran
pejabat atau atasan merupakan sebabnya.

Keruwetan birokrasi telah menjadi rahasia umum dan terjadi di mana-mana. Birokrasi
kita berpijak pada filosofi jahiliyah “bila dapat dipersulit mengapa harus dipermudah”.
Standar formal memang sama tetapi standar moral berbeda dan sangat bergantung pada
latar belakang kumpulan individu di dalamnya. Staf senior fisika UI Dr. Na Peng Bo
merasa malu untuk menjadi dan mendapat gelar guru besar. Sedangkan satu-satunya
kosmolog kita Jorga Ibrahim, DSc sampai pensiun juga tidak menyandang gelar
tersebut. Sementara di tempat lain gelar ini diperebutkan oleh orang-orang yang relatif
sepi dari prestasi ilmiah.

Standar moral ini memang kembali kepada sikap dan pilihan individual yang harus
dihormati oleh siapapun sepanjang individu bersangkutan menerima konsekwensi
pilihannya. Ada seorang staf senior yang memperoleh gelar doktornya dari Amerika
belakangan ini rajin mengurusi promosi guru besar setelah tahu salah seorang muridnya
kini telah menjadi professor. Inilah contoh konsekwensi dari pilihan. Menjadi guru
besar bukan karena penghayatan tata nilai dan standar reputasi tetapi karena
pertimbangan subyektif dan lokal.

Masyarakat umum sangat silau pada gelar professor meskipun mereka tidak tahu
menahu kualitas serta jenis keprofesoran seseorang. Adalah fakta, bahwa profesor –
misalnya- di jurusan fisika seringkali sejatinya bukanlah guru besar di bidang fisika.
Namun demikian, seorang professor akan diperlakukan sangat istimewa bila berobat di
rumah sakit. Ia juga bisa mendapat honor sampai lima kali lipat dibanding sebelum
menjadi professor bila diundang ceramah. Jadi gelar professor memberi keuntungan
material yang lumayan.

Mungkin yang perlu kita soal adalah kepedulian pejabat terkait atas proses promosi. Di
salah satu fakultas di UGM proses kenaikan pangkat berjalan otomatis tanpa harus
mengurus sendiri. Para staf tinggal menjalankan tugas mengajar dan meneliti. Suatu
ketika mereka diberi tahu bahwa per tanggal sekian mereka telah naik jenjang. Jurusan
mereka telah membuat tim untuk proses kenaikan pangkat. Proses otomatis ini tidak
berarti mengurangi nilai atau tantangan kompetisi di antara para staf untuk berprestasi.
Tugas tim hanya menangani proses adminstratif dari berkas-berkas penelitian maupun
SK dari para staf.

Semestinya kita meniru langkah proses tersebut. Tetapi langkah ini sangat bergantung
pada wawasan para pejabat terkait. Selama ini bila ada orang mengalami keadaan
seperti Terry Mart kita akan cenderung menyalahkan yang bersangkutan dan memvonis
cuek. Kita yang umumnya mengurus dan membayar orang untuk proses kenaikan
pangkat nyaris tidak pernah menyalahkan para pejabat yang tidak kalah cueknya.

Secara filosofis, kenaikan pangkat sebenarnya merupakan penghargaan yang harus
diterima seseorang atas jerih payah serta prestasinya. Kita pun telah memilih ketua
jurusan, dekan, rektor dan para pembantunya. Mereka telah dikurangi jam mengajarnya,
diberi tempat ber-AC dan beberapa fasilitas termasuk gaji tambahan. Tetapi umumnya
mereka cuek atas sistem dan proses kenaikan pangkat di lingkungannya.

Hal yang juga perlu ditekankan adalah bahwa jenjang kepangkatan bukan sekedar
kebutuhan individu bersangkutan melainkan juga kebutuhan institusi. Salah satu jurusan
di PTN besar hendak membuka program S3. Dari nama staf pengajar yang tertera dalam
proposal terdapat dua doktor yang masih berstatus Asisten Ahli dan golongan 3A
dengan masa kerja delapan dan sepuluh tahun di golongan tersebut. Uniknya, di dalam
proposal keduanya ditulis berstatus lektor. Lagi-lagi cerita manipulasi. Padahal, salah
seorang staf jurusan tersebut yang juga tercatat sebagai salah seorang pengajar dalam
proposal adalah pembantu rektor.

Kasus di atas mengisaratkan ini bahwa para petinggi cuek, tak peduli dan mau
gampangnya saja. Mereka bangga dan puas misalnya dalam periode kepemimpinannya
berdiri program baru meskipun prosesnya melanggar aturan. Dus, peran dan tugas para
petinggi lembaga pendidikan harus diluruskan. Mereka pun harus diingatkan agar
berusaha menciptakan mekanisme birokrasi yang rasional dan memudahkan di
lembaganya masing-masing.

Urusan kenaikan pangkat harus dipermudah bahkan perlu dirombak secara lebih drastis
misalnya membuang beberapa persyaratan semisal pengabdian masyarakat. Sulit
dibayangkan bagaimana seorang seperti Jorga Ibrahim, DSc. yang berkutat dalam
kosmologi dan diferensial geometri harus mengabdi di masyarakat dalam arti
konvensional. Tuntutan ini tampak bagus tetapi mengabaikan pohon ilmu dan
perkembangannya. Akibatnya, persyaratan kenaikan pangkat menjadi kompleks, dunia
ilmu kita pun tidak mengalami kemajuan bahkan menampakkan kemunduran terlebih
bila dibanding negara tetangga. Persyaratan ini pun juga banyak menghasilkan guru
besar tanpa prestasi ilmiah yang berarti.

Mekanisme kenaikan pangkat otomatis asal persyaratan formal telah dipenuhi seperti di
salah satu fakultas di UGM perlu dicontoh. Apa salahnya bila Terry Mart di fisika UI,
Danny dan Permana di jurusan astronomi ITB naik pangkat otomatis dalam artian tidak
mengurus sendiri? Seperti ditulis Liek Wilardjo, Danny dan Permana cuek dengan
pangkatnya dan telah puas dengan pengakuan dalam bentuk lain yakni diundang dalam
seminar internasional. Kasus Permana dan peraih ITSF award Dr. Evvy Kartini adalah
kasus khusus yang tidak mestinya digeneralisir. Permana dan Evvy Kartini berasal dari
keluarga berada dan tidak ada masalah dengan gajinya yang tidak seberapa dan tidak
bertambah. Permana sanggup menyediakan dana sendiri untuk satu tahun pertama
studinya di Texas. Demikian pula Evvy Kartini ketika beberapa kali keluar negeri.

Cukup mendesak bagi lembaga pendidikan untuk berinisiatif membuat kebijakan dan
mekanisme kenaikan pangkat otomatis. Dengan demikian dosen yang gajinya sangat
mepet itu tak perlu lagi dibebani oleh banyak hal. Ironi departemen agama yang dikenal
sebagai lembaga paling korup tidak perlu diulangi dengan membuat departemen
pendidikan khususnya pendidikan tinggi sebagai lembaga paling tidak ilmiah.

Kita pun sepakat bahwa seunggul apapun suatu bibit tidak akan dapat tumbuh baik di
lahan yang tandus dan gersang. Melihat prestasi pelajar Indonesia ketika studi di luar
negeri maka tanpa keraguan sedikitpun kita berani mengatakan bahwa SDM kita setara
dan tidak kalah dari SDM negara manapun. Sayangnya, bibit-bibit yang telah diolah
sedemikian rupa di negeri maju itu sekembalinya di tanah air menjadi layu sebelum
berkembang. Mereka pun diperkosa sedemikian rupa sehingga akhirnya menjadi PSK,
Pekerja SKS Komersial yang mengajar di mana-mana dan tidak lagi mempunyai waktu
untuk riset bahkan sekedar belajar hal baru. Tragis memang, tetapi siapa peduli?

*) Pekerja LaFTiFA (Lab Fisika Teori dan Filsafat Alam) ITS

Mu’tazilah di Negeri Sampah

REPUBLIKA, 14 Pebruari 2004
Oleh: Agus Purwanto*)
 
Di pergantian tahun 2003-2004 lalu ada fenomena menarik yang mungkin lepas dari
perhatian banyak orang. Fenomena tersebut adalah maraknya tayangan ramal meramal di
beberapa stasiun televisi. Tayangan ini dan tayangan rutin semacam Dunia lain membuat
sebagian insan dari dunia pendidikan tercenung masygul dan sampai pada kesimpulan
Indonesia benar-benar tempat sampah!

Mengurai Sampah

Sedikitnya ada dua hal yang menuntun pada kesimpulan seperti itu. Pertama, pemahaman
dan praktik kebebasan, demokrasi dan HAM kita. Di Barat memang sangat bebas
termasuk berbeda pendapat serta perdebatan. Tetapi kebebasan yang kita ambil justru
kebebasan sampah seperti penampilan dan pose semi telanjang serta pergaulan bebas asal
suka sama suka. Fenomena paling aktual yaitu kriteria poligami bagi politisi busuk juga
merepresentasikan kebebasan sampah.

Di dalam berdemokrasi, dulu Jenderal AH Nasution (alm) pernah diminta menjadi
presiden menggantikan Soekarno tetapi beliau menolaknya. Alasannya sederhana, beliau
merasa bukan orang Jawa. Kini jangankan orang luar Jawa, orang nonmuslim pun maju
sebagai capres di negeri yang mayoritas muslim ini. Fenomena yang belum pernah terjadi
di negeri kampiun demokrasi Amerika sekalipun.

Konon, menghalangi kebebasan bergaul dan melarang warga negara apapun suku dan
agamanya menjadi capres berarti melanggar HAM. Kita pun mengambil HAM sampah,
dan kehilangan kearifan individu maupun kolektif.

Kedua, tayangan ramal meramal di televisi. Beberapa peramal yang ditampilkan adalah
warga Cina yang konon ahli feng shui. Menurut penulis menampilkan ramal meramal ala
Cina dan lainnya di saat masyarakat perlu dibangkitkan etos kerja dan kesadaran
ilmiahnya berarti menampilkan sisi sampah dari suatu tradisi. Banyak kebiasaan
masyarakat Cina yang lebih layak untuk ditayangkan dan disosialisasikan.

L.A. Marschall di dalam “The Supernova Story” menulis cukup lengkap hasil dari tradisi
begadang dan mengamati langit di Cina. Sejarah Cina mencatat setengah lusin pertama
bintang baru yang kini dikenal sebagai supernova, berturut-turut tahun 185, 386, 393,
1006, 1054, dan 1181. Pengamatan yang mendahului sejawatnya di Arab maupun Eropa.
Kini supernova diketahui mempunyai peran dalam menyibak rahasia alam semesta dan
menjadi obyek perburuan para ahli astrofisika.

Tradisi ilmiah hidup terus di Cina; Tsung Dao Lee, Chen Ning Yang dan Chien Shiung
Wu adalah contoh produknya. Dua nama pertama adalah pemenang hadiah nobel fisika
tahun 1957. Lee dan Yang masing-masing kelahiran Shanghai dan Hofei masih berusia
31 dan 35 tahun ketika menerima hadiah tersebut. Sedangkan nama ketiga merupakan
wanita penemu penyimpangan paritas dalam peluruhan beta.

Salah satu akselerator partikel besar dunia ada di Cina. BEPC (Beijing Electron Positron
Collider
) adalah kolider versi SLAC (Stanford Linear Accelerator Center) SPEAR yang
diupgrade. Akselerator ini menghasilkan sejumlah besar quark charm, lepton tau, dan
telah membuat pengukuran masa lepton tau.

Reputasi paling aktual dan sekaligus menjadi kebanggaan masyarakat Cina adalah
penerbangan ruang angkasa 15 Nopember 2003 lalu. Prestasi ini telah direkam dalam
video CD dengan judul Flying Dream Fulfilled dan sudah beredar di pasaran. CD ini
meneritakan 20 tahun perjalanan Cina mengejar impian dan ambisi mengarungi ruang
angkasa. Sen Zhou 5 dan awaknya Yang Li Wei meneguhkan Cina sebagai negara ketiga
yang sukses melakukan penerbangan ruang angkasa setelah Rusia dan Amerika.

Banyak tradisi dan semangat masyarakat Cina yang jauh lebih berguna ditampilkan di
negeri kita. Khususnya impian, ambisi serta usaha Cina untuk sejajar dengan negara-
negara maju lainnya. Jauh-jauh hari pun kita dipesan utlubil ilma walau bissin, tuntutlah
ilmu walau sampai di negeri bambu ini.

Perspektif Teologis

Belajar dari pengalaman negeri yang kini lebih maju dari kita seperti Cina, Jepang, Korea,
Malaysia, bahkan Vietnam, kata kuncinya adalah ilmu pengetahuan atau sains. Bangunan
sains kealaman khususnya didirikan di atas pondasi keteraturan jagad raya dan
penerimaan hukum kausalitas.

Namun, penerimaan prinsip kausalitas terkait erat dengan pandangan teologis. Teologi
merupakan bagian utama dari pandangan dunia (world view) yang melukiskan kaitan
antara Sang Pencipta dan yang dicipta. Itu sebabnya masalah pengembangan sains bukan
sekedar persoalan kapital melainkan juga persoalan teologis. Persisnya, efek dari
pandangan teologi.

Teologi atau ilmu kalam yang diajarkan di dunia islam termasuk Indonesia adalah aliran
Asy'ariyah atau sering disebut sebagai ahl sunnah wal jamaah. Padahal pandangan
Asy’ariyah cenderung berseberangan dengan landasan sains yang disebutkan di atas.
Aliran kalam lain yaitu Mu’tazilah cenderung berpandangan rasional liberal. Aliran ini
berpandangan bahwa alam bahkan Tuhan sendiri terikat oleh hukum alam yang tidak
berubah. Mu’tazilah berpandangan setiap benda mempunyai nature-nya sendiri,
menimbulkan efek tertentu dan tidak dapat menghasilkan efek lain. Api tidak
menghasilkan sesuatu kecuali panas, dan es tidak menghasilkan sesuatu kecuali dingin.
Dan, efek yang ditimbulkan oleh setiap benda bukan perbuatan Tuhan. Keseragaman
peristiwa alamiah itulah yang dikenal sebagai hukum kausalitas.

Abu al-Hasan al-Asy’ari yang mulanya pengikut Mu’tazilah tidak setuju ide nature dan
efeknya yang khas. Api tidak mempunyai sifat panas dan daya bakar, buktinya nabi
Ibrahim tidak hangus saat dibakar. Asy’ariyah juga menolak kausalitas; dan menurutnya
keseragaman peristiwa alamiah hanya penampakan dan tidak nyata dalam arti tidak
memiliki eksistensi obyektif. Sebab akibat tidak lebih dari sekedar kontruksi mental atau
kebiasaan dalam pikiran.

Asy’ariyah juga menolak pandangan Mu’tazilah tentang kehendak bebas dan daya
manusia. Ide ini difahami Asy’ariyah sebagai adanya pencipta (daya) selain Tuhan yang
pada gilirannya juga bermakna manusia tidak lagi berhajat kepada Tuhan. Dengan
demikian Mu’tazilah jatuh dalam kekafiran.

Mengenai perbuatan manusia, agar tidak seperti Mu’tazilah tetapi juga tidak jatuh pada
pandangan jabbariyah Asy’ariyah memperkenalkan ide al-kasb (perolehan). Al-kasb
merupakan perbuatan yang terletak di dalam lingkungan daya yang diciptakan, dan
diwujudkan dengan perantara daya yang diciptakan. Dengan demikian daya manusia
turut serta dalam perwujudan manusia, karenanya manusia tidak sepenuhnya pasif.
Konsep ini cukup sulit difahami orang kebanyakan dan simplifikasinya tetap membawa
pada ide fatalistik.

Asy’ariyah memang berangkat dari aksioma superioritas Tuhan. Kausalitas hanya akan
menurunkan peran dan derajat kesakralan Tuhan. Sikap ekstrim ini, menurut perenialis
Frithjof Schuon membawa pada paradoks dan absurditas. Menjadi hampa makna dan
absurd ketika Tuhan menjanjikan surga tetapi Dia dengan sewenang-wenang boleh
melanggarnya sebagaimana ide Asy’ariyah.

Schuon juga memperlihatkan argumen penolakan Asy’ariyah pada nature segala sesuatu
misalnya api yang panas dan membakar tertolak. Seandainya api tidak mempunyai nature
demikian maka Tuhan tidak akan memerintah api menjadi dingin (QS 21:69).

Pengalaman Fisika

Pandangan Mu’tazilah selaras dengan sains secara umum. Sungguhpun demikian,
penerimaan kausalitas dan Mu’tazilah tidak berarti harus membuang Asy’ariyah seperti
saat ini yaitu menerima Asy’ariyah tetapi mengkafirkan serta menolak Mu’tazilah.
Atomisme Asy’ariyah yang sepenuhnya berangkat dari teks kitab suci, orisinil dan unik.
Al-Baqillani menyatakan bahwa alam terdiri dari atom-atom yang tidak mempunyai
ukuran, homogen dan berjumlah berhingga. Meskipun tak berdimensi atom-atom terpadu
membentuk benda yang berdimensi. Atom-atom juga tercipta dan musnah seketika
karenanya tidak ada konsep jarak. Tuhan terus menerus mencipta (QS 30:11) atom-atom
dengan sifat yang sama selama Dia menginginkan benda yang sama. Ternyata gagasan
ini dekat dengan atomisme kuantum.

Mu’tazilah dan Asy’ariyah berseberangan tetapi keduanya juga menawarkan kebenaran.
Fisika dapat mendamaikan antara kausalitas yang mengikat Tuhan ala Mu’tazilah dan
penciptaan serta pemusnahan oleh kesewenang-wenangan Tuhan versi Asy’ariyah. Dunia
makroskopik memenuhi hukum kausalitas deterministik Newtonian sedangkan di dunia
mikro berlaku hukum probabilistik. Mekanika klasik tidak mampu mendiskripsikan
perilaku mikro sedangkan mekanika kuantum tidak efektif menjelaskan penampakan
makro. Keduanya dikaitkan oleh prinsip korespondensi Bohr, wilayah makro merupakan
limit ekstrim gambaran mikro.

Keduanya mampunyai domain berbeda, saling melengkapi dan dalam bahasa teologi
sama-sama memerlukan kehadiran aktor tunggal yaitu Tuhan. KemunculanNya saja yang
berbeda, pada wilayah makro muncul dalam bentuk sunnatullah yang tetap, sedangkan di
wilayah mikro dalam ketentuan yang tak dapat dipastikan kecuali kemungkinanNya.
Selanjutnya untuk mengejar ketertinggalan dalam banyak aspek kita perlu membuat
breakthrough ala Bacon yang sangat anti metafisika dan logika Aristotelian yang hanya
bertumpu pada silogisme dan menggantinya dengan metoda ilmiah yang bertumpu pada
eksperimen. Caranya, kita luruskan pemahaman teologi seperti uraian di depan dan
berhenti ramal-meramal ala paranormal dan sejenisnya yang sulit dikonfirmasi oleh akal
sehat.

Dalam keadaan seperti saat ini, pemilu depan kita tidak perlu memilih presiden tetapi
pengelola sampah. Kita butuh sosok yang memahami betul jenis, manajemen dan proses
daur ulang serta mau berkotor-kotor menangani sampah, baik demokrasi, kebebasan
maupun tradisi sampah. Tentu, agar negeri ini tidak menjadi keranjang sampah.

*) Pekerja LaFTiFA (Lab Fisika Teori dan Filsafat Alam) ITS dan mantan Vice-President
of Saijo-Hiroshima Moslem Association
.

Selasa, 20 Mei 2008

Al-Qur'an: Sumber Inspirasi Ilmu Pengetahuan

REPUBLIKA, 12 Nopember 2003
Oleh: Agus Purwanto*)

“Bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan al-Qur’an sebagai petunjuk bagi
manusia, penjelasann mengenai petunjuk itu dan pembeda …”
(QS 2:185)
.

Al-Qur’an bersama sunnah rasul saw merupakan dua pegangan utama ummat Islam
dalam mengarungi hidup di masa dan pasca kehidupan rasul saw. Mengingat fungsinya
yang demikian maka banyak karya tulis dibuat dalam rangka mempertahankan spirit dan
inti pesan agar tidak keluar konteks tetapi tetap sesuai dengan situasi ruang-waktu.

Berdasarkan kenyataan itu pula, kita perlu menguji pemahaman kita selama ini atas
pesan-pesan keduanya. Kini, kita hidup di era cyber, era TI, di era teknologi skala nano
(sepermilyar meter). Bahkan mungkin juga era angkasa luar setelah negeri dengan
penduduk terpadat di dunia yang konon tidak terlalu kaya berhasil meneguhkan dirinya
menjadi negara ketiga yang berhasil meluncurkan manusia ke ruang angkasa. Negeri itu
adalah Cina yang kita kenal dengan pesan “utlubil ilma walau bissin”. Cina mampu
meluncurkan pesawat ruang angkasa Shenzhou 5 berawak satu yakni Yang Liwei yang
berusia 38 tahun. Singkatnya, era ilmu pengetahuan yang bertumpu pada keruntutan
berfikir yang secara teologis lebih condong pada teologi Mu’tazilah yang selama ini
justru kita jauhi.

Bagaimana pesan al-Qur’an tentang ilmu pengetahuan? Apa makna petunjuk dan
pembeda dalam konteks bangunan ilmu pengetahuan? Syekh Jauhari Thonthowi guru
besar universitas Kairo penulis kitab tafsir al-Jawahir membuka tafsirnya dengan
mengungkap fakta sekaligus menggugat ulama islam. Di dalam al-Qur’an hanya terdapat
sekitar 150 ayat hukum sementara ayat kauniyah lima kali lipatnya, yakni sekitar 750
ayat. Ulama islam telah mengerahkan sebagian besar waktu dan tenaganya untuk menulis
ribuan kitab fikih tetapi nyaris tidak satu pun buku tentang alam ditulis.

Jelas, selama ini kita terlalu berorientasi pada fiqih meskipun dalam praktek
kesehariannya amalan fiqih kita sangat amburadul. Kita perlu menyeimbangkan orientasi
dalam memahami dan menangkap pesan kitab suci dan sunnah rasul saw. Syair-syair
semisal al-fiqhu anfusu syaiin, fiqih adalah segalaanya atau fiqih adalah ilmu yang paling
berharga; idza maa’ tazza dzu ilmin bi ilmin fa ilmul fiqhi aula bi’ tizaazin, bila orang
berilmu mulia lantaran ilmunya maka ilmu fiqih membuatnya lebih mulia, perlu
didekontruksi maknanya. Kita kini berada di dalam kurun interdepedensi, saling
kebergantungan satu dengan yang lain tanpa harus merasa yang satu lebih dari yang lain,
tak terkecuali ilmu fiqih.

Kembali ke pertanyaan bagaimana pesan al-Qur’an tentang ilmu pengetahuan. Jawabnya
sangat jelas, Allah akan meninggikan derajat orang beriman di antara kalian dan berilmu
(QS 58:11). Ringkasnya, kata kunci bagi kebangkitan islam yang didengung-dengungkan
sejak memasuki abad 15 hijriyah adalah iman dan ilmu. Tentu, yang dimaksud ilmu di
sini termasuk juga ilmu material seperti matematika, fisika, kimia, biologi, komputer dan
berbagai terapannya. Tanpa ilmu material ini kekuatan kita tidaklah maksimal dan tidak
akan mampu menembus bumi seperti yang dilakukan Jepang dalam membangun
laboratorium SuperKamiokande, pendeteksi neutrino, di kedalaman satu kilometer di
bawah permukaan bumi. Kita juga tak bakal mampu menembus langit seperti yang
dilakukan oleh para astronot Rusia, Amerika dan Cina meskipun kita telah hafal di luar
kepala teks al-Qur’an surat ar-Rahman ayat 33. Kekuatan kita tidak maksimal sebab sulit
disangkal bahwa knowledge is power.

Kunci berikutnya sebagai pedoman praktisnya adalah tradisi membaca dan berfikir kritis
sebagaimana surat yang pertama turun yaitu iqra’ bismirabbika alladi khalaq, khalaqal
insana min ‘alaq. Kita harus membangun tradisi membaca ayat-ayat tertulis maupun
ayat-ayat yang terhampar di jagad raya. Karena bangunan ilmu khususnya ilmu modern
sudah didirikan sejak enam abad lalu, kita tak perlu lagi membangun ilmu dari nol
dengan mengamati perilaku alam satu demi satu. Adalah cukup dengan menyimak secara
seksama apa yang telah dilakukan oleh Copernicus, Kepler, Newton, Laplace, Gauss,
Maxwell, Planck, Schrodinger, Feynman, Einstein, Hawking dan banyak lagi lainnya via
artikel atau uraiannya dalam berbagai buku teks. Buku-buku yang memuat ilmu-ilmu
yang telah dikembangkan para ilmuwan tersebut telah memenuhi perpustakaann besar di
seluruh dunia. Ilmunya telah menjadi milik semua orang tanpa kecuali. Persoalannya, kita
ingin memiliki dan menguasainya atau tidak. Atau sebaliknya, kita justru ingin
dikuasainya?

Setelah menguasai dan mengenali pondasi bangunan ilmu tersebut, kita mungkin melihat
adanya bagian-bagian yang perlu ditata ulang dan menjadikan al-Qur’an sebagai sumber
inspirasinya. Sebagai contoh, dalam tataran epistemologi, ilmu modern telah menolak
memasukkan wahyu sebagai sumber ilmu. Di sinilah kita dapat menyodorkan wahyu
sebagai salah satu sumber perolehan ilmu.

Ada contoh yang sangat menarik di dalam kitab suci berkaitan dengan ide wahyu sebagai
sumber irformasi ilmu di atas. Ada dua hewan kecil yang diabadikan menjadi nama surat
sekaligus kandungan ayatnya di dalam al-Qur’an. Hewan tersebut adalah lebah dan semut
Lebah atau an-Nahl menjadi nama surat ke-16 sedangkan semut (an-Naml) surat ke-27.
Keduanya dapat dijadikan starting point dalam riset biologi khususnya zoologi.
Keistimewaan lebah cukup jelas diuraikan di dalam surat an-Nahl ayat 68-69. Pertama,
Allah memberi wahyu kepada lebah agar membangun rumah-rumah mereka di gunung-
gunung dan pepohonan dan makan buah-buahan. Kedua, Allah menginformasikan bahwa
dari perut lebah keluar cairan yang dapat diminum dan berfungsi sebagai obat. Dari ayat-
ayat ini rahasia kelebihan dan keutamaan lebah relatif jelas dan mudah difahami.

Tetapi Allah menggunakan pendekatan lain ketika memaparkan keistimewaan semut.
Allah tidak menggunakan pendekatan apa adanya seperti kasus lebah melainkan
menggunakan pendekatan keindahan atau kekuatan bahasa Arab. Di dalam kasus lebah,
an-nahl menjadi nama surat sekaligus kata yang digunakan di ayat 68. Pengualangan kata
ini juga terjadi tetapi dalam pola yang berbeda dalam kasus semut. An-naml menjadi
nama surat dan bagian dari frasa di dalam ayat 18 yakni waadin namli, lembah semut.
Tetapi lanjutan ayat ini menggunakan istilah yang berbeda untuk semut yakni an-namlatu
bukan an-namlu. Kata an-namlatu berasal dari an-namlu dan mendapat tambahan huruf
ta’ marbutoh (ta’ bulat). Lanjutan ayat ini kembali menggunakan an-namlu sehingga bila
kita bariskan dari nama surat kemudian tiga kata semut di ayat 18 ini adalah an-namlu,
an-namlu, an-namlatu, an-namlu. Sedangkan untuk lebah, an-nahlu dan an-nahlu bukan
an-nahlu dan an-nahlatu. Apa artinya ini?

Ayat lain menyatakan bahwa Allah menciptakan segala sesuatu dengan tujuan (QS
44:38-39) dan ukuran tertentu (QS 25:2). Dengan demikian pemilihan kata an-namlu, an-
namlu, an-namlatu, an-namlu juga mempunyai tujuan. Tetapi tujuan apa? Kaidah bahasa
Arab mengatakan bahwa ta’ marbutoh adalah tanda isim muannats, kata benda feminin
atau kata benda berjenis perempuan. Penerapan kaidah ini menghasilkan terjemahan
“…telah berkata seekor semut betina …” yang belum pernah penulis temukan dalam al-
Qur’an terjemahan bahasa Indonesia. Semua hanya menerjemahkan dengan “…telah
berkata seekor semut …” tanpa tambahan kata betina.

Penerjemahan semut betina bagi an-namlatu memberi implikasi lebih lanjut yaitu bila
kita perhatikan kalimat lanjutannya yang berupa kalimat perintah (fi’il amr). Singkatnya
sang semut betina dalam keadaan sedang memberi instruksi kepada semut (jantan) yang
berjumlah banyak. Bila kasus ini kita personifikasi sejenak maka dapat dengan mudah
disimpulkan bahwa sang semut betina yang memberi instruksi tidak lain adalah pimpinan
komunitas semut. Artinya, menurut kaidah bahasa dan personifikasi, pimpinan semut
adalah ratu, ratu semut. Karena kesimpulan ini berasal dari interpretasi bukan informasi
langsung yakni kata al-malikatu (ratu) dalam ayat maka sementara kita ambil sebagai
hipotesis yang harus dibuktikan oleh penelitian lapangan.

Riset yang dilakukan oleh para biolog (Barat) memang membuktikan bahwa pimpinan
semut adalah ratu semut. Artinya, interpretasi linguistik dan personifikasi di atas absah
dan terbukti benar. Tetapi yang menjadi perhatian utama dalam pembahasan di sini
adalah bagaimana ayat kitab suci diolah dan dijadikan hipotesis suatu riset ilmiah yang
pada akhirnya melahirkan sebuah teori yang indah dan komprehensif.

Pertanyaan kritis lebih lanjut, semisal mengapa dipilih semut bukan nyamuk, kecoak,
cacing, orong-orong atau hewan kecil lainnya dapat diajukan. Jawabnya juga sudah
dikuak oleh para ilmuwan. Majalah Reader Diggest yang terbit di akhir dasawarsa 70-an
pernah menguraikan panjang lebar keistimewaan semut dibanding hewann lainnya.
Pertama, komunitas semut mempunyai sistem atau struktur kemasyarakatan lengkap
dengan pembagian tugasnya. Kedua, masyarakat semut mengenal sistem peperangan
kolektif. Artinya kelompok semut tertentu yang dipimpin seekor ratu semut dapat
berperang dengan komunitas semut yang dipimpin oleh ratu lainnya. Hewan lain
umumnya bertarung individu-individu. Ketiga, semut mengenal sistem perbudakan. Telur
sebagai harta benda utama dari pihak semut yang kalah perang akan dikuasai dan
diangkut oleh pihak semut pemenang. Telur-telur ini akan dijaga sampai menetas dan
bayi semut ini akan dijadikan budak-budak mereka yang menang. Keempat, semut
mengenal sistem peternakan. Pada daun pohon jambu, mangga, rambutan atau lainnya
kadang terdapat jamur putih lembut. Di sana ada hewan kecil berwarna putih yang
menghasilkan cairan manis. Semut tahu hewan ini malas berpindah karena itu semut
membantu memindahkannya ke tempat baru bila lahan di sekitar itu telah mulai tandus
dan setelah semut memerah cairannya setiap perioda waktu tertentu. Sampai saat ini
belum diketahui hewan lain yang mengenal sistem perbudakan dan peternakan. Kelima,
semut mengenal sistem navigasi yang baik.

Itulah salah satu contoh bagaimana ayat al-Qur’an dapat dijadikan sumber ilmu
pengetahuan dalam contoh ini biologi. Banyak ayat lainnya yang dapat dijadikan sumber
informasi ilmu seperti fisika, kimia dan lainnya selain fiqih yang telah ditulis dalam
ribuan buku. Persoalannya kini adalah perubahan orientasi seperti yang disinggung di
depan, dari yang sekedar fiqih ke oriantasi ayat kauniyah yang melahirkan sains eksakta
yang terbukti mampu menguasai dan mengendalikan peradaban dunia.

*) Pekerja LaFTiFA (Lab Fisika Teori dan Filsafat Alam)-ITS, mantan Vice-President of
Saijo-Hiroshima Moslem Association.

103 Tahun Drama Kuantum

KOMPAS, 13 Agustus 2003
Oleh: Agus Purwanto*)

Tahun 1871 panggung ilmu pengetahuan menampilkan kuliah inaugurasi
James Clerk Maxwell di universitas Cambridge. Maxwell menyatakan
optimismenya bahwa dalam waktu dekat semua konstanta fisika akan
terestimasi. Optimisme ini mewakili pandangan mayoritas ilmuwan saat
itu. Alasannya, mekanika klasik dan elektrodinamika telah memicu
revolusi industri, dan persamaan mendasarnya dipandang mampu
menggambarkan semua fenomena fisis. Para ilmuwan yakin bahwa the
ultimate theory telah didapatkan.

Tetapi panggung ilmu dan keyakinan di atas digoyang oleh elemen panas
kompor yang memberikan fenomena pancaran atau radiasi benda hitam.
Perhitungan ahli fisika menghasilkan bencana ultra ungu, lantaran radiasi
ultraviolet dan sinar-x akan membutakan mata yang melihat elemen
tersebut. Tetapi prediksi klasik atas spektrum radiasi tersebut tidak benar
sebab kenyataannya tidak demikian.

Tahun 1900 Max Planck menulis makalah mengenai persamaan spektrum
radiasi di atas. Perumusannya mengandung asumsi yang aneh: energi yang
terpancar hanya dapat berada dalam bongkahan dan bernilai tertentu.
Energi terpaket inilah yang disebut kuanta atau jamaknya kuantum.
Keanehannya, di dalam teori elektrodinamika klasik cahaya bisa
mempunyai spektrum (energi) kontinyu yakni frekwensi atau energi berapa
saja.

Asumsi aneh ini kemudian terbukti berhasil. Pada 1905 Einstein
menggunakan ide ini satu langkah lebih jauh. Dengan asumsi bahwa
radiasi hanya dapat menghantar energi dalam paket-paket dan disebut
foton, Einstein menjelaskan efek fotolistrik yang terkait dengan proses
dalam sel surya dan sensor citra dalam kamera digital. Secara sederhana
efek ini menyatakan bahwa seberkas cahaya meski dengan intensitas kecil
yang dipancarkan pada pelat tipis mampu menghasilkan arus listrik.

Sebaliknya, cahaya tertentu lainnya yang dikenakan pada pelat yang sama
tidak mampu menghasilkan arus listrik meski intensitasnya sangat besar.
Keberhasilan gagasan Planck ini menandai babak baru fisika yang disebut
fisika kuantum.

Kesulitan besar lain terjadi tahun 1911. Menurut Ernest Rutherford, atom
terdiri dari elektron-elektron yang mengitari inti bermuatan positip seperti
sistem tata surya. Di sisi lain, elektrodinamika klasik menyebutkan bahwa
elektron yang mengitari inti akan memancarkan energinya secara kontinu
dan akan bergerak spiral menuju inti dalam waktu sepertrilyun detik.
Namun hidrogen diketahui dalam keadaan stabil. Penyimpangan ini
merupakan kegagalan kuantitatif paling buruk dalam sejarah fisika karena
memberi underprediksi atas waktu hidup hidrogen sampai 40 orde!

Pada tahun 1913 Niels Bohr asal Denmark yang datang ke Universitas
Manchester Inggris untuk bekerja dengan Rutherford berhasil menjelaskan
fenomena atom hidrogen. Bohr juga menggunakan ide kuanta dan
mempostulatkan bahwa elektron hanya dapat mempunyai momentum
sudut tertentu dan terkurung dalam orbit tertentu pula. Elektron hanya
memancarkan energi jika melompat ke orbit lebih rendah. Karena elektron
dalam lintasan terdalam tidak mempunyai orbit lebih rendah maka
elektron membentuk atom stabil. Teori Bohr juga mampu menjelaskan
banyak spektrum garis hidrogen, dan atom helium.

Setelah kembali ke Copenhagen, Bohr menerima surat dari Rutherford
yang meminta Bohr mempublikasikan teorinya. Bohr kurang percaya diri
dan membalas surat tersebut sambil menyebutkan bahwa tidak akan ada
orang yang percaya kecuali ia dapat menjelaskan spektrum semua atom.
Rutherford pun membalas: “Bohr, kamu telah menerangkan hidrogen dan
helium, selebihnya orang akan percaya sisanya”.

Ide kuanta sukses secara gemilang namun asumsinya tampak sebagai
kaidah ad hoc, tanpa prinsip yang menuntunnya. Tahun 1923 Louis de
Broglie di dalam disertasinya mengajukan hipotesis: elektron dan partikel
lainnya berperilaku seperti gelombang berdiri. Gelombang tersebut, seperti
getaran tali gitar, dapat terjadi hanya dengan frekwesi tertentu. Ide yang
juga tampak tak wajar sampai dewan penguji keluar ruangan untuk
berdiskusi terlebih dulu. Einstein ketika diminta pandangannya memberi
opini yang mendukung, dan tesis tersebut diterima.

Pada 1925 Erwin Schrodinger setelah memberi kuliah mengenai pekerjaan
de Broglie di Zurich merumuskan persamaan gelombang bagi gejala
kuantum di atas. Persamaan tersebut menjadi kunci utama fisika modern.
Perumusan ekivalen dalam bentuk matriks diperoleh oleh Werner
Heisenberg pada saat yang hampir bersamaan. Dengan landasan
matematis yang kokoh ini teori kuantum membuat kemajuan yang
mencengangkan. Dalam waktu singkat para fisikawan berhasil
menjelaskan sejumlah pengukuran termasuk spektrum dari atom kompleks
dan sifat-sifat reaksi kimia.

Tahun 1926 Max Born menafsirkan fungsi gelombang dalam suku
probabilitas. Ketika seseorang melakukan pengukuran lokasi elektron,
probabilitas mendapatkannya di setiap posisi bergantung pada fungsi
gelombang di sana. Interpretasi ini mengusulkan bahwa keacakan
merupakan karakteristik atau sifat fundamental alam. Tahun 1927
Heisenberg merumuskan keacakan ini secara matematis dan dikenal
dengan prinsip ketidakpastian. Prinsip ini mengatakan bahwa kuantitas
fisis akan muncul berpasangan misalnya momentum-posisi dan tidak dapat
diketahui secara tepat dalam waktu bersamaan.

Einstein sangat tidak senang dengan keacakan tersebut dan membuat
pernyataan, ”Aku tidak dapat mempercayai bahwa Tuhan sedang bermain
dadu”. Schrodinger juga demikian, dia bahkan mengajukan teka-teki yang
sulit dijelaskan bahkan sampai saat ini. Bila obyek mikrokospik seperti
atom dapat sebagai superposisi (jumlah) kedaan berbeda maka demikian
pula obyek makro karena ia terbuat dari atom-atom. Sebagai ilustrasi, ia
mengajukan gedanken eksperiment kotak berisi atom radioaktif dan seekor
kucing yang akan mati jika atom radioaktif meluruh. Karena atom
radioaktif merupakan jumlah dari keadaan meluruh dan tidak meluruh
maka akan menghasilkan kucing dalam dua keadaan yaitu mati dan hidup
dalam waktu sama! Inilah paradoks kucing Schrodinger, salah satu isu
klasik di dalam metafisika kuantum.

Di tengah perdebatan mengenai kuantum dan interpretasinya, PAM Dirac
mengemukakan teori kuantum relativistik untuk elektron. Teori yang
merupakan perkawinan dua konsep fisika nonklasik relativitas khusus dan
kuantum ini memprediksi partikel baru kembaran elektron yang disebut
positron. Dikatakan kembaran lantaran massa dan spin partikel ini sama
dengan elektron tetapi muatan listriknya berlawanan.

Prediksi yang sempat mengundang cemooh ini akhirnya terbukti benar
ketika C. D. Anderson pada 1932 menemukan partikel tersebut. Penemuan
ini kemudian mengilhami gagasan pasangan pertikel-antipartikel atau
materi-antimateri; yakni setiap partikel di alam semesta mempunyai
antipartikelnya. Bila materi bertemu antimateri keduanya akan musnah
dan berubah menjadi foton. Astronot Neil Amstrong kembali ke bumi tanpa
bagian tubuh yang hilang merupakan indikasi bahwa bulan pun didominasi
materi ketimbang antimateri. Kenyataan bahwa jumlah materi lebih
banyak dari antimaterinya melahirkan konsep baryogenesis, kelahiran
asimetri partikel-antipartikel dari jagad raya awal simetrik.

Episode demi episode drama kuantum berlangsung kian menarik dan seru.
Fenomena kuantum superfluida ditemukan tahun 1938. Tujuh tahun
kemudian, dunia dikejutkan oleh hasil proyek kuantum yakni bom atom
yang meluluhlantakkan Nagasaki dan Hiroshima Jepang. Tahun 1947
transistor ditemukan, 1948 teori elektrodinamika kuantum dirumuskan.
Teori medan gauge non-komut yang membuka jalan bagi pengejaran impian
Einstein berupa penyatuan (unifikasi) empat gaya fundamental alam
semesta dirumuskan tahun 1954.

Laser yang mempunyai aplikasi luas ditemukan tahun1960. Tiga belas
tahun kemudian scan resonan magnetik hadir di dunia praktis, sedang
dunia teori kehadiran teori elektrolemah. 1975 partikel tau, anggota
keluarga partikel dalam teori elektrolemah ditemukan, sedangkan
pembawa interaksinya yakni partikel W ditemukan tahun 1983. Bahan
penghantar listrik tanpa resistensi yang disebut superkonduktor pertama
kali diamati tahun 1911. Fenomena ini terjadi pada temperatur mendekati
nol Kelvin, fenomena sama tetapi pada temperatur tinggi diamati tahun
1987.

Tahun 1993 lahir teori teleportasi kuantum, pengiriman materi yang
dibawa dalam bentuk gelombangnya dari satu tempat ke lain tempat dalam
sekejap. Gagasan yang telah banyak dimanfaatkan oleh insan film.
Quantum Leap adalah contoh film seri dengan ide kuantum yang pernah
ditayangkan di layar kaca kita sepuluh tahun lalu. Tahun 1995 quark top
terdeteksi, dan 1998 neutrino bermassa dikukuhkan di lab Super-
Kamiokande Jepang. Komputasi kuantum merupakan bidang baru yang
juga sedang semarak.

Saat ini diestimasi sekitar 30% GNP AS didasarkan pada temuan dari
mekanika kuantum, sejak semikonduktor di dalam chip komputer sampai
laser dalam cd player, pencitraan resonan magnetik di rumah sakit dan
banyak lagi lainnya. Ketika masih menjadi presiden, Bill Clinton
mencanangkan proyek rekayasa skala nano yakni rekayasa material dalam
skala atomik sebagai proyek utama AS sampai tahun 2020.
Jepang melakukan langkah serupa dan membutuhkan banyak orang untuk
dilibatkan di dalamnya. Sekedar contoh, lab material di jurusan teknik
kimia universitas Hiroshima membutuhkan mahasiswa dengan latar
belakang mekanika kuantum yang kuat. Salah seorang asisten profesornya
yang berasal dari Indonesia bolak balik ke luar Jepang termasuk Indonesia
dan Cina untuk mencari mahasiswa dengan spesifikasi di atas. Kita
seharusnya mengirim orang-orang terbaik sebagai tenaga kerja ilmiah
(TKI) ke sana.

Biarkan mereka bekerja dan besar di luar sampai jelas karya dan
reputasinya sebagai ilmuwan. Langkah yang telah dilakukan oleh Cina,
Korea dan Taiwan. Selain memperoleh income kita juga mencetak tenaga
ahli tanpa mengeluarkan dana sepeser pun. Kita tidak perlu merasa bakal
kehilangan orang-orang terbaik. Jujur saja, sampai saat ini negeri kita
masih menjadi kuburan masal bagi (calon) ilmuwan.

*) Pekerja di LaFTiFA (Lab Fisika Teori dan Filsafat Alam) ITS.

PTBHMN Mahal dan Kisah Tragis Pendidikan

SURYA, 17 Juli 2003
Oleh: Agus Purwanto*)

Kejutan muncul lagi dari dunia pendidikan. Kejutan terbaru itu adalah
kebijakan tingginya biaya yang harus disiapkan calon mahasiswa baru
beberapa PTN terkenal. Kebijakan paradoks sebab selain terjadi di saat krisis
ekonomi berkepanjangan dan jumlah penduduk miskin meningkat, juga lahir
saat pemerintah berkuasa merupakan representasi dari kawula alit. Mengingat
seringnya kejutan dunia pendidikan ada baiknya kita coba memahami sebab
mendasarnya.

Harapan dan Impian

Kejatuhan Suharto tahun 1998 menumbuhkan harapan baru akan perubahan
mendasar setelah bertahun-tahun hidup dalam keadaan tertekan. Isu
desentralisasi dan otonomi daerah pun bergulir dan lahirlah UU otonomi yang
di dalamnya memuat kebijakan otonomi perguruan tinggi (PT). Masyarakat
menyambut antusias kebijakan ini apalagi yang dipilih menjadi percontohan
adalah empat PT impian yakni UGM, UI, ITB dan IPB.

Masyarakat membayangkan dapat masuk PT tersebut dengan biaya lebih
murah dan dapat menikmati pendidikan yang lebih bermutu.
Pertimbangannya, PT tersebut mampu mencari dan mengelola dana sendiri
serta menentukan perkuliahan tanpa banyak titipan dan campur tangan dari
pemerintah. Harapan yang tidak berlebihan mengingat empat PTN tersebut
merupakan PTN tertua, besar dan mapan. Alumninya tersebar di mana-mana,
ada yang menjadi pengusaha besar dan sebagian lainnya menempati pos-pos
penting pemerintahan. Jaringannya yang luas memungkinkan penggalian
dana alternatif untuk biaya operasionalnya.

Kalangan akademisi pun menaruh harapan besar pada perubahan pengelolaan
PT ke dalam Badan Hukum Milik Negara (BHMN) ini. Sebagian mereka
berharap profesionalisme khususnya dalam riset dapat mengalami perubahan
dan kemajuan yang signifikan. Sebabnya mereka akan dibayar sesuai
prestasinya; yang berprestasi dihargai tinggi dan sebaliknya bagi yang tidak
bahkan posisinya sebagai staf akademik akan ditinjau ulang. Dus, kompetisi
dalam riset dapat berlangsung dan the real university sebagai research centre
bukan lagi hayalan tetapi akan segera terealiasi.

Gebrakan awal dilakukan oleh ITB dengan memberi opsi kerja di luar dan
berhenti dari ITB atau tetap di ITB dan tidak nyambi di luar. Keluarnya ahli
teknologi informasi (IT) Dr. Onno W. Purbo dari ITB dan memilih
mengembangkan IT di luar tembok akademik adalah contoh yang fenomenal
dan meneguhkan harapan di atas. ITB juga akan melakukan evaluasi bagi staf
akademiknya apakah memenuhi kualifikasi sebagai periset, hanya sebagai
pengajar atau bahkan melorot sebagai staf administrasi.

PTN lain juga merespon penetapan UGM, UI, ITB dan IPB menjadi BHMN.
Mereka berbenah agar dapat memenuhi kualifikasi dan layak diberi status
BHMN. Alasannya adalah prestise, hanya PTN yang dinilai mandiri saja yang
memenuhi kualifikasi BHMN atau dengan kata lain PTN non BHMN adalah
PTN belum mapan dan belum mandiri.

Potret Riel PT

Masyarakat shock dan bertanya-tanya ketika kebijakan realisasi PT otonom
keluar. Impian mereka pun buyar. Biaya yang harus disiapkan para calon
mahasiswa jauh di luar jangkauan mereka. Masyarakat faham bahwa
pendidikan itu mahal, mereka pun mengerti alasan mengapa hanya empat PTN
yang dipandang mampu mengatasi tingginya biaya pendidikan tersebut. Tetapi
penanggulangan dengan memungut biaya tinggi dari calon mahasiswa
tentunya dapat dilakukan oleh semua PTN bukan hanya UGM, UI, ITB dan
IPB.

Pertanyaannya, apa maksud pemerintah memilih empat PTN di atas sebagai
percontohan PTN otonomi? Mungkinkan pemerintah telah salah perhitungan
dan mengira bahwa keempat PTN tersebut kokoh dan mapan tetapi
sebenarnya rapuh dan keropos? Atau, apa sebenarnya yang terjadi pada para
elit baik elit politik, ekonomi maupun elit pendidikan bangsa ini?

Para akademisi sering melakukan pembelaan bahwa PT tidak berkembang
menjadi lembaga riset adalah akibat minimnya dana. Tetapi seperti telah
penulis uraikan (Surya, 19/7/2002), dana bukanlah sebab utama. Motivasi dan
kemampuan proper research staf akademik itu sendiri baik yang telah bergelar
doktor maupun guru besar itulah biang keroknya. Sikap dan perilaku
mahasiswa Indonesia yang di luar negeri membuktikan hal tersebut. Fasilitas
yang lengkap dan beasiswa yang cukup tidak banyak memperbaiki prestasi
mereka dalam riset.

Kondisi di atas direkam dengan baik oleh Ismail Raji al-Faruqi di dalam
bukunya Islamization of Knowledge. Al-Faruqi memberi contoh seorang dosen
universitas negara berkembang bergelar profesor yang meraih gelar doktor di
negara Barat. Ia mendapat pendidikan di sana dan lulus dengan nilai dan
prestasi sedang. Ia menuntut ilmu dengan motivasi rendah dan tidak
mendapatkan semua ilmu yang bisa diperolehnya di sana. Ia merasa cukup
puas untuk lulus, mendapat gelar, kembali ke negeri asalnya, dan
mendapatkan posisi penting serta menguntungkan. Buku-buku yang dibacanya
ketika masih kuliah adalah puncak pengetahuannya, karena kini ia tidak
memiliki waktu, tenaga, dan motivasi untuk mendobrak batas pengetahuan
yang dimilikinya.

Kegagalan Pendidikan

Ketetapan biaya masuk PTN sangat mahal adalah jalan pintas untuk
mengatasi tingginya biaya operasional pendidikan. Hal ini dapat dipandang
sebagai cerminan sikap malas, tidak kreatif dan rendahnya dedikasi para elit
dan pengelola pendidikan kita. Dedikasi rendah ini pula yang menyebabkan PT
kita sekedar menjadi lembaga pengajaran yang monoton dan rutin, bukan
lembaga riset. Kenyataan tersebut juga mengisyaratkan PT kita bahkan yang
paling top sekalipun ternyata rapuh dan keropos.

Selanjutnya, kita pun dapat memahami peristiwa penting lainnya. Tiga
dasawarsa lalu, Malaysia mengirim banyak mahasiswa ke Indonesia dan
mendatangkan tenaga pengajar kita ke sana. Mereka merasa tertinggal dari
kita dan kemudian membuat kebijakan untuk mengejar ketertinggalan
tersebut. Hasilnya, Malaysia melejit meninggalkan kita dalam pendidikan dan
kini kita menjadikan negeri jiran tersebut sebagai tempat alternatif studi
lanjut. Kenyataan terakhir memperlihatkan bahwa pendidikan kita juga
ketinggalan dari Vietnam yang baru selesai perang melawan Amerika di tahun
1970-an. Pertanyaannya, apa yang dilakukan para akademisi selama ini
sehingga mengalami kemunduran ?

Kegagalan di atas dapat dijabarkan lebih lanjut dengan melihat dua kasus
sangat menyolok dan mempunyai implikasi luas yakni pendidikan moral dan
agama. Selama hampir tiga dasawarsa pendidikan kita sejak SD sampai PT
memisahkan pendidikan moral dan agama. Keduanya diberikan secara
terpisah oleh para pengajar yang berbeda dan berasal dari “lingkungan” yang
berbeda pula.

Hasilnya sangat mengesankan, beberapa kali survey memperlihatkan bahwa
Indonesia menduduki top rank dunia dalam hal korupsi dan hutang luar negeri.
Padahal kegiatan keagamaan bahkan di sekolah-sekolah pun terus bertambah.
Produk terbaru DPR yakni UU Pilpres adalah salah satu contoh lain ironi hasil
pendidikan kita. Anggota dewan yang terhormat yang umumnya sudah
mengenyam pendidikan tinggi dan digaji tinggi itu ternyata sikap dan
dedikasinya lumayan payah.

Pasca UU Sisdiknas

Penyakit akut korupsi telah merambah ke mana-mana termasuk di lembaga
pendidikan. PT terus melengkapi sarana dan prasarananya termasuk
gedung-gedung pertemuan yang representatif. Sumber dana PT di antaranya
adalah pemerintah pusat, Iuran Orang Tua Mahasiswa (IOM) maupun
pinjaman dari bank dan luar negeri lainnya. Di dalam proses melengkapi atau
membangun sarana dan prasarana sering terdengar berita penyimpangan dana
proyek.

Selain itu, meskipun gedung pertemuan megah telah dibangun, pertemuan
semisal membahas proposal penelitian ataupun rapat materi kurikulum masih
banyak dilakukan di hotel mewah di luar kota. Di akhir tahun ajaran tidak
jarang para staf yang umumnya sudah hidup relatif cukup, karyawan serta
keluarganya rekreasi beberapa hari dengan biaya instansi. Padahal mereka
tahu bahwa fasilitas institusinya masih jauh dari lengkap, tidak sedikit dari
mahasiswanya yang kesulitan dan tertunda membayar SPP ataupun IOM.

Sebab utama berbagai persoalan di tanah air adalah krismon, krisis moral dan
nurani. Lantaran penyebab tersebut berada di wilayah internal ruang batin
maka berbagai peraturan dan hukum tidak sanggup menjerat para pelaku
kejahatan kecuali yang tidak berpendidikan. Dalam perspektif ini pendidikan
bagi sebagian orang justru menjadi proses pencanggihan kejahatan sedemikian
rupa sehingga sulit dijerat oleh jaring hukum formal.

Karena itu, persoalan serius setelah pendidikan agama masuk ke dalam UU
Sisdiknas yaitu bagaimana menjadikan agama sebagai ruh dan bukan sekedar
asesoris pendidikan. Bagaimana menjadikan agama sebagai perekat dan bukan
pemicu masalah dan konflik baik antar pemeluk agama yang sama maupun
yang berbeda. Dari perspektif agama aneka paradoks di negeri ini termasuk
paradoks dunia pendidikan dapat dikatakan sebagai kegagalan pendidikan
agama. Pengajaran agama di sekolah justru melahirkan sekularisasi. Khusyuk
di ruang ibadah tetapi culas di luar, relijius dalam penampilan fisik tetapi
sangat materialis pikiran dan tindakannya.

Untuk itu ada baiknya merenungkan pernyataan Thomas Merton di dalam
Misticism in the Nuclear Age-nya.”Anda tidak bisa mengubah dunia hanya
dengan sebuah sistem, Anda tidak bisa meciptakan kedamaian tanpa
kedermawanan, dan Anda tidak bisa menciptakan keteraturan sosial tanpa
melibatkan orang-orang suci, kaum mistis dan para nabi”. Dus, penyelesaian
atas berbagai keruwetan di negeri ini termasuk di dunia pendidikannya harus
diawali dengan kebersihan dan kesucian, moralitas.

Ada kehidupan Nabi saw yang harus ditiru khususnya oleh para elit politik,
ekonomi, agama maupun pendidikan dari negeri yang mayoritas muslim ini.
Sebagai pemimpin Nabi saw tidak melarang umatnya kaya tetapi beliau sendiri
hidup dalam keadaan serba kekurangan. Nabi tidak berebut materi dengan
umat yang dipimpinnya atas nama dana operasional pendidikan, pengkaderan
dan perjuangan dakwah, dana rekreasi, atau dana pertemuan di tempat mewah
di luar kota. Pendidikan akan efektif bila dibarengi keteladanan.

*) Pekerja di LaFTiFA (Lab Fisika Teori dan Filsafat Alam) ITS.

Dua Mercusuar, ITB dan ITS

SURYA, 7 Juli 2003
Oleh: Agus Purwanto*)

Institut Teknologi Bandung (ITB) kembali tampil sebagai perguruan tinggi
terdepan dengan membuka program studi baru, sosioteknologi. Dari sisi
istilah, secara sederhana bidang ini dapat diduga sebagai perpaduan bidang
sosial dan eksakta yakni sains dan engineering. Demikianlah kenyataannya
seperti diuraikan lebih lanjut oleh Redi Panuju (RP) (Surya, 29/5/2003)
perihal mata kuliah yang ditawarkannya.

RP di bagian awal artikelnya juga mengutip pernyataan Krisnayana Yahya
pemerhati pendidikan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS). Menurut
Krisna, pemikiran untuk membuka jurusan sosial di ITS sudah puluhan
tahun lalu tetapi sampai saat ini tetap dicuekin. Kutipan yang hanya satu
baris tersebut menarik untuk dibahas lebih lanjut. Mengapa atau faktor-
faktor apa yang menyebabkan pencuekan tersebut.

Serupa Tapi Tak Sama

ITB dan ITS adalah dua dari sekitar 70 PTN yang tidak berbendera
universitas tetapi institut teknologi. Persamaan keduanya hanya sebatas
permukaan yang artifisial. Misalnya, keduanya sama-sama menjadi
perguruan tinggi (PT) favorit lulusan SMU. Lulusan keduanya sampai
beberapa tahun silam bergelar insinyur, gelar impian para bocah.
Persamaan lain yang juga berlaku untuk PT besar kita, adalah sama-sama
jago kandang.

Perbedaan keduanya cukup signifikan. Atmosfer akademik dua institut ini
sangat berbeda. Civitas akademika ITB terbiasa atau mempunyai tradisi
melakukan petualangan intelektual, berfikir besar dan global atau dalam
bahasa jatim berfikir ndhakik-ndhakik. Sementara insan ITS sangat
pragmatis.

Out put dari tradisi di atas banyak alumni ITB yang menonjol di luar
bidang formalnya ketika studi. Presiden pertama Sukarno dan dalang
Sutejo Jiwo adalah alumni sipil, sedangkan penyair Nirwan Dewanto
adalah alumni teknik geodesi. Ekonom Umar Juoro dan Rizal Ramli
keduanya alumni fisika. Dari kalangan pengusaha terdapat nama Aburizal
Bakri dan Fadel Muhammad. Dalam panggung politik kekinian ITB juga
memasok beberapa nama seperti Heri Akhmadi, Laksamana Sukardi,
Pramono Anung, Hatta Rajasa dan capres Adi Sasono yang juga mantan
ketua ICMI.

Fenomena di atas dapat diartikan bahwa “lintas disiplin” sudah dijalankan
secara informal. Sehingga langkah rektor Kusmayanto Kadiman membuka
jurusan sosioteknologi dapat dipandang sebagai kristalisasi dari proses
yang telah berlangsung lama ini. Di ITS diskursus lintas disiplin
eksakta-sosial tidak berkembang dan ada kesan bahwa PTN ini hanya
melahirkan teknisi.

Perbedaan keduanya juga dapat dijelaskan dari latar belakang
sosial-relijius tempat keduanya berada. Bandung adalah tempat kelahiran
organisasi Persatuan Islam (Persis) yang dikenal sangat rasional dan
mempunyai tradisi debat yang kuat. Kampus dan masjid di Bandung
bersinergi dan mengukuhkan rasionalitas. Penerbit Pustaka Salman-ITB
banyak menerbitkan buku keagamaan dari para pemikir muslim
kontemporer semisal Fazlur Rahman. Demikian pula penerbit Mizan milik
Haidar Bagir yang alumni teknik industri ITB, banyak menerbitkan buku
filsafat keagamaan.

ITS berada di kota industri dan kota pelabuhan sehingga kecenderungan
pragmatis merupakan keniscayaan. Selain itu Surabaya notabene kota
tempat kelahiran organisasi besar Nahdhatul Ulama (NU) yang terkenal
dengan trademark tasawwuf dan kelompok tarekatnya. Di hari Kamis
malam, misalnya, mahasiswa melakukan praktek ritual “ala NU” di
musholla-musholla kampus. Sampai enam tahun lalu mahasiswa yang
membaca buku terbitan Mizan Bandung masih dianggap aneh.

Cita Manusia Modern

Penjelasan dinamika ITB juga dapat ditemukan di buku Integralisme,
rekonstruksi Filsafat Islam-nya Armahedi Mahzar, cendekiawan yang juga
staf pengajar jurusan fisika ITB. Institut yang berada di kawasan jalan
Ganesha Bandung ini adalah warisan Belanda, salah satu misionaris
modernisasi. Alam bawah sadar manusia modern memuat elemen segitiga
seni-teknologi-sains.

Secara sederhana, sains adalah internalisasi fakta eksternal ke dalam jiwa,
sebaliknya seni merupakan eksternalisasi (ungkapan) dari jiwa manusia.
Sains dan seni membentuk dua kutub yang terpisah dan penengah
keduanya adalah teknologi yang merupakan eksternalisasi (realisasi
terapan) dari ilmu (setelah internalisasi). Tetapi posisi teknologi tidak tepat
di tengah antara sains-seni, karena tujuan teknologi berbeda dari sains-seni.
Tujuan teknologi pemenuhan kepuasan material sedangkan sains-seni
pemenuhan kepuasan batiniah. Karena itu teknologi tidak membentuk
garis lurus sains-teknologi-seni tetapi membangun segitiga dengan tiga
kutub sains-teknologi-sains.

Segitiga tersebut dipandang sebagai segitiga cita masyarakat modern.
Artinya, segitiga ini eksis di dalam jiwa manusia modern. Kesetimbangan
berarti pemenuhan atas ketiganya secara proporsional. Segitiga cita
manusia modern ini terekspresi di dalam institusi pendidikan ITB dengan
tiga macam fakultasnya yaitu MIPA, teknik, serta seni rupa dan disain.
Keterbatasan ketiganya melahirkan segitiga pasangan yaitu segitiga
filsafat-etika-mistik dan membangun prisma cita manusia modern. Secara
implisit disebutkan alam bawah sadar insan ITB memuat prisma ini. Dan
kenyataan ini diekspresikan dalam bentuk kebijakan membuka jurusan
sosioteknologi oleh rektor Kusmayanto.

Tanpa Peran Cendekiawan

ITS bukan saja tidak mempunyai bidang seni, jurusan biologi juga baru
dibuka. Beberapa bulan lalu salah seorang petinggi institut ini melontar
pernyataan untuk menutup MIPA yang –menurutnya- tidak produktif dan
tidak dibutuhkan (Surya, 26/2/2003). Dus, pengabaian usulan membuka
jurusan sosial adalah kewajaran belaka. Di kawasan kampus Sukolilo ini
juga mudah ditemukan spanduk-spanduk besar berisi daftar calon dekan
dan pejabat kampus lainnya yang sebenarnya cukup menggelikan. Betapa
tidak, untuk PT yang mengklaim sebagai mercusuar Indonesia Timur
ternyata tidak mempunyai isu besar dan masih berkutat pada isu
ecek-ecek.

Melihat kenyataan seperti ini mengingatkan kita pada buku Intelektual
Masyarakat Berkembang-nya Syed Hussein Alatas. Suatu negeri yang para
cendekiawannya tidak berfungsi akan diliputi kegelapan. Masyarakatnya
hidup tanpa kepemimpinan dalam dunia berfikir, tanpa ide-ide, kehilangan
tingkat kesadaran dan wawasan tertentu atas berbagai pokok masalah.
Kehidupan diwarnai bebalisme kaum pandir. Bebal merupakan sikap yang
tidak menghormati ilmu pengetahuan, tidak rasional dan ditandai oleh
tidak adanya kehalusan pekerti.

Kaum pandir seringkali bertindak otoriter, tidak reflektif, tidak
mendasarkan pada eksperimen, dan tidak merasa malu atas kesalahan
akibat kebodohannya. Kaum ini juga tidak takut dengan kekurangan
intelektualnya. Mereka akan memandang pendidikan sebagai sarana
peningkatan pengetahuan atau latihan untuk suatu profesi. Akibatnya
pendidikan tidak ditujukan untuk menghasilkan manusia baru ataupun
restrukturasi mental. Universitas didirikan tanpa semangat intelektual
yang pada gilirannya modernisasi tidak menjadi sarana perubahan yang
mengubah ahlak masyarakat. Bisa jadi prosedur ilmiah berhasil
dimasukkan tetapi tanpa pandangan ilmiahnya.

Pembukaan bidang interdisiplin memerlukan pemahaman dan kesadaran
yang memadai. Terlebih bila bidang tersebut seolah tak berkaitan seperti
rekayasa material (benda mati), biologi yang berlahan mahluk hidup dan
sosial dengan wilayah sosio-kultural. Kehadiran para generalis dan
cendekiawan sangat dibutuhkan guna melakukan penyadaran dan
pencerahan. Inilah tugas berat kaum intelektual. Selain mereka minoritas,
jenis dan hasil kerjanya juga sulit diukur, serta cenderung menentang arus.
Ini berbeda dari wilayah dan hasil kerja dokter dan teknisi misalnya,
akibatnya mereka tidak mendapatkan apresiasi yang layak dari
masyarakat.

Mengingat tugas mereka dalam proses penyadaran dan pencerahan maka
kehadirannya merupakan keharusan. Jalan untuk membuktikan
kepentingan mereka adalah dengan menulis, memberi ceramah dan
melakukan pertemuan kelompok kecil dengan cara tidak menentang para
spesialis. Mereka yang di PT secara sadar harus membangkitkan semangat
intelektual di kalangan mahasiswa.

Three In One

Kini dunia pendidikan kita bukan saja tertinggal dari Malaysia yang di
tahun 70-an berguru kepada kita. Malaysia telah cukup jauh meninggalkan
kita. Vietnam yang sampai tahun 70-an masih disibukkan oleh perang
melawan Amerika juga mulai meninggalkan kita. Dus sebenarnya ITB yang
tampak progresif, tampil terdepan dan beberapa kali masuk sebagai PT top
Asia versi Asia Week sebenarnya juga jauh dari kondisi ideal PT dan masih
memerlukan pencerahan.

Memperhatikan kondisi di atas tidak salah bila PT dan seluruh komponen
bangsa lainnya menerapkan formula three in one yakni bekerja lebih lama,
lebih keras dan lebih cerdas untuk negeri yang kita cintai ini. Hanya
dengan formula ini proses metamorfosis universitas menjadi museum ilmu
usang serta kecenderungan menjadi bangsa kuli, bangsa tanpa harga diri
dapat dicegah.

Masyarakat Jepang dikenal sebagai masyarakat workaholic atau gila kerja.
Anak-anak SD berangkat sekolah sekitar jam 07.15 dan baru pulang jam
tiga sore. Universitasnya “buka” 24 jam sehari dan laboratoriumnya tetap
bahkan lebih semarak ketika musim liburan. Perpustakaan universitas
sering buka di hari Minggu. Durasi kerja lama ini telah membuahkan
kemajuan yang luar biasa. Jepang, negeri yang tidak punya sumberdaya
alam berarti berhasil menjadi negara superpower dalam ekonomi.
Apakah mendapat inspirasi dari sana, rektor baru ITS membuat gebrakan
berupa pemberlakuan durasi kerja lebih lama, antara pukul 08.00 sampai
20.00. Gebrakan yang perlu disambut positip oleh seluruh civitas
akademika ITS walau kini masih diberlakukan di jajaran pureknya.

Langkah kedua adalah bekerja lebih keras sehingga durasi kerja yang
panjang tidak bermuara pada kemubadziran dan sekedar memindahkan
lokasi bersantai-ria. Langkah ketiga adalah bekerja lebih cerdas. Surya
(23/5/2003) melaporkan keluhan mantan PR IV bahwa ITS mengalami
krisis guru besar akibat kurangnya penelitian. Para doktor tersita pada
pengajaran dan ngantor di luar. Gejala umum yang juga menyebabkan
universitas tumbuh tanpa semangat pencerahan dan pembebasan.

*) Pekerja di LaFTiFA (Lab Fisika Teori dan Filsafat Alam) ITS.
 

Kesenjangan Dini dan Character Building

SURYA, 18 Juni 2003
Oleh: Agus Purwanto*)

Dunia pendidikan kita penuh paradoks. Contoh menyolok adalah,
ditetapkannya program Wajib Belajar (Wajar) 9 tahun tetapi biaya
pendidikan ditanggung peserta didik. Bahkan, fakta lapangan
memperlihatkan lembaga pendidikan sedang berlomba menjadi sekolah
mahal. Setelah melakukan ulasan atas fenomena pendidikan tersebut, Bp.
Supriyono dosen FIP dan Pascasarjana UM mengusulkan agar sekolah
unggulan yang mahal-mahal itu dihapus (Surya, 1/5/2003).

Konsekwensi dari program Wajar adalah bebas biaya. Bila tidak, Wajar
menjadi tak ada artinya. Alasannya sederhana, kewajiban harus diikuti
sanksi. Nah, bagaimana mungkin memberi sanksi pelanggar Wajar bila
sekedar menyekolahkan anak-anaknya saja memang tidak mampu. Jumlah
penduduk miskin bertambah secara signifikan sejak krismon, sebagai
contoh Jatim mencapai angka 30 persen. Tulisan ini bermaksud
menguatkan ide penghapusan sekolah mahal di atas.

Pendidikan ala Pasar

Andai dunia pendidikan dapat diibaratkan sebagai wajah maka make-up
wajah pendidikan kita senantiasa berubah dari waktu ke waktu bergantung
periasnya yakni mendiknas. Periode sekarang merek make-up tersebut
adalah KBK atau kurikulum berbasis kompetensi. Sebagaimana make-up
yang sebenarnya, make-up pendidikan bisa dan boleh senantiasa berubah
tetapi wajah pendidikan selalu tetap kecuali dilakukan operasi plastik.
Wajah pendidikan kita adalah pasar.

Di antara sekian praktek yang menyebabkan pendidikan menjadi mahal
ada satu yang cukup unik. Setiap awal tahun ajaran baru tim pemasaran
dari penerbit buku masuk ke sekolah. Hasilnya, buku terbitannya menjadi
pegangan tahun itu dan seyogyanya dibeli. Uniknya, setiap tahun tim
penerbit buku yang datang selalu berganti. Akibatnya buku pegangan pun
senantiasa berganti sehingga seorang kakak tidak bisa mewariskan buku
tersebut kepada adiknya. Seorang siswa yang tidak naik kelas pun tidak
dapat menggunakan buku pegangan tersebut dua kali dan terpaksa harus
membeli buku pegangan baru.

Praktek yang makin menyempurnakan wajah serta citra pasar lembaga
pendidikan. Pada gilirannya meneguhkan tudingan bahwa sekolah adalah
instrumen kapitalisme. Tak pelak juga Indonesia dengan ideologi Pancasila
yang memang masih terbuka dengan berbagai muatan atau tafsiran ini.

Kesenjangan Dini

Ada kenyataan yang harus kita akui bahwa para pendidik senior kita
umumnya mengenyam pendidikan barat. Akibatnya aroma barat dari
pendidikan pun sulit dihindari. Hal ini bisa dilihat dari kandungan materi
pendidikan yang sangat menekankan pengasahan akal (Intelligence
Quotient, IQ). Padahal, tahun 2000 lalu menteri pendidikan AS mencak-
mencak lantaran pendidikan bagi anak sampai usia 15 tahun AS kalah dari
Jepang dan Cina dalam keterpaduan aspek IQ dan EQ (Emotional
Quotient). Sebagai bahan perbandingan ada baiknya menambah acuan,
untuk itu kita lihat sekolah di Jepang.

Jepang tergolong sebagai negara maju tetapi mampu bertahan dengan
tradisi serta adat-istiadat ketimuran yang kental unsur mistisnya. Ada hal
menarik tentang pendidikan di sana yakni muatan character building
pendidikan mereka sejak sekolah dasar (shougakkou) sampai dengan SMU
(kotougakkou). Seperti dapat dilihat di film-film layar kaca, siswa-siswi SD
negeri Sakura pergi dan pulang sekolah dengan berjalan kaki. Sekitar jam
07.15 setiap kelompok yang terdiri dari lima atau enam siswa berangkat
menuju sekolah. Jam tiga atau empat sore mereka pulang dalam
kelompok-kelompok dan setiap kelompok dipimpin seorang ketua.

Berjalan kaki dan pergi-pulang berkelompok sifatnya wajib bagi para siswa
SD, tanpa pandang bulu. SD di sana menerapkan sistem rayon, anak-anak
bersekolah di SD terdekat di masing-masing wilayahnya. Para orang tua
tidak perlu memilihkan sekolah untuk anaknya karena pemerintah daerah
setempat telah menetapkannya. Mereka tinggal mendaftar ulang. Jepang
juga menerapkan Wajar karena itu pemerintah akan mendatangi orang tua
termasuk orang asing yang tidak menyekolahkan anaknya yang sudah usia
sekolah.

Ada tiga hal yang terkandung dari kewajiban di atas. Semangat juang,
kebersamaan dan tanggung jawab yang ditanamkan dan dipraktekkan
secara langsung. Bandingkan dengan tata-cara dan kebiasaan siswa-siswi
SD di negeri kita. Siswa dapat pergi dan pulang secara bebas dalam arti
boleh sendiri, bersama teman, atau diantar pembantu. Mereka pun boleh
berjalan kaki, naik kendaraan umum, atau naik mobil orang tuanya. Tidak
ada pendidikan etos kerja dan kebersamaan.

Makna lain yang tidak kalah seriusnya dari kebebasan di atas, SD kita
diam-diam menciptakan kesenjangan sejak dini. Anak orang kaya terus
menerus di tempatkan dalam suasana kemewahan. Sementara anak orang
miskin dibiarkan dalam kekurangannya sambil nonton penampilan
temannya yang anak orang kaya. Negara diam-diam mendukung perbedaan
kelas.

Keuletan dan Menghargai Kerja

Pendidikan sikap dan karakter ini dijalankan di sekolah Jepang dalam
berbagai bentuk. Dalam olahraga, setahun sekali yakni di musim panas
siswa kelas satu sampai dengan kelas enam dibagi dalam dua kelompok
besar yakni merah dan putih. Mereka berkompetisi dan semua jenis
olahraga yang dipertandingkan adalah olah raga tim. Lagi-lagi
kebersamaan dan teamwork mereka tekankan.

Setahun sekali pula diadakan pentas seni yang melibatkan seluruh siswa.
Setiap siswa mendapat, berlatih dan memainkan satu atau dua peran.
Uniknya pentas seni maupun lomba olah raga ini disaksikan oleh para
undangan yang terdiri dari orang tua siswa, tokoh masyarakat, kepala
sekolah TK dan SLTP serta pemerintah lokal setempat.

Pendidikan seperti mencuci piring juga diajarkan di sekolah. Di Jepang
tidak dikenal. yang namanya pembantu rumah tangga. Ketika libur sekolah
anak-anak SD meliburkan ibu mereka dari kegiatan mencuci piring di
dapur dan pekerjaan itu mereka gantikan.

Fenomena unik lainnya dapat dilihat pada siswa SLTP dan SMU di sana.
Mereka dibolehkan bersepeda ke sekolah, tetapi tidak diijinkan
mengendarai sepeda motor apalagi mobil pribadi. Kalaupun terlalu jauh
siswa boleh pergi dengan bis kota atau kereta api. Padahal kita semua
mafhum bahwa Jepang adalah produsen utama kendaraan bermotor.

Perhatikan perilaku siswa-siswi SLTP dan SMU kita, tidak sedikit yang ke
sekolah dengan mobil bahkan mengemudinya sendiri. Kita pun sering
mendengar keluhan para orang tua yang anak-anaknya mogok sekolah
lantaran tidak dibelikan sepeda motor. Betapa manjanya anak-anak kita.
Fenomena ini juga mengisyaratkan betapa kacaunya lalu lintas dan sistem
untuk mendapatkan surat ijin mengemudi (SIM). Anak seusia SLTP yang
belum genap 17 tahun sudah mempunyai SIM, atau belum memiliki SIM
tetapi sudah dapat leluasa mengemudi di jalan umum.

Fenomena sosial dalam lingkup lebih luas dapat difahami dari fenomena
lembaga pendidikannya. Sudah bukan rahasia bahwa masyarakat Jepang
adalah masyarakat workaholic, gila kerja. Mereka sangat menghargai
waktu dan pekerjaan. Hal ini dapat dilihat dari jawaban spontan
anak-anak bila ditanya cita-cita mereka. Menjadi juru masak, penjual
bunga, penjual buku dan sejenisnya yang sederhana adalah cita-cita
mereka. Cita-cita seperti ini merupakan refleksi dan hanya dapat terjadi di
masyarakat yang tidak memandang mulia satu jenis pekerjaan dan hina
pekerjaan lainnya. Negeri yang sempat porak poranda oleh bom atom ini
pun berhasil mewujudkan impian kolektif mereka, “mengalahkan” dan
melampaui Amerika, setidaknya dalam ekonomi.

Berbeda dari bocah Jepang yang umumnya bercita-cita sederhana, bocah
Indonesia umumnya bercita-cita “tinggi” seperti menjadi insinyur dan
dokter. Tetapi tidak adanya character building dalam pendidikan
menyebabkan rendahnya kemauan serta semangat juang masyarakat
maupun para petinggi kita. Daya tahan lemah dan gampang menyerah.
Akibatnya, cita-cita tinggi para bocah muncul tanpa ruh dan di masa
berikutnya menjadi keinginan sekedar bisa hidup. Celakanya, sekedar
hidup itupun seringkali juga ditempuh via jalan pintas.

Kerapuhan mental ditambah dengan ketiadaan impian kolektif bangsa,
menyebabkan masyarakat tidak mempunyai energi dan semangat hidup
yang besar. Kini, rendahnya semangat hidup ini telah sampai pada kondisi
yang menyedihkan. Perhatikan saja fenomena persimpangan jalan,
perkantoran dan para petinggi yang keluar negeri mencari pinjaman;
fenomena mentalitas pengemis.

Keruwetan sistem pendidikan dan kondisi sosial negeri ini sudah seperti
benang kusut. Pembenahan harus dibenahi di semua lini. Untuk lini
pendidikan perlu dilakukan bedah plastik wajah pendidikan, dan pola
character building pendidikan Jepang layak untuk dipertimbangkan.
Semangat dan etos kerja, kebersamaan, tanggung jawab dan menghargai
pekerjaan diajarkan secara konkrit dan keteladanan bukan dengan
kata-kata.

Sistem rayon (tingkat SD dan SLTP) sebagai kebijakan terkait akan
membantu pemerataan kualitas sekolah. Sistem ini juga memungkinkan
keterlibatan dan pengawasan masyarakat dalam pendidikan. Pada
gilirannya tidak relevan membicarakan sekolah unggulan, sekolah plus
atau pun sekolah borjuis yang diskriminatif.

Untuk mengadopsi sistem asing manapun tidaklah bisa serta merta dan
seketika, sebab pendidikan memang tidak berdiri sendiri. Namun meniru
pola Jepang relatif tidak memerlukan dana sehingga kemiskinan bangsa ini
bukanlah kendala utama. Penulis sengaja tidak menampilkan aspek-aspek
intelektualnya sebab dari sisi ini in kita tidak kalah dari negeri lain
manapun. Tetapi kemampuan itu tidaklah terlalu berarti tanpa dibarengi
pendidikan karakter yang membangun sikap dan komitmen.

Character building yang pernah menjadi wacana di awal berdirinya
republik ini mendesak untuk diangkat kembali. Bahkan lebih dari itu,
mendesak untuk dijadikan kandungan utama pendidikan kita. Semua itu
diperlukan agar bangsa ini kembali mampu berjalan tegak dengan harga
diri. Selain itu, negara harus menanggung biaya Wajar. Tuntutan ini pun
bukan mustahil dipenuhi oleh negara pasca amandemen UUD yang
menetapkan 20 persen APBN harus dialokasikan untuk pendidikan. Kita
tidak ingin Wajar sekedar menjadi bentuk cuci tangan pemerintah atas
kewajiban memenuhi hak pendidikan warga negaranya.

*) Pekerja pendidikan di LaFTiFA (Lab Fisika Teori dan Filsafat Alam) ITS;
alumnus Universitas Hiroshima Jepang.