Jumat, 28 Oktober 2011

Sidang Itsbat Sudah Tidak Relevan

Wawancara Deny al-Asy’ari dari Suara Muhammadiyah (SM) dan Agus Purwanto, DSc.,(AP) doktor fisika teori ITS dan instruktur falak hisab

dimuat dalam kolom DIALOG Suara Muhammadiyah NO 19 Oktober Tahun 2011

di sini ditampilkan sebelum diedit

<<< Politisasi Idhul Fitri >>>

Sidang Itsbat Sudah Tidak Relevan

SM: Walaupun Perayaan idul fitri telah selesai dilaksanakan umat Islam, namun perbedaan pelaksanaaan hari raya idul fitri tersebut masih menyisakan polemik dan persoalan tersendiri, khususnya menyangkut kontroversi kriteria penetapan 1 Syawal bagi umat Islam. Bagaimana sesungguhnya anda melihat persoalan perbedaan kriteria dalam penetapan 1 Syawal ini?

AP: Pertama, masalah ini harus disampaikan kepada umat secara jujur, jernih dan apa adanya.

Kedua, bicara masalah kriteria berarti bicara metoda hisab sebagai titik awal bulan baru.

Ketiga, masalah perbedaan kriteria juga terjadi di tingkat internasional antar negara, sedangkan di Indonesia terjadi antara ormas Muhammadiyah dan PERSIS.

Keempat, masalah perbedan awal bulan qamariyah juga muncul dari kelompok-kelompok kecil maupun kelompok yang lebih besar yang menerima rukyat global yang tidak bergantung pada keputusan sidang itsbat pemerintah Indonesia.

SM: Betulkah motode Hisab wujudul Hilal Muhammadiyah sebagaimana yang dinilai oleh pakar astronomi Prof. Thomas Djamaluddin merupakan metode usang yang tidak relevan dengan konteks keilmuan sekarang? Bagaimana penjelasan anda?

AP: Ini yang juga harus dijernihkan. Wujudul hilal bukan metoda tetapi kriteria. Metoda hisab Muhammadiyah, PERSIS dan kemenag sekarang relatif sama, sistem atau metoda ephemeris dengan data-data Bulan dan Matahari sudah dikemas dalam software winhisab.

Seperti yang telah saya tulis di email yang sudah menyebar di dunia maya. Kalau wujudul hilal dikaitkan dengan keterlihatan hilal, tudingan Thomas benar. Imkanurrukyat memang merupakan jalan tengah dalam arti menampung rukyat di ranah hisab. Kira-kira berapa derajat sih ketinggian hilal yang bisa dilihat dengan mata.

Masalahnya, imkanur rukyat sendiri (khususnya) secara internasional belum seragam dan ketidak seragaman itu juga tidak menghasilkan kesamaan awal bulan. Nah, karena kriteria visibilitas minimum (ketinggian minimum yang memungkinkan hilal terlihat) belum jelas dan terus bergerak, setahu saya, membuat Muhammadiyah berfikir ulang tentang apa yang mendasar dari masalah ini. Muhammadiyah pun sampai pada pemahaman eksistensi atau wujud hilal dan itu berarti NOL derajat.

Masalah timbul ketika eksistensi hilal kurang dari angka visibilitas atau imkanur rukyat. Muhammadiyah sebagai penganut kriteria wujudul hilal menerima esok sebagai bulan baru sedangkan kelompok imkanurrukyat menggenapkan bulan menjadi 30 hari atau dengan kata lain bulan baru masih lusa.

SM: Bagaimana pula sebaliknya anda melihat dengan pendekatan rukyat (imkanur Rukyat) yang diagung-agungkan oleh pemerintah dan kelompok tertentu dalam menentukan 1 Syawal, Sempurnakah metode tersebut?

AP: Sekali lagi, bukan metodanya lho tetapi kriterianya. Kriteria 2 derajat belum sempurna, yang saya tahu kriteria 2 derajat akan dinaikkan menjadi 4 derajat. Dalam makalah yang ditulis wakil PERSIS ketika konferensi kalender Islam internasional tahun 2007 di Jakarta bahkan mau menaikkan sampai 9 derajat.

Dari sidang itsbat 29 Agustus lalu juga mulai dapat dilihat bahwa pemerintah sebenarnya tidak mengagung-agungkan rukyat tetapi diam-diam telah menerima hisab imkanurrukyat. Jadi, menurut saya, Prof Thomas Djamaluddin telah sukses merobah cara berfikir orang-orang kemenag yang awalnya penganut rukyat murni menjadi penganut hisab imkanurrukyat. Saya fikir hal ini juga harus diapresiasi warga Muhammadiyah sebagai lokomotif hisab di Indonesia.

SM: Dalam sidang Istbat di kementerian Agama tanggal 29 Agustus yang lalu, ada kesan pemerintah memaksakan keputusannya dengan mendeskreditkan keputusan yang diambil oleh kelompok atau ormas yang berbeda dengan pemerintah, kenapa pemerintah bisa demikian? Ada apa sebenarnya dengan sikap pemerintah tersebut?

AP: Tidak tahu. Kemungkinan begini, bintang sidang itsbat lalu khan Prof Thomas Djamaluddin. Tadi saya sebutkan, Prof Thomas telah berhasil merobah cara berfikir orang-orang kemenag tetapi belum berhasil merayu orang Muhammadiyah untuk merubah kriteria wujudul hilal menjadi imkanurrukyat. Secara manusiawi, sepertinya beliau gemes juga. Apalagi sekarang beliau telah Guru Besar.

SM: Pemerintah maupun lembaga ilmiah seperti LAPAN seharusnya menjadi institusi yang obyektif dalam kepentingan ummat, namun kenapa terkesan justru terjadi politisasi dari keputusan tersebut? Sehingga banyak data dan fakta diabaikan karena berseberangan dengan keputusan pemerintah.

AP: Dengan ditayangkannya sidang itsbat secara luas masyarakat menjadi tahu kalau yang bersidang ternyata hanya seperti itu. Selanjutnya, Sidang itsbat 29 Agustus 2011 lalu menjadi momen penting untuk evaluasi total karena publik luas tahu sidang para ulama tersebut ternyata tidak ubahnya seperti sidang partai politik. Kasar dan naif, tidak merepresentasikan keutamaan dan kewibawaan ulama.

SM: Masyarakat sebenarnya sangat santun dalam perbedaan, namun justru pemerintah (kementerian agama) terkesan belum menunjukkan contoh yang bisa ditauladani dalam menyikapi perbedaan ini, bagaimana seharusnya rakyat bersikap?

AP: Warga Muhammadiyah relatif tidak bingung karena telah diberitahu jauh hari sebelumnya, idhul fitri 1432 bertepatan dengan 30 Agustus 2011. Warga PERSIS juga tidak bingung karena akan idhul fitri 31 Agustus 2011. Warga NU masih wait and see hasil rukyat. Sayangnya, hasul rukyat Jepara dan Cakung ditolak. Masyarakat yang tidak berafiliasi pada ormas-ormas ini bingung karena pemerintah tidak segera membuat pengumuman kapan idhul fitri.

SM: Bagaimana menurut anda signifikansi siding istbat yang dilakukan pemerintah, apakah siding seperti ini masih perlu dan penting bagi umat Islam?

AP: Jika kita telah menerima hisab dengan berbagai kriterianya, sidang itsbat menjadi tidak relevan dan mubadzir. Contohnya, sidang itsbat untuk Dzulhijjah 1431 tahun lalu, dan yang terbaru 29 Agustus. Karena hasil hisab menyatakan tinggi hilal kurang dari 2 maka kesaksian berhasil merukyat ditolak dan ditetapkan idhul fitri 31 Agustus. Itu artinya, tim ahli kemenag khan tahu kalau hilal tidak mungkin terlihat jadi seharusnya mereka tidak mengijinkan orang-orang merukyat. Mereka juga tahu jauh sebelumnya kalau mereka (kemenag, PERSIS dan lainnya) akan idhul fitri 31 Agustus.

Untuk apa menunggu berkumpul untuk sidang yang seharusnya sakral tapi malah berubah menjadi sidang penghakiman bahkan dengan kata dan ungkapan yang tidak menunjukkan derajat keulamaan. Sidang itsbat itu selain cacat logika tetapi juga mubadzir serta menjadi sumber kebingungan umat.

Jika siding itsbat diperthankan, apa alasannya? Untuk apa? Kita tidak dapat mencegah orang berimajinasi dan menduga-duga sendiri bahwa sidang itsbat adalah sidang politik minimum politik anggaran yang berkedok sidang keagamaan. Maklum, sidang itsbat pasti tidak gratis dan tidak murah.

SM: Bagaimana pula anda melihat keberadaan bulan pada tanggal 12 Agustus, apakah keberadaan bulan purnama ini bisa dijadikan indikasi kebenaran keputusan Muhammadiyah dalam menentukan 1 Syawal 30 Agutus yang lalu?

AP: Tahun 2007 saya dapat masukan dari beberapa nelayan dan penambak ikan di daerah pantai timur Kenjeran Surabaya, bahwa mereka bisa menentukan sendiri kapan tanggal satu bulan qamariyah. Mereka bahkan curhat, mengapa mereka tidak pernah ditanya menteri agama tentang awal bulan.

Dari info mereka saya coba cari landasan nash tentang Bulan Purnama apakah bisa menjadi hakim atas perbedaan. Ada satu ayat tentang purnama, QS 84:18. Ayat ini hanya mengisyaratkan urgensi karena muncul dalam redaksi sumpah. Info lebih spesifik kita temukan pada hadits shaum tiga hari setiap bulan yakni shaum pada ayyamul biidh yang secara spesifik disebutkan sebagai tanggal 13, 14 dan 15. Masalahnya, apa makna hari-hari yang putih di hadits ini? Saya memahami sebagai hari yang terang terus tanpa jeda gelap ketika pergantian siang ke malam. Artinya, ketika maghrib tanggal 13, 14 dan 15 Bulan ada di atas ufuk timur sehingga hari tetap terang meskipun Matahari telah tenggelam. Tanggal 16 dan 17 meski malamnya juga terang tetapi saat maghrib Bulan belum muncul di ufuk timur sehingga ada jeda gelap. Secara umum, ini lebih mendukung wujudul hilal.

Tetapi ada juga yang memahami bahwa hari-hari putih adalah hari-hari dengan malam paling terang karena Bulan paling bundar. Bila demikian, ini terjadi tanggal 14, 15 dan 16 menurut hisab criteria wujudul hilal tetapi bergeser menjadi tanggal 13, 14 dan 15 menurut imkanurrukyat dan tetap sesuai dengan redaksi hadits.

Jadi masih sulit ketemu juga.

SM: Agenda apa seharusnya yang mesti dilakukan oleh Umat Islam termasuk pemeritah ke depannya, agar penyatuan terhadap penanggalan Islam bisa dilakukan, sekaligus mampu bersikap bijaksana dan santun jikalaupun terjadi perbedaan?

AP: Pertama, bagi saya pribadi, mohon maaf, masalah awal bulan qamariyah merupakan masalah yang paling menggelikan dan seolah memperlihatkan muslim dunia termasuk Indonesia itu stupid. Betapa tidak, 15 abad kita tidak pernah mempunyai kalender qamariyah. Sebagian bertahan dengan keyakinan keharusan rukyat, sebagian lagi telah menerima hisab tetapi masih juga berbeda awal bulannya. Untuk masalah ini harus dikembangkan paradigma kesatuan awal bulan global apapun kriteria hisabnya. Konsekwensinya, harus menerima aneka kriteria, yang penting satu tanggal satu.

Kedua, sampai tahun 1440 tidak ada perbedaan idul ftri tetapi beda idul adha, 1435 dan 1436. Ada juga perbedaan awal Ramadlan tetapi khan tidak ada ibadah massif di tanah lapang. Sekali lagi, sidang itsbat tidak diperlukan, pemerintah tinggal mengumumkan waktu-waktu awal bulan versi yang ada jauh hari sebelumnya. Misalkan di awal tahun masehi agar masyarakat siap dengan jadwal mudiknya juga jauh hari sebelumnya. Jadi masyarakat perlu diajak berfikir rasional.

Ketiga, yang berbeda dari pemerintah bukan hanya Muhammadiyah tetapi beberapa kelompok lain termasuk jamaah Hizbut Tahrir yang secara umum menerima rukyat global. Karena secara umum, makin ke barat maghrib makin kemudian dan hilal makin tinggi maka meskipun di Indonesia masih kurang dari dua, di negeri sebelah barat sudah lebih tinggi dan lebih memungkinkan untuk merukyat. Artinya, hisab global justru lebih cenderung bersamaan dengan criteria wujul hilal bila di Indonesia ada perbedaan.

Selasa, 25 Oktober 2011

Ramadlan: Bulan Istimewa dengan Misi Istimewa*)

Ramadlan merupakan bulan istimewa bagi umat islam, selama bulan ini muslim dewasa diwajibkan puasa (QS 2: 183) kecuali mereka yang berhalangan sakit atau bepergian boleh tidak berpusa tetapi wajib mengganti di hari lain (QS 2:185). Misi puasa Ramadlan adalah meningkatnya kualitas taqwa (QS 2:183), dan taqwa merupakan barometer sukses hakiki muslim (QS 49:13). Singkat kata, Ramadlan adalah bulan istimewa dengan misi yang juga istimewa.

Salah satu keistimewaan bulan Ramadlan adalah di bulan ini diturunkan al-Qur’an (QS 2:185) sebagai kitab suci pegangan utama umat islam. Bahkan bukan hanya al-Qur’an, suhuf atau lembaran-lembaran kitab Taurat, Zabur dan Injil, sebagaimana dijelaskan Ibnu Katsir di dalam tafsirnya juga diturunkan di bulan suci Ramadlan. Bedanya, jika ketiga kitab suci diturunkan sekaligus kepada kepada masing-masing nabi yang bersangkutan, sedangkan al-Qur’an diturunkan sekaligus dari Baitul ’Izzah ke langit dunia di malam Lailatul Qadar.

Al-Quran adalah kitab yang tidak ada keraguan di dalamnya (QS 2: 2), berfungsi sebagai petunjuk, penjelasan dari petunjuk tersebut, dan pembeda yang hak dan bathil (QS 2: 185). Bulan suci Ramadlan seharusnya dijadikan momen bagi penumbuhan rasa cinta pada al-Qur’an. Seseorang dapat menyintai sesuatu jika sesuatu tersebut mempunyai daya tarik dan dikenali dengan baik. Al-Qur’an akan dicintai jika sisi-sisi menarik al-Qur’an ditampilkan. Kenyataan al-Qur’an dalam bahasa Arab meniscayakan orang memahami bahasa Arab untuk memahami dan akhirnya dapat menyintainya.

Bahasa Arab

Salah satu hal yang menarik adalah redaksi yang digunakan al-Quran tentang piranti utama manusia, akal. Al-Quran menyebut aql sebanyak 49 kali dengan 48 kata dalam bentuk kata kerja sedang/akan atau imperfektum fi’il mudhori’ dan satu kata kerja lampau fiil madhi. Tepatnya, ya’qiluun يعقلون 22 kali, ta’qiluun تعقلون 24 kali dan na’qilu, نعقل, ya’qilu يعقل , ’aqaluu عقلوا masing-masing satu kali. Masing-masing pola mempunyai karakeristik pesan tersendiri. Pesan implisit dari pemilihan kata akal dalam bentuk fi’il mudhori’ ini adalah akal bukanlah benda mati melainkan kegiatan berfikir yang dinamis progresif, bukan masa lalu dan stagnan.

Sisi menarik lainnya adalah rincian dari 49 kata akal tersebut. Ketika kita membaca al-Qur’an maka dapat kita bayangkan al-Qur’an sebagai pihak pertama dan kita sebagai pembacanya sebagai pihak kedua. Ketika kita berdialog dengan al-Qur’an, sesekali al-Qur’an bercerita tentang pihak ketiga.

Al-Qur’an berdialog langsung dengan pembacanya dalam pola redaksi ta’qiluun. Pola ini muncul dalam pertanyaan negatif afalaa ta’qiluun أفَلا تَعْقِلوُنَ sebanyak 13 plus 1 ayat, harapan dan dorongan agar berfikir la’allakum ta’qiluun لَعلكم تعقلون 8 kali dan kondisional inkuntum ta’qiluun إن كنتم تعقلون 2 kali. Ta’qiluun adalah fi’il mudhari’ untuk pihak kedua kalian (banyak).

Al-Quran memberi dua pesan khas kepada setiap mitranya melalui redaksional ta’qiluun, yakni pesan moralitas dan urgensi bahasa Arab. Kita sebagai mitra berdialog diingatkan bahwa manusia sering lalai, mementingkan hal remeh dan mengabaikan hal utama. Al-Quran pun mengingatkan, hidup di dunia hanyalah main-main dan senda gurau. Dunia dan isinya bisa hadir dengan cepat tetapi juga bisa lenyap dalam sekejap, dunia bukan akhir perjalanan manusia, melainkan akhirat yang kekal itu. Al-Quran juga menyampaikan bahwa kitab yang berisi peringatan dan petunjuk bagaimana manusia mencapai kemuliaan telah diturunkan.

Pola lain komunikasi al-Quran dengan pembacanya adalah pola narasi, pola bertutur dan kemudian mendorong untuk berfikir, la’allakum ta’qiluun. Al-Quran mengisahkan peristiwa-peristiwa luar biasa seperti menghidupkan orang mati agar manusia berfikir tentang kekuatan utama yakni Allah swt. Al-Quran menjelaskan etika di dalam keluarga, bagaimana berhadapan dengan orang tua maupun anak-anak maupun orang buta. Tugas kekhalifahan manusia di Bumi menjadi tidak bermakna dan absurd jika manusia tidak memperoleh penjelasan tentang apa tugas yang harus dilakukan dan apa yang harus dihindari.

Selain pesan moral dan etis, pesan yang khusus al-Quran yang perlu kita perhatikan dengan lebih serius adalah bahasa Arab yang digunakan al-Qur’an untuk berkomunikasi dengan kita (QS 12:2; 43:3). Kita diminta untuk berfikir dan memahami seluk beluk bahasa Arab sebagai bahasa al-Quran.

Merenungkan Alam.

Al-Quran menggunakan pola ungkapan ya’qiluun untuk bercerita pihak ketiga. Pola ini muncul dalam cerita positip 10 kali dengan rincian ya’qiluun dan quluubun ya’qiluun قلوب يعقلون masing-masing satu kali serta qaumun ya’qiluun قوم يعقلون 8 kali. Cerita negatip laa ya’qiluun لايعقلون muncul 12 kali dengan 5 istilah berbeda yaitu hum laa ya’qiluun, هم لا يعقلون 5 kali, alladzina laa ya’qiluun, الذين لا يعقلون 3 kali, qaumun laa ya’qiluun, قوم لا يعقلون 2 kali, kanuu laa ya’qilunn كانولايعقلون satu kali dan bertanya negatip afalaa ya’qiluun افلا يعقلون satu kali.

Al-Qur’an bercerita sejarah nenek moyang yang jahil agar manusia dapat belajar dari pengalaman mereka. Orang jahil ini berperilaku kurang etis, diumpamakan dengan hewan yang tidak mendengar pengajaran, suka membuat kedustaan. Mereka kadang mendengar bahkan dapat berbicara yang baik tetapi tidak mengerti yang diucapkannya. Orang-orang yang tidak mau berfikir ini meskipun berkelompok tetapi sejatinya hati mereka tercerai berai tidak bersatu. Mereka suka panjang angan, ingin hidup lebih lama di muka Bumi.

Sebaliknya, al-Qur’an memuji mereka yang mau memahami sesuatu yang di dengar dan dilihatnya, memperhatikan apa saja tatkala melakukan perjalanan di muka Bumi termasuk juga memperhatikan dirinya sendiri untuk memperoleh aneka pelajaran. Lebih spesifik, al-Qur’an memuji kaum yang merenungkan aneka fenomena alam secara rinci dan cerma seperti kejadian langit dan bumi, tergelitik pada kapal laut yang berlayar dan mengangkut banyak sekali barang berat, bagian-bagian yang berdampingan di Bumi dan pohon bercabang serta yang tidak bercabang. Pohon dan buah kurma serta anggur yang dapat dijadikan minuman. Demikian juga dengan fenomena pergantian siang dan malam, serta orientasi arah angin. Kilat dan hujan tidak luput dari perhatian kaum yang suka merenung, benda-benda langit seperti matahari yang menyinari Bumi di siang hari, bulan dan bintang yang muncul di malam hari.

Sekedar contoh, Ramadlan selalu disimbulkan dengan bulan sabit atau hilal. Al-Qur’an hanya menyebut dua penampakan bulan yaitu bulan sabit dan purnama. Bulan sabit sendiri disebut dengan dua istilah, ahillah (QS 2: 189) dan urjunul qadiim (QS 36: 39). Meskipun sama sebagai Bulan sabit yang tidak pernah tertelungkup tetapi ahillah berbeda dari urjunul qadim. Bulan sabit ahillah menandai awal bulan, muncul dan terlihat di ufuk langit barat ketika maghrib, sedangkan bulan sabit urjunul qadim menandai akhir bulan, muncul di ufuk timur menjelang subuh.

Pesan al-Qur’an tentang bahasa Arab dan alam dapat disarikan sebagai berikut. Urgensi bahasa Arab untuk dipahami menggunakan redaksi la’allakum ta’qiluun. Artinya, setiap mitra dialog al-Qur’an harus mengerti bahasa Arab. Jika disederhanakan, bahasa Arab wajib bagi setiap muslim. Pemahaman alam juga disampaikan dengan redaksi ta’qiluun tetapi hanya sebatas fenomena alam yang setiap orang pasti mengalami dan merasakan yaitu pergantiang siang dan malam. Artinya, setiap orang seharusnya berfikir mengapa ada atau terjadi siang dan malam.

Perenungan dan pemahaman terhadap alam secara detail disampaikan al-Qur’an menggunakan redaksi ya’qiluun, pihak ketiga, tepatnya qaumun ya’qiluun, sekelompok peneliti. Artinya, tugas memahami alam secara rinci dan spesifik tidak dibebankan kepada setiap orang tetapi hanya orang-orang tertentu. Dan, harus ada, jika tidak maka umat tidak akan mempunyai kemampuan untuk mengelola sumber daya alam yang pada gilirannya menyebabkan kelemahan ekonomi dan politik secara luas.

Liburkan Sekolah

Mengingat misi istimewanya seharusnya Ramadlan dijalani dan diperlakukan secara istimewa juga. Menjelang Ramadlan umumnya orang menyongsong kedatangan Ramadlan dengan aneka kegiatan tetapi sayangnya ketika hadir Ramadlan kemudian diperlakukan biasa-biasa saja. Karena Ramadlan tidak didukung dengan keadaan dan suasana yang tepat maka misi Ramadlan secara umum tampak gagal. Alih-alih menahan diri dari berbagai keinginan yang terjadi justru nafsu konsumeris meningkat signifikan di bulan Ramadhan. Para pelaku bisnis di seluruh dunia termasuk Indonesia berlomba merangsang umat Islam dan berhasil menjadikan Ramadlan sebagai the most important business period. Nafsu berbelanja Muslim meningkat tajam di bulan ini.

Walter Armburst (2004) dari universitas Oxford sempat melakukan penelitian dan mendapatkan bahwa Ramadlan merupakan bulan yang multiguna. Dalam kurun ini ditawarkan dan dijual aneka produk, sifat konsumsi dirangsang dan promosi sikap politik dilakukan dengan lebih gencar. Sandicki dan Omeraki (2006) menyebutkan bahwa gairah beragama selama Ramadlan telah dimanfaatkan para pemilik modal untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya sehingga terjadi komersialisasi Ramadlan. Kita saksikan promosi nginap dan sahur di hotel mewah serta kuiz jutaan rupiah di saat Ramadlan.

The Washington Post di Amerika pada salah satu edisinya pada Nopember 2004 melaporkan pengalaman orang-orang asing yang telah tinggal di Saudi dalam rentang waktu cukup lama. Mereka enggan keluar sore selama Ramadlan karena kecelakaan meningkat dibanding bulan-bulan lainnya. Orang Saudi cenderung terburu-buru pulang untuk berbuka puasa. Keadaan yang juga tidak jauh berbeda dari keadaan negeri kita atau negeri berpenduduk muslim lainnya.

Paradoks tersebut dapat diatasi dengan cara menjalani dan memperlakukan Ramadlan dengan istimewa. Perlakuan tersebut di antaranya peliburan kegiatan formal dan rutin sekolah serta pengurangan jam kerja selama Ramadlan. Kebijakan libur sekolah selama Ramadlan pernah diberlakukan di Indonesia sampai akhirnya dihapus oleh menteri P dan K (1977-1982) Daoed Joesoef. Tidak jelas alasan dihapuskannya kebijakan ini. Pada masa pemerintahan presiden Abdurahman Wahid dengan mendiknas Yahya Muhaimin, kebijakan libur Ramadlan kembali diterapkan.

Negara maju yang mempunyai empat musim seperti Jepang menerapkan libur panjang sekolah selama musim panas. Alasannya, selama musim panas produktivitas rendah karena orang lebih cepat lelah. Siang hari di musim panas suhu dapat mencapai 40 derajat Celcius. Indonesia hanya mempunyai dua musim tanpa musim panas yang ekstrim tetapi juga mempunyai kurun waktu yang kurang produktif yaitu Ramadlan.

Selama Ramadlan muslim menjalani penggemblengan fisik tidak makan dan minum di siang hari, shalat tarawih serta membaca al-Quran di malam hari, dan makan sahur lalu nenunggu shalat shubuh dengan mengaji. Muslim diharapkan melakukan peningkatan kualitas ilmu dan iman dengan kajian dan perenungan secara intensif. Bila hal-hal tersebut dijalani dengan sungguh-sungguh niscaya di siang harinya orang akan mengantuk dan cepat lelah.

Selama Ramadlan proses belajar-mengajar di semua jenjang pendidikan berlangsung setengah hati. Suasana pengajaran setengah hati bisa dihindari jika sekolah diliburkan selama Ramadlan. Libur Ramadlan tidak berarti menambah jumlah hari atau jam libur melainkan menggeser jadwal libur. Jelas, ini bukan masalah rumit. Libur sekolah selama Ramadlan juga tidak berarti tidak ada kegiatan di sekolah lalu guru maupun dosen tidak datang ke kantor. Libur Ramadlan hanya berarti tidak ada proses belajar mengajar formal, baku dan ketat seperti hari-hari biasa. Selama Ramadlan dapat diisi dengan kegiatan pendalaman pemahaman keagamaan khususnya al-Quran dan bahasa Arab.

Seperti libur musim panas di Jepang dosen tetap datang ke kampus tetapi bukan untuk mengajar melainkan mempersiapkan bahan seminar yang merupakan hasil riset mereka. Sedangkan di sekolah dasar dan menengah ada kegiatan seperti renang di kolam renang sekolah. Artinya, meskipun secara formal libur tetapi kegiatan informal yang tidak mengikat tetap dapat dilangsungkan.

Pendidikan kita makin carut marut khususnya dalam membangun sikap dan karakter peserta didik. Contek massal dan sistemik seperti di SD Gadel 2 Surabaya seolah menjadi keniscayaan sejarah dunia pendidikan kita. Ramadlan mestinya dijadikan momen berbenah dengan berfikir rasional obyektif dan bertindak jujur terhadap kebijakan pendidikan itu sendiri termasuk kebijakan tidak libur selama Ramadlan.

Kultur Muslim dalam Ramadlan adalah tidur sedikit dan bangun lama di malam hari untuk aneka ibadah pembersihan diri dan pendekatan menuju Ilahi. Proses ini harus dilakukan sejak dini, sejak usia sekolah. Akibatnya, di siang hari harus dilonggarkan dari aneka beban formal sekolah. Ketika tubuh lelah dan tenaga berkurang maka konsentrasi dan aktivitas berfikir akan menurun. Peserta didik akan turun daya serapnya sedangkan pendidik akan kurang ekspresif dan optimal dalam menyampaikan bahan ajar terlebih yang spesifik. Tanpa itu, Ramadlan akan berlalu dengan biasa-biasa saja dan dunia pendidikan kita hanya akan lari-lari di tempat.

*) dimuat di majalah Jendela Santri, vol. 3 no. 9, Agustus 2011.