Jumat, 28 Oktober 2011

Sidang Itsbat Sudah Tidak Relevan

Wawancara Deny al-Asy’ari dari Suara Muhammadiyah (SM) dan Agus Purwanto, DSc.,(AP) doktor fisika teori ITS dan instruktur falak hisab

dimuat dalam kolom DIALOG Suara Muhammadiyah NO 19 Oktober Tahun 2011

di sini ditampilkan sebelum diedit

<<< Politisasi Idhul Fitri >>>

Sidang Itsbat Sudah Tidak Relevan

SM: Walaupun Perayaan idul fitri telah selesai dilaksanakan umat Islam, namun perbedaan pelaksanaaan hari raya idul fitri tersebut masih menyisakan polemik dan persoalan tersendiri, khususnya menyangkut kontroversi kriteria penetapan 1 Syawal bagi umat Islam. Bagaimana sesungguhnya anda melihat persoalan perbedaan kriteria dalam penetapan 1 Syawal ini?

AP: Pertama, masalah ini harus disampaikan kepada umat secara jujur, jernih dan apa adanya.

Kedua, bicara masalah kriteria berarti bicara metoda hisab sebagai titik awal bulan baru.

Ketiga, masalah perbedaan kriteria juga terjadi di tingkat internasional antar negara, sedangkan di Indonesia terjadi antara ormas Muhammadiyah dan PERSIS.

Keempat, masalah perbedan awal bulan qamariyah juga muncul dari kelompok-kelompok kecil maupun kelompok yang lebih besar yang menerima rukyat global yang tidak bergantung pada keputusan sidang itsbat pemerintah Indonesia.

SM: Betulkah motode Hisab wujudul Hilal Muhammadiyah sebagaimana yang dinilai oleh pakar astronomi Prof. Thomas Djamaluddin merupakan metode usang yang tidak relevan dengan konteks keilmuan sekarang? Bagaimana penjelasan anda?

AP: Ini yang juga harus dijernihkan. Wujudul hilal bukan metoda tetapi kriteria. Metoda hisab Muhammadiyah, PERSIS dan kemenag sekarang relatif sama, sistem atau metoda ephemeris dengan data-data Bulan dan Matahari sudah dikemas dalam software winhisab.

Seperti yang telah saya tulis di email yang sudah menyebar di dunia maya. Kalau wujudul hilal dikaitkan dengan keterlihatan hilal, tudingan Thomas benar. Imkanurrukyat memang merupakan jalan tengah dalam arti menampung rukyat di ranah hisab. Kira-kira berapa derajat sih ketinggian hilal yang bisa dilihat dengan mata.

Masalahnya, imkanur rukyat sendiri (khususnya) secara internasional belum seragam dan ketidak seragaman itu juga tidak menghasilkan kesamaan awal bulan. Nah, karena kriteria visibilitas minimum (ketinggian minimum yang memungkinkan hilal terlihat) belum jelas dan terus bergerak, setahu saya, membuat Muhammadiyah berfikir ulang tentang apa yang mendasar dari masalah ini. Muhammadiyah pun sampai pada pemahaman eksistensi atau wujud hilal dan itu berarti NOL derajat.

Masalah timbul ketika eksistensi hilal kurang dari angka visibilitas atau imkanur rukyat. Muhammadiyah sebagai penganut kriteria wujudul hilal menerima esok sebagai bulan baru sedangkan kelompok imkanurrukyat menggenapkan bulan menjadi 30 hari atau dengan kata lain bulan baru masih lusa.

SM: Bagaimana pula sebaliknya anda melihat dengan pendekatan rukyat (imkanur Rukyat) yang diagung-agungkan oleh pemerintah dan kelompok tertentu dalam menentukan 1 Syawal, Sempurnakah metode tersebut?

AP: Sekali lagi, bukan metodanya lho tetapi kriterianya. Kriteria 2 derajat belum sempurna, yang saya tahu kriteria 2 derajat akan dinaikkan menjadi 4 derajat. Dalam makalah yang ditulis wakil PERSIS ketika konferensi kalender Islam internasional tahun 2007 di Jakarta bahkan mau menaikkan sampai 9 derajat.

Dari sidang itsbat 29 Agustus lalu juga mulai dapat dilihat bahwa pemerintah sebenarnya tidak mengagung-agungkan rukyat tetapi diam-diam telah menerima hisab imkanurrukyat. Jadi, menurut saya, Prof Thomas Djamaluddin telah sukses merobah cara berfikir orang-orang kemenag yang awalnya penganut rukyat murni menjadi penganut hisab imkanurrukyat. Saya fikir hal ini juga harus diapresiasi warga Muhammadiyah sebagai lokomotif hisab di Indonesia.

SM: Dalam sidang Istbat di kementerian Agama tanggal 29 Agustus yang lalu, ada kesan pemerintah memaksakan keputusannya dengan mendeskreditkan keputusan yang diambil oleh kelompok atau ormas yang berbeda dengan pemerintah, kenapa pemerintah bisa demikian? Ada apa sebenarnya dengan sikap pemerintah tersebut?

AP: Tidak tahu. Kemungkinan begini, bintang sidang itsbat lalu khan Prof Thomas Djamaluddin. Tadi saya sebutkan, Prof Thomas telah berhasil merobah cara berfikir orang-orang kemenag tetapi belum berhasil merayu orang Muhammadiyah untuk merubah kriteria wujudul hilal menjadi imkanurrukyat. Secara manusiawi, sepertinya beliau gemes juga. Apalagi sekarang beliau telah Guru Besar.

SM: Pemerintah maupun lembaga ilmiah seperti LAPAN seharusnya menjadi institusi yang obyektif dalam kepentingan ummat, namun kenapa terkesan justru terjadi politisasi dari keputusan tersebut? Sehingga banyak data dan fakta diabaikan karena berseberangan dengan keputusan pemerintah.

AP: Dengan ditayangkannya sidang itsbat secara luas masyarakat menjadi tahu kalau yang bersidang ternyata hanya seperti itu. Selanjutnya, Sidang itsbat 29 Agustus 2011 lalu menjadi momen penting untuk evaluasi total karena publik luas tahu sidang para ulama tersebut ternyata tidak ubahnya seperti sidang partai politik. Kasar dan naif, tidak merepresentasikan keutamaan dan kewibawaan ulama.

SM: Masyarakat sebenarnya sangat santun dalam perbedaan, namun justru pemerintah (kementerian agama) terkesan belum menunjukkan contoh yang bisa ditauladani dalam menyikapi perbedaan ini, bagaimana seharusnya rakyat bersikap?

AP: Warga Muhammadiyah relatif tidak bingung karena telah diberitahu jauh hari sebelumnya, idhul fitri 1432 bertepatan dengan 30 Agustus 2011. Warga PERSIS juga tidak bingung karena akan idhul fitri 31 Agustus 2011. Warga NU masih wait and see hasil rukyat. Sayangnya, hasul rukyat Jepara dan Cakung ditolak. Masyarakat yang tidak berafiliasi pada ormas-ormas ini bingung karena pemerintah tidak segera membuat pengumuman kapan idhul fitri.

SM: Bagaimana menurut anda signifikansi siding istbat yang dilakukan pemerintah, apakah siding seperti ini masih perlu dan penting bagi umat Islam?

AP: Jika kita telah menerima hisab dengan berbagai kriterianya, sidang itsbat menjadi tidak relevan dan mubadzir. Contohnya, sidang itsbat untuk Dzulhijjah 1431 tahun lalu, dan yang terbaru 29 Agustus. Karena hasil hisab menyatakan tinggi hilal kurang dari 2 maka kesaksian berhasil merukyat ditolak dan ditetapkan idhul fitri 31 Agustus. Itu artinya, tim ahli kemenag khan tahu kalau hilal tidak mungkin terlihat jadi seharusnya mereka tidak mengijinkan orang-orang merukyat. Mereka juga tahu jauh sebelumnya kalau mereka (kemenag, PERSIS dan lainnya) akan idhul fitri 31 Agustus.

Untuk apa menunggu berkumpul untuk sidang yang seharusnya sakral tapi malah berubah menjadi sidang penghakiman bahkan dengan kata dan ungkapan yang tidak menunjukkan derajat keulamaan. Sidang itsbat itu selain cacat logika tetapi juga mubadzir serta menjadi sumber kebingungan umat.

Jika siding itsbat diperthankan, apa alasannya? Untuk apa? Kita tidak dapat mencegah orang berimajinasi dan menduga-duga sendiri bahwa sidang itsbat adalah sidang politik minimum politik anggaran yang berkedok sidang keagamaan. Maklum, sidang itsbat pasti tidak gratis dan tidak murah.

SM: Bagaimana pula anda melihat keberadaan bulan pada tanggal 12 Agustus, apakah keberadaan bulan purnama ini bisa dijadikan indikasi kebenaran keputusan Muhammadiyah dalam menentukan 1 Syawal 30 Agutus yang lalu?

AP: Tahun 2007 saya dapat masukan dari beberapa nelayan dan penambak ikan di daerah pantai timur Kenjeran Surabaya, bahwa mereka bisa menentukan sendiri kapan tanggal satu bulan qamariyah. Mereka bahkan curhat, mengapa mereka tidak pernah ditanya menteri agama tentang awal bulan.

Dari info mereka saya coba cari landasan nash tentang Bulan Purnama apakah bisa menjadi hakim atas perbedaan. Ada satu ayat tentang purnama, QS 84:18. Ayat ini hanya mengisyaratkan urgensi karena muncul dalam redaksi sumpah. Info lebih spesifik kita temukan pada hadits shaum tiga hari setiap bulan yakni shaum pada ayyamul biidh yang secara spesifik disebutkan sebagai tanggal 13, 14 dan 15. Masalahnya, apa makna hari-hari yang putih di hadits ini? Saya memahami sebagai hari yang terang terus tanpa jeda gelap ketika pergantian siang ke malam. Artinya, ketika maghrib tanggal 13, 14 dan 15 Bulan ada di atas ufuk timur sehingga hari tetap terang meskipun Matahari telah tenggelam. Tanggal 16 dan 17 meski malamnya juga terang tetapi saat maghrib Bulan belum muncul di ufuk timur sehingga ada jeda gelap. Secara umum, ini lebih mendukung wujudul hilal.

Tetapi ada juga yang memahami bahwa hari-hari putih adalah hari-hari dengan malam paling terang karena Bulan paling bundar. Bila demikian, ini terjadi tanggal 14, 15 dan 16 menurut hisab criteria wujudul hilal tetapi bergeser menjadi tanggal 13, 14 dan 15 menurut imkanurrukyat dan tetap sesuai dengan redaksi hadits.

Jadi masih sulit ketemu juga.

SM: Agenda apa seharusnya yang mesti dilakukan oleh Umat Islam termasuk pemeritah ke depannya, agar penyatuan terhadap penanggalan Islam bisa dilakukan, sekaligus mampu bersikap bijaksana dan santun jikalaupun terjadi perbedaan?

AP: Pertama, bagi saya pribadi, mohon maaf, masalah awal bulan qamariyah merupakan masalah yang paling menggelikan dan seolah memperlihatkan muslim dunia termasuk Indonesia itu stupid. Betapa tidak, 15 abad kita tidak pernah mempunyai kalender qamariyah. Sebagian bertahan dengan keyakinan keharusan rukyat, sebagian lagi telah menerima hisab tetapi masih juga berbeda awal bulannya. Untuk masalah ini harus dikembangkan paradigma kesatuan awal bulan global apapun kriteria hisabnya. Konsekwensinya, harus menerima aneka kriteria, yang penting satu tanggal satu.

Kedua, sampai tahun 1440 tidak ada perbedaan idul ftri tetapi beda idul adha, 1435 dan 1436. Ada juga perbedaan awal Ramadlan tetapi khan tidak ada ibadah massif di tanah lapang. Sekali lagi, sidang itsbat tidak diperlukan, pemerintah tinggal mengumumkan waktu-waktu awal bulan versi yang ada jauh hari sebelumnya. Misalkan di awal tahun masehi agar masyarakat siap dengan jadwal mudiknya juga jauh hari sebelumnya. Jadi masyarakat perlu diajak berfikir rasional.

Ketiga, yang berbeda dari pemerintah bukan hanya Muhammadiyah tetapi beberapa kelompok lain termasuk jamaah Hizbut Tahrir yang secara umum menerima rukyat global. Karena secara umum, makin ke barat maghrib makin kemudian dan hilal makin tinggi maka meskipun di Indonesia masih kurang dari dua, di negeri sebelah barat sudah lebih tinggi dan lebih memungkinkan untuk merukyat. Artinya, hisab global justru lebih cenderung bersamaan dengan criteria wujul hilal bila di Indonesia ada perbedaan.

Selasa, 25 Oktober 2011

Ramadlan: Bulan Istimewa dengan Misi Istimewa*)

Ramadlan merupakan bulan istimewa bagi umat islam, selama bulan ini muslim dewasa diwajibkan puasa (QS 2: 183) kecuali mereka yang berhalangan sakit atau bepergian boleh tidak berpusa tetapi wajib mengganti di hari lain (QS 2:185). Misi puasa Ramadlan adalah meningkatnya kualitas taqwa (QS 2:183), dan taqwa merupakan barometer sukses hakiki muslim (QS 49:13). Singkat kata, Ramadlan adalah bulan istimewa dengan misi yang juga istimewa.

Salah satu keistimewaan bulan Ramadlan adalah di bulan ini diturunkan al-Qur’an (QS 2:185) sebagai kitab suci pegangan utama umat islam. Bahkan bukan hanya al-Qur’an, suhuf atau lembaran-lembaran kitab Taurat, Zabur dan Injil, sebagaimana dijelaskan Ibnu Katsir di dalam tafsirnya juga diturunkan di bulan suci Ramadlan. Bedanya, jika ketiga kitab suci diturunkan sekaligus kepada kepada masing-masing nabi yang bersangkutan, sedangkan al-Qur’an diturunkan sekaligus dari Baitul ’Izzah ke langit dunia di malam Lailatul Qadar.

Al-Quran adalah kitab yang tidak ada keraguan di dalamnya (QS 2: 2), berfungsi sebagai petunjuk, penjelasan dari petunjuk tersebut, dan pembeda yang hak dan bathil (QS 2: 185). Bulan suci Ramadlan seharusnya dijadikan momen bagi penumbuhan rasa cinta pada al-Qur’an. Seseorang dapat menyintai sesuatu jika sesuatu tersebut mempunyai daya tarik dan dikenali dengan baik. Al-Qur’an akan dicintai jika sisi-sisi menarik al-Qur’an ditampilkan. Kenyataan al-Qur’an dalam bahasa Arab meniscayakan orang memahami bahasa Arab untuk memahami dan akhirnya dapat menyintainya.

Bahasa Arab

Salah satu hal yang menarik adalah redaksi yang digunakan al-Quran tentang piranti utama manusia, akal. Al-Quran menyebut aql sebanyak 49 kali dengan 48 kata dalam bentuk kata kerja sedang/akan atau imperfektum fi’il mudhori’ dan satu kata kerja lampau fiil madhi. Tepatnya, ya’qiluun يعقلون 22 kali, ta’qiluun تعقلون 24 kali dan na’qilu, نعقل, ya’qilu يعقل , ’aqaluu عقلوا masing-masing satu kali. Masing-masing pola mempunyai karakeristik pesan tersendiri. Pesan implisit dari pemilihan kata akal dalam bentuk fi’il mudhori’ ini adalah akal bukanlah benda mati melainkan kegiatan berfikir yang dinamis progresif, bukan masa lalu dan stagnan.

Sisi menarik lainnya adalah rincian dari 49 kata akal tersebut. Ketika kita membaca al-Qur’an maka dapat kita bayangkan al-Qur’an sebagai pihak pertama dan kita sebagai pembacanya sebagai pihak kedua. Ketika kita berdialog dengan al-Qur’an, sesekali al-Qur’an bercerita tentang pihak ketiga.

Al-Qur’an berdialog langsung dengan pembacanya dalam pola redaksi ta’qiluun. Pola ini muncul dalam pertanyaan negatif afalaa ta’qiluun أفَلا تَعْقِلوُنَ sebanyak 13 plus 1 ayat, harapan dan dorongan agar berfikir la’allakum ta’qiluun لَعلكم تعقلون 8 kali dan kondisional inkuntum ta’qiluun إن كنتم تعقلون 2 kali. Ta’qiluun adalah fi’il mudhari’ untuk pihak kedua kalian (banyak).

Al-Quran memberi dua pesan khas kepada setiap mitranya melalui redaksional ta’qiluun, yakni pesan moralitas dan urgensi bahasa Arab. Kita sebagai mitra berdialog diingatkan bahwa manusia sering lalai, mementingkan hal remeh dan mengabaikan hal utama. Al-Quran pun mengingatkan, hidup di dunia hanyalah main-main dan senda gurau. Dunia dan isinya bisa hadir dengan cepat tetapi juga bisa lenyap dalam sekejap, dunia bukan akhir perjalanan manusia, melainkan akhirat yang kekal itu. Al-Quran juga menyampaikan bahwa kitab yang berisi peringatan dan petunjuk bagaimana manusia mencapai kemuliaan telah diturunkan.

Pola lain komunikasi al-Quran dengan pembacanya adalah pola narasi, pola bertutur dan kemudian mendorong untuk berfikir, la’allakum ta’qiluun. Al-Quran mengisahkan peristiwa-peristiwa luar biasa seperti menghidupkan orang mati agar manusia berfikir tentang kekuatan utama yakni Allah swt. Al-Quran menjelaskan etika di dalam keluarga, bagaimana berhadapan dengan orang tua maupun anak-anak maupun orang buta. Tugas kekhalifahan manusia di Bumi menjadi tidak bermakna dan absurd jika manusia tidak memperoleh penjelasan tentang apa tugas yang harus dilakukan dan apa yang harus dihindari.

Selain pesan moral dan etis, pesan yang khusus al-Quran yang perlu kita perhatikan dengan lebih serius adalah bahasa Arab yang digunakan al-Qur’an untuk berkomunikasi dengan kita (QS 12:2; 43:3). Kita diminta untuk berfikir dan memahami seluk beluk bahasa Arab sebagai bahasa al-Quran.

Merenungkan Alam.

Al-Quran menggunakan pola ungkapan ya’qiluun untuk bercerita pihak ketiga. Pola ini muncul dalam cerita positip 10 kali dengan rincian ya’qiluun dan quluubun ya’qiluun قلوب يعقلون masing-masing satu kali serta qaumun ya’qiluun قوم يعقلون 8 kali. Cerita negatip laa ya’qiluun لايعقلون muncul 12 kali dengan 5 istilah berbeda yaitu hum laa ya’qiluun, هم لا يعقلون 5 kali, alladzina laa ya’qiluun, الذين لا يعقلون 3 kali, qaumun laa ya’qiluun, قوم لا يعقلون 2 kali, kanuu laa ya’qilunn كانولايعقلون satu kali dan bertanya negatip afalaa ya’qiluun افلا يعقلون satu kali.

Al-Qur’an bercerita sejarah nenek moyang yang jahil agar manusia dapat belajar dari pengalaman mereka. Orang jahil ini berperilaku kurang etis, diumpamakan dengan hewan yang tidak mendengar pengajaran, suka membuat kedustaan. Mereka kadang mendengar bahkan dapat berbicara yang baik tetapi tidak mengerti yang diucapkannya. Orang-orang yang tidak mau berfikir ini meskipun berkelompok tetapi sejatinya hati mereka tercerai berai tidak bersatu. Mereka suka panjang angan, ingin hidup lebih lama di muka Bumi.

Sebaliknya, al-Qur’an memuji mereka yang mau memahami sesuatu yang di dengar dan dilihatnya, memperhatikan apa saja tatkala melakukan perjalanan di muka Bumi termasuk juga memperhatikan dirinya sendiri untuk memperoleh aneka pelajaran. Lebih spesifik, al-Qur’an memuji kaum yang merenungkan aneka fenomena alam secara rinci dan cerma seperti kejadian langit dan bumi, tergelitik pada kapal laut yang berlayar dan mengangkut banyak sekali barang berat, bagian-bagian yang berdampingan di Bumi dan pohon bercabang serta yang tidak bercabang. Pohon dan buah kurma serta anggur yang dapat dijadikan minuman. Demikian juga dengan fenomena pergantian siang dan malam, serta orientasi arah angin. Kilat dan hujan tidak luput dari perhatian kaum yang suka merenung, benda-benda langit seperti matahari yang menyinari Bumi di siang hari, bulan dan bintang yang muncul di malam hari.

Sekedar contoh, Ramadlan selalu disimbulkan dengan bulan sabit atau hilal. Al-Qur’an hanya menyebut dua penampakan bulan yaitu bulan sabit dan purnama. Bulan sabit sendiri disebut dengan dua istilah, ahillah (QS 2: 189) dan urjunul qadiim (QS 36: 39). Meskipun sama sebagai Bulan sabit yang tidak pernah tertelungkup tetapi ahillah berbeda dari urjunul qadim. Bulan sabit ahillah menandai awal bulan, muncul dan terlihat di ufuk langit barat ketika maghrib, sedangkan bulan sabit urjunul qadim menandai akhir bulan, muncul di ufuk timur menjelang subuh.

Pesan al-Qur’an tentang bahasa Arab dan alam dapat disarikan sebagai berikut. Urgensi bahasa Arab untuk dipahami menggunakan redaksi la’allakum ta’qiluun. Artinya, setiap mitra dialog al-Qur’an harus mengerti bahasa Arab. Jika disederhanakan, bahasa Arab wajib bagi setiap muslim. Pemahaman alam juga disampaikan dengan redaksi ta’qiluun tetapi hanya sebatas fenomena alam yang setiap orang pasti mengalami dan merasakan yaitu pergantiang siang dan malam. Artinya, setiap orang seharusnya berfikir mengapa ada atau terjadi siang dan malam.

Perenungan dan pemahaman terhadap alam secara detail disampaikan al-Qur’an menggunakan redaksi ya’qiluun, pihak ketiga, tepatnya qaumun ya’qiluun, sekelompok peneliti. Artinya, tugas memahami alam secara rinci dan spesifik tidak dibebankan kepada setiap orang tetapi hanya orang-orang tertentu. Dan, harus ada, jika tidak maka umat tidak akan mempunyai kemampuan untuk mengelola sumber daya alam yang pada gilirannya menyebabkan kelemahan ekonomi dan politik secara luas.

Liburkan Sekolah

Mengingat misi istimewanya seharusnya Ramadlan dijalani dan diperlakukan secara istimewa juga. Menjelang Ramadlan umumnya orang menyongsong kedatangan Ramadlan dengan aneka kegiatan tetapi sayangnya ketika hadir Ramadlan kemudian diperlakukan biasa-biasa saja. Karena Ramadlan tidak didukung dengan keadaan dan suasana yang tepat maka misi Ramadlan secara umum tampak gagal. Alih-alih menahan diri dari berbagai keinginan yang terjadi justru nafsu konsumeris meningkat signifikan di bulan Ramadhan. Para pelaku bisnis di seluruh dunia termasuk Indonesia berlomba merangsang umat Islam dan berhasil menjadikan Ramadlan sebagai the most important business period. Nafsu berbelanja Muslim meningkat tajam di bulan ini.

Walter Armburst (2004) dari universitas Oxford sempat melakukan penelitian dan mendapatkan bahwa Ramadlan merupakan bulan yang multiguna. Dalam kurun ini ditawarkan dan dijual aneka produk, sifat konsumsi dirangsang dan promosi sikap politik dilakukan dengan lebih gencar. Sandicki dan Omeraki (2006) menyebutkan bahwa gairah beragama selama Ramadlan telah dimanfaatkan para pemilik modal untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya sehingga terjadi komersialisasi Ramadlan. Kita saksikan promosi nginap dan sahur di hotel mewah serta kuiz jutaan rupiah di saat Ramadlan.

The Washington Post di Amerika pada salah satu edisinya pada Nopember 2004 melaporkan pengalaman orang-orang asing yang telah tinggal di Saudi dalam rentang waktu cukup lama. Mereka enggan keluar sore selama Ramadlan karena kecelakaan meningkat dibanding bulan-bulan lainnya. Orang Saudi cenderung terburu-buru pulang untuk berbuka puasa. Keadaan yang juga tidak jauh berbeda dari keadaan negeri kita atau negeri berpenduduk muslim lainnya.

Paradoks tersebut dapat diatasi dengan cara menjalani dan memperlakukan Ramadlan dengan istimewa. Perlakuan tersebut di antaranya peliburan kegiatan formal dan rutin sekolah serta pengurangan jam kerja selama Ramadlan. Kebijakan libur sekolah selama Ramadlan pernah diberlakukan di Indonesia sampai akhirnya dihapus oleh menteri P dan K (1977-1982) Daoed Joesoef. Tidak jelas alasan dihapuskannya kebijakan ini. Pada masa pemerintahan presiden Abdurahman Wahid dengan mendiknas Yahya Muhaimin, kebijakan libur Ramadlan kembali diterapkan.

Negara maju yang mempunyai empat musim seperti Jepang menerapkan libur panjang sekolah selama musim panas. Alasannya, selama musim panas produktivitas rendah karena orang lebih cepat lelah. Siang hari di musim panas suhu dapat mencapai 40 derajat Celcius. Indonesia hanya mempunyai dua musim tanpa musim panas yang ekstrim tetapi juga mempunyai kurun waktu yang kurang produktif yaitu Ramadlan.

Selama Ramadlan muslim menjalani penggemblengan fisik tidak makan dan minum di siang hari, shalat tarawih serta membaca al-Quran di malam hari, dan makan sahur lalu nenunggu shalat shubuh dengan mengaji. Muslim diharapkan melakukan peningkatan kualitas ilmu dan iman dengan kajian dan perenungan secara intensif. Bila hal-hal tersebut dijalani dengan sungguh-sungguh niscaya di siang harinya orang akan mengantuk dan cepat lelah.

Selama Ramadlan proses belajar-mengajar di semua jenjang pendidikan berlangsung setengah hati. Suasana pengajaran setengah hati bisa dihindari jika sekolah diliburkan selama Ramadlan. Libur Ramadlan tidak berarti menambah jumlah hari atau jam libur melainkan menggeser jadwal libur. Jelas, ini bukan masalah rumit. Libur sekolah selama Ramadlan juga tidak berarti tidak ada kegiatan di sekolah lalu guru maupun dosen tidak datang ke kantor. Libur Ramadlan hanya berarti tidak ada proses belajar mengajar formal, baku dan ketat seperti hari-hari biasa. Selama Ramadlan dapat diisi dengan kegiatan pendalaman pemahaman keagamaan khususnya al-Quran dan bahasa Arab.

Seperti libur musim panas di Jepang dosen tetap datang ke kampus tetapi bukan untuk mengajar melainkan mempersiapkan bahan seminar yang merupakan hasil riset mereka. Sedangkan di sekolah dasar dan menengah ada kegiatan seperti renang di kolam renang sekolah. Artinya, meskipun secara formal libur tetapi kegiatan informal yang tidak mengikat tetap dapat dilangsungkan.

Pendidikan kita makin carut marut khususnya dalam membangun sikap dan karakter peserta didik. Contek massal dan sistemik seperti di SD Gadel 2 Surabaya seolah menjadi keniscayaan sejarah dunia pendidikan kita. Ramadlan mestinya dijadikan momen berbenah dengan berfikir rasional obyektif dan bertindak jujur terhadap kebijakan pendidikan itu sendiri termasuk kebijakan tidak libur selama Ramadlan.

Kultur Muslim dalam Ramadlan adalah tidur sedikit dan bangun lama di malam hari untuk aneka ibadah pembersihan diri dan pendekatan menuju Ilahi. Proses ini harus dilakukan sejak dini, sejak usia sekolah. Akibatnya, di siang hari harus dilonggarkan dari aneka beban formal sekolah. Ketika tubuh lelah dan tenaga berkurang maka konsentrasi dan aktivitas berfikir akan menurun. Peserta didik akan turun daya serapnya sedangkan pendidik akan kurang ekspresif dan optimal dalam menyampaikan bahan ajar terlebih yang spesifik. Tanpa itu, Ramadlan akan berlalu dengan biasa-biasa saja dan dunia pendidikan kita hanya akan lari-lari di tempat.

*) dimuat di majalah Jendela Santri, vol. 3 no. 9, Agustus 2011.

Senin, 29 Agustus 2011

DISALAHKAN : "TAKDIR SEJARAH MUHAMMADIYAH"


Sejak kemarin saya diminta seorang sahabat untuk membaca tulisan Prof Thomas Jamaluddin tentang pandangan beliau atas hisab Muhammadiyah
karena saya di kampung agak jauh dari akses internet maka saya nunggu balik Surabaya
tetapi di KA saya pun juga digempur atas hisab Muhammadiyah
saya coba beri pandangan tentang hisab dan kriteria yang digunakan Muhammadiyah
(tentu ini versi saya pribadi)
1. hisab Muhammadiyah, NU, dan Persis sekarang telah relatif sama yakni sistem ephemeris makanya hasilnya juga sama
Hilal dengan markaz tanjung kodok Lamongan Jatim akan memberi angka sama meski dihitung oleh orang Banda Aceh
2. Perbedaan ada di kriteria, imkanur rukyat dan wujudul hilal
imkanurrukyat adalah jalan tengah hisab dan rukyat dalam arti visibilitas atau batas minimum hilal dapat dilihat
wujudul hilal dalam teori ilmiah sebenarnya merupakan keadaan khusus dari imkanurrukyat yakni NOL derajat
nah, wujudul hilal bukan lagi hilal dapat dilihat tetapi hilal telah eksis meski tidak dapat dilihat
kriteria imkanurrukyat sendiri cukup variatif dan dinamis
dalam arti banyak angka (untuk tingkat internasional) dan terus berubah
karena belum pastinya angka visibilitas ini (yang sekarang 2 derajat) maka Muhammadiyah berfikir ulang tentang angka ini termasuk esensi hisab
dengan hisab orang dapat melakukan lompatan
1. tidak terpaku dengan kriteria rukyat, karena visibilitas adalah keniscayaan rukyat
2. eksistensi hilal dapat diidentifikasi/diketahui meski tidak dapat dilihat
3. kalender dapat dibuat (dengan rukyat kalender hijriyah tidak dapat dilihat)
4. dengan berbagai kriterianya maka kapan awal bulan dapat ditentukan jauh sebelumnya jadi tidak fair dan tidak adil juga kalau di sidang itsbat (2( Agutsus 2011) ada yang meminta agar awal bulan tidak segera diumumkan
jadi jika disebutkan kriteria hisab Muhammadiyah usang, agak berlebihan dan emosional
kalau wujudul hilal tidak dapat dilihat (yang kurang dari 2) memang ya/benar, tetapi sekali lagi Muhammadiyah tidak merasa perlu (sepengetahuan saya sebagai salah seorang tim hisab Muhammadiyah) untuk dapat melihat hilal tetapi memastikan hilal telah wujud/eksis.
di sinilah pokok perbedaannya.
Masalah aktual idhul fitri 1432 Muhammadiyah jatuh 30 Agustus 2011 dan disalahkan sekelompok orang, memang seolah seperti takdir sejarah Muhammadiyah lahir untuk disalahkan.
Perhatikan saja
dulu, di awal abad 20 ketika Muhammadiyah mengadopsi sistem pendidikan umum Muhammadiyah divonis kafir karena meniru caraa Belanda
dulu juga, Muhammadiyah dituduh mendirikan agama baru ketika kyai Ahmad Dahlan meluruskan arah kiblat.
sekarang, Muhammadiyah diklaim karepe dewe karena tidak sama dengan mainstream
Umat harus dididik, segala sesuatu harus dijelaskan apa adanya secara jujur
sidang itsbat sendiri ada masalah
dengan hisab kita tahu bahwa hilal 29 Agustus 2011 antara 1 dan 2 derajat
dengan kriteria imkanur rukyat 2 derajat maka jika ada pengakuan berhasil merukyat maka akan ditolak seperti tadi (Cakung, Jepara)
nah, jika telah jelas ditolak maka mestinya kita tidak perlu melakukan rukyat karena sia2
untuk apa sekian ratus atau bahkan sekian ribu orang berbondongg merukyat tetapi kemudian hasilnya ditolak jika mengaku berhasil merukyat
mereka khan juga mengeluarkan biaya
ini juga perlu dijekaskan kepada umat
karena sudah tahu, kesaksian ditolak, yang berarti 1 syawwal 1432 adalah 31 Agustus 2011
maka mestinya juga tidak perlu sidang itsbat
informasikan jauh sebelumnya
ada berapa puluh orang bersidang, tentu ini memerlukan biaya
kemubaziran juga harus dihindari di dalam Islam
sidang itsbat juga bukan sidang politik
semua harus dijelaskan secara jernih, jujur dan apa adanya
Fastabiqul khairat
Salam
Agus Purwanto
LaFTiFA ITS

Minggu, 27 Februari 2011

Integrasi Islam dan Sains*)


Agus Purwanto, DSc.
Pendahuluan
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) adalah anak kandung dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) yang keberadaannya selalu di ibukota propinsi. Sebelum STAIN lahir hampir semua, tepatnya 14 IAIN yang ada pada saat itu memiliki cabang dan kelas-kelas jauh yang didirikan di kota-kota kecil. Tujuan diadakannya cabang atau kelas jauh ini adalah memberi layanan pendidikan tinggi yang lebih luas terhadap masyarakat muslim yang jauh dari kota propinsi.
Kehadiran sejumlah IAIN cabang di kota-kota kecil ini dapat menampung lebih banyak mahasiswa dari daerah, tetapi di sisi lain menimbulkan kendala, terutama yang berkaitan dengan aspek-aspek manajerial pada tingkat IAIN induk. Menyadari hal ini maka muncullah wacana untuk melakukan rasionalisasi organisasi. Puncak dari upaya rasionalisasi organisasi ini, ialah dilepasnya sekitar 40 fakultas cabang IAIN menjadi 36 STAIN yang berdiri sendiri pada 1997, di luar 14 IAIN yang ada berdasarkan Keputusan Presiden no 11 Tahun 1997. Dalam SK tersebut disebutkan bahwa pembinaan STAIN secara teknis akademis dilakukan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan pembinaan secara fungsional dilakukan oleh Menteri Agama.
Berdirinya 36 STAIN menandai babak baru perguruan tinggi Islam. Studi Islam di daerah-daerah semakin berkembang berkembang dan lebih mandiri. Dampak lain dari pendirian STAIN ialah bahwa kurikulum IAIN sejak 1997 ternyata telah diatur dan diperlakukan seperti STAIN, khususnya dalam pengelompokan mata kuliah.
Pada tahun 2000 perkembangan terus berlangsung secara signifikan. IAIN Syarif Hidayatullah mendapat rekomendasi pemerintah dengan ditandatanganinya Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 4/U/KB/2001 dan Menteri Agama RI Nomor 500/2001 tanggal 21 Nopember 2001 untuk menjadi universitas. Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional melalui suratnya Nomor 088796/MPN/2001 tanggal 22 Nopember 2001 memberikan rekomendasi dibukanya 12 program studi yang meliputi program studi ilmu sosial dan eksakta. Setelah melalui tahapan demi tahapan, akhirnya keluar Keputusan Presiden Nomor 031 tanggal 20 Mei Tahun 2002 tentang Perubahan IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta menjadi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Perubahan serupa juga terjadi di Yogjakarta. IAIN Sunan Kalijaga bertransformasi menjadi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan Nasional dan Menteri Agama Nomor 01/0/SKB/2004 dan Nomor ND/B.V/I/Hk.001/058/04 Tanggal 23 Januari 2004, yang diperkuat lagi dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2004 Tanggal 21 Juni 2004.
Perubahan tidak berhenti di dua IAIN tertua dan terbesar ini. STAIN Malang yang mulanya merupakan IAIN Sunan Ampel cabang Malang setelah sempat menjadi STAIN akhirnya juga bertransformasi menjadi Universitas Islam Negeri Malik Maulana Ibrahim. Sementara induknya, IAIN Sunan Ampel Surabaya masih tetap sebagai IAIN dan tidak mengalami perubahan berarti. IAIN Alauddin Makassar yang dulunya merupakan fakultas cabang IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta kini menjadi Uiversitas Islam Negeri Alauddin.
Perubahan paling terasa dari IAIN menjadi STAIN dan UIN adalah dibukanya fakultas dan jurusan bidang eksakta di lembaga ini. Fakultas Sains dan Teknologi terdapat di keempat UIN tersebut di atas, sedangkan fakultas kedokteran terdapat di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pertanyaan yang mengemuka di kalangan internal institusi maupun di kalangan eksternal masyarakat luas khususnya calon pengguna jasa lembaga ini adalah apa perbedaan utama fakultas dan jurusan baru ini dari fakultas dan jurusan yang sama di institusi non STAIN-UIN.
Pertanyaan inilah yang harus dijawab oleh pihak internal STAIN-UIN. Kelahiran STAIN-UIN tentu bukan sekedar menambah fakultas dan jurusan eksakta yang telah ada di PTN-PTS non STAIN-UIN atau agar lulusannya juga diterima di kompetisi pasar bebas. Tujuannya harus lebih jauh dari sekedar tujuan pragmatis-ekonomis melainkan juga harus menyentuh pada tujuan filosofis-ideologis. Jawaban ini harus terumuskan dalam kurikulum yang merupakan jantung dari lembaga pendidikan.
Pengajaran Holistik
Sains dan teknologi yang berkembang pesat saat ini lebih dikenal sebagai produk dari peradaban Barat yang sekuler. Karena itu, sains dan teknologi saat ini tidak bisa dilepaskan dari tata nilai Barat yang khas yakni tata nilai materialis-ateistik. Kita tahu bahwa Barat bangkit setelah dijembatani oleh Islam tetapi tumbuh dan berkembangnya Barat mempunyai spirit yang berbeda secara mendasar dari spirit Islam. Barat mempunyai spirit memberontak terhadap gereja dan doktrin-doktrin agama serta wahyu.
Kelahiran fakultas sains dan teknologi di STAIN-UIN harus menjawab secara khusus tantangan tersebut agar berbeda dari fakultas yang sama di PT non STAIN-UIN. Islam adalah kata yang lengket pada STAIN-UIN, tanpa Islam STAIN-UIN pasti bubar. Karena di dalam kebijakannya, STAIN-UIN memasukkan bidang sains dan teknologi yang selama ini berada di luar sebagai bidang garapnya maka STAIN-UIN harus mendiskripsikan terlebih dahulu hubungan antara sains dan Islam.
Interaksi antara sains dan Islam memberikan tiga pola hubungan antara keduanya yaitu islamisasi sains, saintifikasi Islam dan sains Islam. Sains telah tumbuh dan berkembang sedemikian rupa, ibarat manusia ia telah lahir dan tumbuh menjadi besar dan dewasa. Sains modern lahir dari rahim peradaban Barat yang menyangkal eksistensi dan peran Tuhan di dalam tatanan penyelanggaraan jagat raya. Sebagai anak kandung dari ibu peradaban yang anti Tuhan maka sains juga ditengarai bersifat anti Tuhan. Ketika sang anak ini bertemu dan berinteraksi dengan Islam maka kewajiban Islam untuk mengajaknya kembali memahami dan berkhidmat kepada Tuhan. Inilah ilustrasi bagi islamisasi sains.
Pada saat yang sama, ketika sains bertemu dan berinteraksi dengan Islam ternyata keduanya berpenampilan sangat kontras. Sains sangat trendi dan memenuhi cita rasa kemoderenan karena ia memang produk dan anak kandung peradaban modern. Sebaliknya, Islam tampil dengan wajah kumuh dan seolah anti kemajuan. Upaya menanmpilkan Islam yang selaras dengan cita rasa dan pola pikir modern merupakan gambaran dari saintifikasi Islam.
Selain kedua upaya yang tampak artifisial tersebut juga terdapat upaya serius yakni membangun sains Islam, sains dengan paradigma baru, sains non-positivistik, atau sains holistik yang sejak awal dibangun di atas pondasi wahyu. Seperti telah disinggung di depan Barat dengan sains-nya tumbuh dan berkembang dengan spirit memberontak doktrin-doktrin agama dan menolak wahyu sebagai pondasi bangunannya.
Rekonstruksi atas ketiga pola dan upaya memadukan sains dan Islam memerlukan pengetahuan minimum atas pokok-pokok ajaran Islam, bahasa Arab dengan nahwu-sharafnya, filsafat ilmu. Pokok-pokok ajaran Islam terkandung dalam doktrin tauhid laa ilaaha illallah yang terjabarkan dalam arkanul islam dan arkanul iman. Seluruh bangunan ilmu pengetahuan tidak boleh menyimpang dari prinsip ini. Filsafat ilmu diperlukan untuk memahami seluk beluk dan detil bukan sekedar sisi praktis dan pragmatisnya melainkan juga pondasi filosofis ilmu pengetahuan. Pokok-pokok ajaran Islam dan filsafat ilmu dibutuhkan untuk memahami upaya ketiga relasional sains dan Islam.
Ketiga upaya di depan khsususnya upaya terakhir, membangun sains Islam selain memerlukan dua pengetahuan minimum di depan juga memerlukan pengetahuan yang memadai tentang al-Quran dan bahasa Arabnya khsususnya nahwu-sharaf. Aspek ontologi dan aksiologi telah inheren di dalam diri muslim, karena itu secara efektif bangunan sains Islam berbeda pada tataran epistelogi dari sains yang berkembang saat ini. Aspek epistemologi bangunan sains Islam juga menerima wahyu sebagai sumber informasi. Karena wahyu terkandung di dalam kitab suci al-Quran yang berbahasa Arab maka pemahaman bahasa Arab dengan nahwu-sharafnya tidak dapat dihindari.
Selain harus mengandung subyek filosofis muatan bahan ajar STAIN-UIN juga harus mengandung subyek praktis-pragmatis yang sesuai dengan peribadatan dan hidup keseharian muslim. Subyek tersebut adalah ilmu falak yang di dalamnya terdiri dari pengetahuan dan penentuan arah kiblat, awal waktu shalat dan awal bulan qamariyah. Ilmu falak juga dapat dikembangkan sebagai laboratorium alternatif yang unik karena berbeda dari laboratrium konvensional, laboratorium falak dapat memadukan intelektualitas dan spiritualitas.
Al-Quran: Bumi Bundar
Sebagai ilustrasi pentingnya bahasa Arab dalam memahami teks tentang fenomena alam. Di dalam al-Quran terdapat delapan ayat dengan kata masyriq مشرق, tujuh di antaranya berpasangan dengan maghrib مغرب, dan hanya satu ayat yang tanpa pasangan maghrib. Kata masyriq muncul dalam bentuk isim tunggal, dua dan jamak. Dalam redaksional berpasangan, kata masyriq selalu muncul lebih dulu dari maghrib.
رَبُّ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ فَاتَّخِذْهُ وَكِيلًا
Tuhan timur dan barat, tiada Tuhan melainkan Dia, maka ambillah Dia sebagai Pelindung. (QS al-Muzammil 73:9)
قَالَ رَبُّ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَمَا بَيْنَهُمَا إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ
Musa berkata: "Tuhan yang menguasai timur dan barat dan apa yang ada di antara keduanya, jika kamu berfikir". (QS asy-Syu’araa 26:28)
فَلَا أُقْسِمُ بِرَبِّ الْمَشَارِقِ وَالْمَغَارِبِ إِنَّا لَقَادِرُونَ
Maka Aku bersumpah dengan Tuhan timur dan barat, Sesungguhnya Kami benar-benar Mahakuasa. (QS al-Ma’arij 70:40)
Di ketiga ayat di depan, al-masyriq dan al-maghrib berposisi sebagai mudhaf ilaih dan dihubungkan dengan dengan huruf athaf حرف عطف yaitu wawu وَ. Mudhaf-nya adalah rabbun-arbaabun رَبٌّ ج أرْبَابٌ yang merupakan isim mashdar yaitu rabba-yarubbu-rabban رَبَّ- يَرُبُّ- رَبًّا mengasuh, memimpin. Rabbun berarti Tuhan, tuan, yang mengasuh, yang memelihara atau yang memiliki.
Al-masyriq dan al-maghrib adalah isim waktu dan tempat إسم الزمان والمكان. Pertama, masyriqun-masyaariqun مشرق ج مشارق dari syaraqa-yasyruqu-syarqan-syuruuqan شرق- يشرق- شرقا- شروقا terbit; masyriqun berarti tempat atau waktu terbit. Kedua maghribun-maghaaribun مغرب ج مغارب dari gharaba-yaghribu-ghuruuban غرب- يغرب-غروبا terbenam, tenggelam, lenyap; maghribun berarti tempat dan waktu terbenam )matahari(. Sebagai isim waktu, masyriqun berarti waktu fajar (sunrise), sedangkan maghribun berarti saat maghrib. Sebagai isim tempat, masyriqun berarti timur, sedangkan maghribun berarti barat atau negeri Afrika.
Dengan demikian, رب المشرق والمغرب dapat diartikan sebagai Tuhan penjaga fajar dan maghrib, Tuhan pemelihara tempat terbit dan tempat terbenam Matahari, atau Tuhan timur dan barat. Pemahaman pemilik atau yang memiliki waktu atau tempat terbit dan terbenam muncul secara eksplisit dua kali
وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Dan kepunyaan Allah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Mahaluas lagi Maha Mengetahui. (QS al-Baqarah 2:115)
سَيَقُولُ السُّفَهَاءُ مِنَ النَّاسِ مَا وَلَّاهُمْ عَنْ قِبْلَتِهِمُ الَّتِي كَانُوا عَلَيْهَا قُلْ لِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
Orang-orang yang kurang akalnya di antara manusia akan berkata: "Apakah yang memalingkan mereka dari kiblatnya yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?" Katakanlah: "Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus". (QS al-Baqarah 2:142)
Hal yang perlu mendapat perhatian adalah kenyataan bahwa al-masyriq selalu dipasangkan dengan al-maghrib dengan redaksi al-masyriq disebut terlebih dahulu dibanding al-maghrib. Kenyataan ini meneguhkan alur waktu kehidupan dan aktivitas manusia secara umum yang dimulai ketika bangun tidur di kisaran Matahari terbit sampai saat manusia bersiap istirahat di waktu maghrib, bukan sebaliknya.
Pemahaman demikian merupakan pemahaman alamiah, dalam arti sesuatu dimulai saat kelahiran atau kemuculan dan diakhiri saat kepergian. Kemunculan Matahari menandai awal waktu yang disebut siang hari dan diakhiri saat terbenamnya. Siang dan malam membetuk siklus tetapi dalam kasus ini alur waktu siang memperoleh perhatian khusus. Pemahaman ini diisyaratkan oleh surat asy-Syu’araa 28, ada sesuatu di antara masyriq dan maghrib bagi orang yang berfikir. Apa itu?
Masyriq dan maghrib, timur dan barat telah menjadi hal yang lumrah bagi kebanyakan orang. Tidak ada yang istimewa. Tetapi al-Quran menyentak kesadaran kita melalui surat ar-Rahman 55 dengan tidak menggunakan redaksi al-masyriq wa al-maghrib. Al-masyriq dan al-maghrib terpisah tetapi masih sebagai mudhaf ilaih dan tidak berbentuk isim tunggal melainkan isim dua.
رَبُّ الْمَشْرِقَيْنِ وَرَبُّ الْمَغْرِبَيْنِ
Al-masyriqaini المشرقين dua tempat terbit atau dua timur; dan al-maghribaini, المغربين dua tempat terbenam atau dua barat. Dengan demikian, surat ar-Rahman 55 juga dapat diartikan “Tuhan dua timur dan Tuhan dua barat”
Apa itu dua tempat terbit, dua timur dan dua tempat terbenam, dua barat? Di ayat yang lain, al-masyriq tidak muncul berpasangan dengan al-maghrib dan muncul dalam bentuk jamak (taksir) al-masyaariq.
رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا وَرَبُّ الْمَشَارِقِ
Tuhan langit dan bumi dan apa yang berada di antara keduanya dan Tuhan tempat-tempat terbit Matahari. (QS ash-Shaaffat 37:5)
Menariknya, selain muncul dalam bentuk jamak dan tidak berpasangan, ayat ini didahului oleh langit, Bumi dan sesuatu di antara keduanya. Artinya, ada kaitan antara tempat dan waktu terbit matahari dengan Bumi dan langit dengan isinya.
Dalam redaksi isim tunggal, al-masyriq wa al-maghrib dapat dipahami sebagai hubungan satu-satu antara tempat terbit dan tempat terbenam Matahari, tidak peduli posisi terbit dan terbenam di mana, akan memberi arah timur-barat tunggal dan tertentu.


Gambar 1 Arah Timur-Barat Tunggal
Tetapi keadaan menjadi lain bila digunakan redaksi isim dua atau jamak berpasangan, arah timur barat menjadi tidak menentu. Ada banyak pilihan arah timur-barat seperti gambar berikut.


Gambar 2 Empat Arah Timur-Barat Yang Mungkin
Saudi Arabia mengalami musim panas dan musim dingin. Pemahaman langsung dari masyarakat Arab atas al-masyriqaini dan al-maghribaini adalah dua tempat terbit Matahari dan dua tempat terbenamnya ialah tempat dan terbenam Matahari di waktu musim panas dan musim dingin.


Negeri yang tidak mempunyai musim panas dan musim dingin seperti Indonesia tetap dapat memaknai dua tempat terbit dan dua tempat terbenam dengan memperhatikan bayangan benda. Bayangan tubuh kita ternyata suatu waktu ada di sebelah selatan, di waktu yang lain ada di sebelah utara diri kita. Artinya, tempat terbit dan lintasan matahari ada dua yaitu di utara dan di selatan dari kebanyakan kita, demikian pula tempat terbenamnya. Bayangan benda memberi petunjuk pada posisi Matahari.
رَبِّكَ كَيْفَ مَدَّ الظِّلَّ وَلَوْ شَاءَ لَجَعَلَهُ سَاكِنًا ثُمَّ جَعَلْنَا الشَّمْسَ عَلَيْهِ دَلِيلًا
ثُمَّ قَبَضْنَاهُ إِلَيْنَا قَبْضًا يَسِيرًا
Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu memanjangkan bayang-bayang dan kalau Dia menghendaki niscaya Dia jadikan bayang-bayang itu tetap, kemudian Kami jadikan matahari sebagai petunjuk atas bayang-bayang itu. )( Kemudian Kami menarik bayang-bayang itu kepada Kami dengan tarikan sedikit demi sedikit. (QS al-Furqan 25:45-46)
Dhillun ظلاّ naungan, bayangan; madda mengembangkan, memanjangkan; daliilun دليل dengan jamak taksir dalaail-adillah دلائل- أد لة dalil, alasan, petunjuk. Qabadla-yaqbidlu-qabdlan قبض- يقبض- قبضا menggenggam, mengambil; yasiirun يسير yang mudah, yang sedikit.
Madda adh-dhilla berarti memanjangkan bayangan, dan atas fenomena ini Matahari menjadi petunjuk bagi keberadaan bayangan tersebut. Cahaya Matahari sebagai penyebab bayangan dan posisi Matahari menentukan posisi bayangan suatu obyek. Sejak di pertengahan hari bayangan benda memanjang ke sebelah timur sampai akhirnya Matahari terbenam dan bayangan menghilang.
Dua timur dan dua barat juga dapat menuntun pada pemahaman bentuk Bumi bundar. Orang di A melihat B berada di sebelah baratnya, dan T di sebelah timurnya. Jika orang di A pergi ke arah barat maka suatu ketika sampai di B, dan jika terus bergerak ke barat maka suatu ketika sampai di T. Sebaliknya, orang di A yang bergerak ke arah timur suatu ketika sampai di T dan berikutnya di B. Jadi B adalah barat tetapi suatu ketika sebagai timur, sebaliknya T adalah timur tetapi bisa sebagai barat. Artinya, B adalah barat yang sekaligus timur sedangkan T adalah timur yang sekaligus barat. Terdapa dua timur dan dua barat di Bumi yang bundar.


Gambar 4 Timur-Barat di Bumi
Al-masyaariq dapat dipahami sebagai banyak tempat terbit, tepatnya mempunyai banyak tempat di antara dua tempat terbit di musim panas dan musim dingin. Matahari terbit dari arah timur tetapi tidak di satu tempat, selalu bergeser dari utara ke selatan kemudian dari selatan ke utara. Demikian yang kita lihat selama ini.


Gambar 5 Banyak Tempat Matahari Terbit
Pemahaman al-masyaariq sebagai banyak tempat tidak memberi kekhususan atas bentuk Bumi, dapat berlaku bagi bentuk bundar maupun datar. Tetapi pemahaman al-masyariq sebagai banyak waktu terbit tidak dapat dipahami jika Bumi berbentuk datar. Sebabnya, jarak Bumi-Matahari sangat jauh lebih besar dibanding jarak antar tempat di muka Bumi. Kenyataan ini dapat dirasakan jika seseorang mengendarai mobil ke arah timur atau barat di malam hari ketika ada Bulan purnama misalnya. Bulan terasa ikut bergerak searah dengan gerak mobil dan menyebabkan posisi relatif Bulan terhadap orang tersebut tidak berubah. Sudut posisi Bulan relatif terhadap mobil tidak berubah.
Jarak Matahari-Bumi serupa dengan jarak Bulan-Bumi, besar bahkan jauh lebih besar. Akibatnya, Matahari akan tampat dengan sudut sama dari berbagai tempat pada waktu yang sama. Jika satu daerah melihat matahari terbit maka daerah lain pun juga akan melihat hal yang sama. Orang di Jakarta akan mengalami matahari terbit pada waktu yang bersamaan dengan orang di Kairo. Artinya, hanya ada satu waktu matahari terbit, al-masyriq bukan al-masyaariq.


Gambar 6 Sinar Matahari pada Bumi Datar
Tetapi al-Quran menyebutkan al-masyaariq, banyak waktu terbit. Kenyataannya memang demikian, orang Jakarta mengalami Matahari terbit pada waktu yang berbeda dari orang di Kairo. Ketika orang Jakarta mengalami Matahari terbit, Kairo masih tengah malam. Sedangkan ketika Kairo mengalami Matahari terbit, Jakarta hampir tengah hari yang terang benderang. Artinya, al-masyaariq menuntun pada bentuk Bumi bundar seperti bola. Wallahua’lam
*) disampaikan pada Workshop Kurikulum Integratif Jurusan Fisika STAIN Batusangkar, Sumatra Barat, Rabu 19 Januari 2011.