Minggu, 25 Mei 2008

Dua Tipe Poligami

SURYA, 15 Desember 2004
Oleh: Agus Purwanto*)

Muktamar NU di Boyolali dan Tanwir Muhammadiyah di Mataram lalu dengan nuansa
yang berbeda sempat diwarnai isu poligami. Kelompok pembela perempuan NU yang
dimotori Shinta Nuriyah istri KH. Abdurrahman Wahid menolak bantuan katering wong
Solo bagi konsumsi muktamar. Alasannya, sang pemilik terlibat dalam tindak kekerasan
terhadap perempuan melalui poligami. Syafii Maarif ketua Pimpinan Pusat (PP)
Muhammadiyah menolak desakan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Gorontalo agar
Muhammadiyah bersikap terbuka terhadap poligami.

Gugatan Klasik

Bila diibaratkan olahraga menembak atau memanah maka jender dalam islam adalah
papan tembak dengan lingkaran-lingkaran poligami, kepemimpinan, warisan dan khatib
perempuan. Para atlet jago tembak dan ahli memanah berasal dari kalangan non-islam
maupun orang islam sendiri. Olahraga ini belakangan mengalami kemajuan pesat dan
membuat gemas para penggemar sekaligus berdebar-debar dan cemas.

Poligami merupakan fenomena kemanusiaan yang mendapat justifikasi formal dalam
Islam. Al-Qur’an dan pribadi Muhammad saw sebagai rujukan sentral islam telah
meneguhkan ajaran ini. Tetapi, mengapa poligami digugat? Apakah ditemukan korelasi
yang kuat antara poligami dan keterbelakangan umat islam? Atau sekedar akibat
inferiority complex yang diidap umat islam terhadap Barat sehingga semua yang berasal
dari Barat dipandang baik, diambil dan yang tidak sesuai dengan Barat harus dibuang?
Tiga dasawarsa lalu ketika umat islam Indonesia belum maju seperti saat ini wacana
gugatan terhadap poligami juga telah berkembang. Saat itu penggugat poligami berasal
dari kalangan orientalis Barat dengan tudingan utama Muhammad sebagai tokoh sentral
islam mengidap maniak seks.

Para ulama mejawab tudingan ini dengan mengurai sejarah perkawinan Rasulullah saw.
Sejarah memperlihatkan bahwa perkawinan Rasulullah dengan istri-istrinya setelah
Aisyah bersifat kemanusiaan bahkan dari sisi pribadi Muhammad bersifat “terpaksa”.
Bersifat kemanusiaan karena para istri tersebut adalah janda-janda pejuang islam yang
ditinggal syahid suaminya dan kemudian memerlukan status dan perlindungan sosial.
Para janda yang umumnya tidak muda tersebut memilih nabi yang jelas keutamaannya.
Tetapi mereka pun tahu bahwa sebenarnya Muhammad tidak terlalu berminat menikahi
mereka karena itu sebagian rela menyerahkan hak biologisnya kepada Aisyah.

Wacana penolakan poligami saat ini justru disuarakan oleh kalangan islam sendiri yang
serangannya tidak kalah hebat ketimbang serangan Barat. Tudingannya, poligami dapat
bertahan sekian abad di dalam islam disebabkan adanya bias jender yakni dominasi
laki-laki atas berbagai pemahaman dan penafsiran terhadap islam. Akibatnya, wajah
islam adalah wajah maskulin.

Selain itu, saat ini situasi telah berubah dibanding situasi pada saat turunnya teks suci
islam empat abad silam. Kini banyak wanita mempunyai status dan kemampuan yang
melebihi laki-laki. Karena itu ajaran-ajaran yang diskriminatif dan merendahkan derajat
wanita termasuk poligami perlu dimaknai secara kontekstual atau bahkan dihapus sama
sekali.

Poligami versus haji

Sebenarnya argumen penolakan terhadap poligami tidak terlalu kuat dan terlalu
dibuat-buat. Pertanyaan sederhana yang harus dijawab oleh para aktivis anti poligami,
bila bukan poligami lalu apa? Apakah Barat sebagai kiblat baru mereka memang
menawarkan model keluarga dan hubungan sosial khususnya hubungan laki-perempuan
yang ideal? Salah satu edisi Hiragana Times tahun 2000 menyebutkan bahwa
mahasiswa asal Eropa terkejut atas fenomena seks bebas Jepang yang mereka katakan
lebih Eropa ketimbang Eropa. Mereka pun menyebut Jepang sebagai sex paradise. Di
Jepang alat-alat masturbasi diiklankan dengan gencar. Apakah model kehidupan seperti
ini yang akan mereka tawarkan setelah menolak poligami?

Memang harus diakui praktek poligami selama ini lebih banyak memunculkan duka dan
kesedihan ketimbang keceriaan. Sebabnya teks kitab suci yang mengijinkan poligami
dimaknai secara sederhana yakni perkawinan satu laki-laki dengan dua, tiga atau empat
wanita. Meskipun demikian, kenyataan ini tidak cukup untuk dijadikan argumen
penolakannya apalagi bila kemudian menawarkan kesedihan baru atau tidak
menawarkan solusi alternatif.

Teks bagi poligami mengisyaratkan bahwa poligami merupakan tindakan bersyarat
bukan tindakan umum. Demikian pula bila mempertimbangkan penjabaran poligami
yang diperlihatkan melalui (bukan oleh) rasul suci Muhammad saw. (Penggalan)
Kalimat ini perlu ditegaskan, diperlihatkan melalui mengandung makna perintah Tuhan
kepada Muhammad untuk melakukan poligami yang sebenarnya berat baginya.
Sedangkan diperlihatkan oleh mengandung makna keputusan dan inisiatif Muhammad
untuk berpoligami atas dasar kerelaan dan suka cita.

Dengan demikian poligami sesungguhnya mengandung misi ilahiah yakni dalam rangka
mendukung gerakan da’wah dan mengurangi beban psikologi-sosial. Menggunakan
analogi sederhana poligami merupakan perintah bersyarat seperti halnya haji. Artinya
tidak semua muslim dewasa dapat menjalankan poligami. Ada syarat yang harus
dipenuhi, pertama pihak laki-laki mampu secara material sehingga mampu meringankan
keluarga secara keseluruhan baik istri sebelumnya maupun istri baru. Keluarga wong
Solo dengan beberapa istrinya yang kemudian menjadi pengelola bisnis ayam bakar
suaminya adalah contoh poligami yang memenuhi persyaratan ini.

Bila tidak, pihak calon istri yang mau berpoligami harus mampu secara material
sehingga mampu mengurangi beban calon suami sekaligus keluarga terdahulunya. Di
masyarakat tidak sedikit wanita muda yang berkedudukan dan mapan baik papan,
sandang, pangan maupun kendaraan terpaksa menjadi janda karena ditinggal mati
suaminya. Wanita seperti ini seringkali tidak ingin terus hidup tanpa suami tetapi juga
tidak ingin hidup dengan suami yang dalam banyak hal berada di bawah suaminya
terdahulu. Juga ada wanita introvert karena asyik dengan studi dan berlanjut di karier
sehingga akhirnya mencapai posisi amat mapan secara sosial ekonomi tetapi kemudian
menjadi gadis senja karena laki-laki takut mendekatinya.

Poligami tipe kedua ini mirip perkawinan-perkawinan yang dialami nabi suci. Para istri
mempunyai rumah dan pada dasarnya bisa menghidupi dirinya sendiri tanpa nafkah dari
nabi saw sekalipun. Nabi dapat terus berda’wah tanpa harus terganggu dengan
istri-istri barunya. Wanita-wanita pelaku poligami tipe ini setidaknya akan terhindar dari
orang-orang yang terganggu oleh kesendiriannya dan tutup mata serta berspekulasi
untuk mendampinginya.

Para pekerja dakwah atau para akademisi idealis yang dipenuhi impian-impian dan
obsesi untuk membangun tradisi ilmu sebagaimana yang mereka lihat ketika di luar
negeri tetapi terbentur minimnya anggaran layak berpoligami tipe kedua ini. Kenyataan
memperlihatkan bahwa usaha-usaha sampingan para akademisi untuk menutupi
kebutuhan ekonominya pada saat yang sama telah mematikan kariernya sebagai
ilmuwan. Mereka mati dini sebagai ilmuwan meskipun kemudian mereka mungkin
mampu mempunyai jabatan-jabatan struktural yang tinggi. Kendala mereka untuk
berpoligami adalah posisinya yang pasif dan menunggu sinyal dari pihak wanita mapan
dan kaya. Inilah syarat mampu secara material bagi poligami agar tidak terlepas dari
misi sucinya.

Manusia secara naluriah saling membutuhkan satu sama lain termasuk membutuhkan
pasangan atau lawan jenis. Isu single parent bagi wanita-wanita karier belia yang
kemudian bercerai perlu diteliti apakah mereka benar-benar mampu hidup sendiri dalam
kondisi normal. Di Barat termasuk di Jepang memang dikenal adanya wanita hidup
tanpa suami tetapi bukan tanpa laki-laki. Di mana pun baik dunia islam atau bukan
kehadiran laki-laki bagi wanita dan sebaliknya adalah keniscayaan, hukum alam atau
sunnatullah. Dalam mengatasi situasi-situasi khusus islam menawarkan poligami dan
menolak seks bebas atau perselingkuhan.

Media memberitakan bahwa arena muktamar NU di Boyolali dihiasi banyak mobil
mewah. Di dalam berbagai gambar juga dapat dilihat banyak muktamirin sedang
berkomunikasi menggunakan tilpun genggam. Fenomena ini memperlihatkan bahwa
elite NU mengalami perubahan keadaan ekonomi yang signifikan. Namun “Mayoritas
Migran itu Nahdliyin” demikian judul artikel analis di Perhimpunan Indonesia untuk
Buruh Migran Berdaulat, Wahyu Susilo (Kompas, 26/11/2004). Daripada menyoal dan
melarang poligami ada baiknya kelompok pembela perempuan di NU mendorong agar
para elite NU yang kini mengalami kondisi ekonomi yang membaik ikut memperbaiki
nasib TKI/TKW termasuk salah satunya dengan poligami. Para elite NU memenuhi
persyaratan dan masuk kategori kandidat poligami aktif.

Sedangkan sikap tidak tegas Muhammadiyah terhadap poligami dapat dimaknai sebagai
penerimaan apa adanya teks poligami. Artinya secara prinsip diperbolehkan karena teks
kitab suci menyatakan demikian. Menggunakan ungkapan Syafii Maarif, jajaran PP
Muhammadiyah tidak pernah bermimpi poligami apalagi terlintas niatan untuk
melakukannya kecuali bagi yang memang berbakat.

Tidak jelas, apakah karena dipandang kontraproduktif sehingga Muhammadiyah tidak
menjadikan poligami sebagai komoditi isu dan bagian dari gerakan yang perlu
ditonjolkan. Atau karena sekitar 60% pimpinan Muhammadiyah adalah PNS sehingga
warga dan pimpinan Muhammadiyah hanya mempunyai kesempatan poligami pasif
yakni menunggu pinangan.

Poligami tidak perlu dijadikan polemik berkepanjangan ataupun dilarang. Selain masih
banyak isu yang lebih penting dan mendesak, teks suci meski dengan kondisi yang
memberatkan bagi pelaksanaannya memang mengijinkannya. Hal yang perlu dilakukan
adalah memaknai situasi atau persyaratan yang memungkinkan tetapi memberatkan
tersebut misalnya dalam fiqih poligami. Pengalaman empirik memperlihatkan bahwa
poligami mestinya hanya boleh bagi yang mampu khususnya secara material
sebagaimana ibadah haji. Wallahua’lam.

*) Pekerja LaFTiFA (Lab Fisika Teori dan Filsafat Alam) ITS, dan pemimpi peradaban
Islam
.

Tidak ada komentar: