Agus Purwanto*)
Kompas, Senin 22
April 2013
Sepekan menjelang UN, selama tiga hari pintu kantor Tata Usaha kami dibuka lebar-lebar. Sebabnya sederhana, agar bau busuk tikus yang mati bisa keluar ruang terterpa angin. Sebenarnya beberapa orang karyawan telah berusaha mencari sang tikus sebagai sumber bau. Bahkan mereka sampai membongkar dan naik langit-langit, tetapi tak juga ketemu sumbernya. Hingga hari pelaksanaan UN, bau busuk itu tak juga hilang. UN pun akhirnya jalan melengang.
Trlepas
dari itu semua, semua ujian termasuk UN sesungguhnya hal baik dan perlu. Sistem
pendidikan kita telah lama menggunakan ujian sebagai alat ukur keluaran hasil
pendidikan sekolah. Penulis dan Mendikbud yang jarak tahun kelulusan SMAnya tak
terlalu jauh juga dinyatakan lulus SMA melalui ujian akhir. Artinya, tidak ada
masalah dengan ujian akhir sekolah sebagai penentu kelulusan sekalipun.
Pengakuan
Terselubung
Waktu
berlalu jaman berubah dan berkembang, ujian akhir sekolah terus berevolusi dan
sampai pada bentuk akhir UN. Dalam perjalanannya UN menimbulkan masalah dan
sebagian orang menggugat eksistensinya via pengadilan hingga ke Mahkamah Agung
(MA).
Pengadilan
tingkat pertama hingga MA pun mengabulkan sebagaian permohonan penggugat. Sementara
di sisi lain, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan pun terus melaksanakan UN,
tetapi bukan sebagai penentu kelulusan secara mutlak.
Masyarakat
menggugat UN karena UN telah memicu kecurangan massif dan sistematis. Kemdikbud
tidak pernah mengakui tudingan ini. Namun dalam praktek tahun 2013 ini kemdikbud
membuat soal sampai 20 tipe agar kecurangan dapat diminimalisasi.
Artinya,
diam-diam kemdikbud, sebetulnya mengakui kecurangan benar-benar terjadi. Sebanyak
20 tipe soal yang harus dibuat dalam jumlah besar dan didistribusi di wilayah
seluas Indonesia tentu bukan perkara mudah apalagi remeh. Terbukti, UN 2013
menghasilkan sensasi luar biasa yang mempermalukan bangsa secara keseluruhan.
Centang-perenang
UN 2013 harus menjadi momentum untuk kembali meninjau ulang UN itu sendiri. UN
harus dihentikan atau diakhiri bukan dimodifikasi apalagi juga dijadikan
sebagai penentu masuk perguruan tinggi negeri PTN karena yang terakhir ini
menambah kuatnya pemicu kecurangan dalam
UN.
Kemdikbud
via Dirjen Dikti bisa membuat kategorisasi PTN dan jalur masuknya seperti pada
akhir 1970an dan awal 1980an, proyek perintis 1, 2, 3 dan 4. Keunggulan sistem
ini setiap siswa sejak awal harus segera memetakan kemampuannya, kemudian
memilih jalur mana yang akan diikuti. Tidak ada siswa ikut dua jalur kecuali
yang gagal di jalur 2 yakni tanpa tes, dan tidak ada siswa yang masuk karena
diskriminasi kemampuan ekonomi.
Harus
diakhiri
UN
harus diakhiri karena UN telah merusak mental siswa, guru, kepala sekolah serta
orang dari instansi terkait dalam bentuk rencana dan praktek kecurangan yang
sistematis. Kehadiran orang PTN sebagai pihak luar tidak banyak membantu
kondisi lapangan.
Secara
normatif jelas tidak ada satu pihak pun yang mau mengakui kecurangan ini.
Bahkan ada argumen konyol yang mengatakan bahwa kecurangan tidak hanya terjadi
sekarang tetapi sejak dulu (jaman Mendikbud di SMA) sudah ada. Benar, dulu
kecurangan memang ada tetapi personal, tidak masif dan sistematis.
Kecurangan
UN lebih lanjut menyebabkan dusta dan kepura-puraan. Tentu bukan karakter ini
yang mau dihasilkan dalam pendidikan karakter kita di mana UN dan kecurangannya
ibarat tikus mati dan bau busuk di awal tulisan ini. Bau busuknya menyebar ke
mana-mana dan dirasakan semua orang meskipun tikusnya sendiri tidak ditemukan.
Semoga
Mendikbud yang oleh sebagian orang juga dikenal sebagai spiritualis mampu
menangkap pesan spiritual dari tikus mati ini. Terlalu mahal taruhan bagi
bangsa ini untuk mempertahankan UN yang jelas-jelas merusak mental secara
massif. Hentikan UN dan ganti dengan yang lain yang tidak menimbulkan
kebusukan.
*) Agus Purwanto, fisikawan teoritik ITS, pernah menjadi
kepala sekolah SMA di Surabaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar