Jumat, 23 Agustus 2013

UN dan Tikus Busuk di Sekolah Kami


Agus Purwanto*)
Kompas, Senin 22 April 2013


Sepekan menjelang UN, selama tiga hari pintu kantor Tata Usaha kami dibuka lebar-lebar. Sebabnya sederhana, agar bau busuk tikus yang mati bisa keluar ruang terterpa angin. Sebenarnya beberapa orang karyawan telah berusaha mencari sang tikus sebagai sumber bau. Bahkan mereka sampai membongkar dan naik langit-langit, tetapi tak juga ketemu sumbernya. Hingga hari pelaksanaan UN, bau busuk itu tak juga hilang. UN pun akhirnya jalan melengang.
Trlepas dari itu semua, semua ujian termasuk UN sesungguhnya hal baik dan perlu. Sistem pendidikan kita telah lama menggunakan ujian sebagai alat ukur keluaran hasil pendidikan sekolah. Penulis dan Mendikbud yang jarak tahun kelulusan SMAnya tak terlalu jauh juga dinyatakan lulus SMA melalui ujian akhir. Artinya, tidak ada masalah dengan ujian akhir sekolah sebagai penentu kelulusan sekalipun.
Pengakuan Terselubung
Waktu berlalu jaman berubah dan berkembang, ujian akhir sekolah terus berevolusi dan sampai pada bentuk akhir UN. Dalam perjalanannya UN menimbulkan masalah dan sebagian orang menggugat eksistensinya via pengadilan hingga ke Mahkamah Agung (MA).
Pengadilan tingkat pertama hingga MA pun mengabulkan sebagaian permohonan penggugat. Sementara di sisi lain, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan pun terus melaksanakan UN, tetapi bukan sebagai penentu kelulusan secara mutlak.
Masyarakat menggugat UN karena UN telah memicu kecurangan massif dan sistematis. Kemdikbud tidak pernah mengakui tudingan ini. Namun dalam praktek tahun 2013 ini kemdikbud membuat soal sampai 20 tipe agar kecurangan dapat diminimalisasi.
Artinya, diam-diam kemdikbud, sebetulnya mengakui kecurangan benar-benar terjadi. Sebanyak 20 tipe soal yang harus dibuat dalam jumlah besar dan didistribusi di wilayah seluas Indonesia tentu bukan perkara mudah apalagi remeh. Terbukti, UN 2013 menghasilkan sensasi luar biasa yang mempermalukan bangsa secara keseluruhan.  
Centang-perenang UN 2013 harus menjadi momentum untuk kembali meninjau ulang UN itu sendiri. UN harus dihentikan atau diakhiri bukan dimodifikasi apalagi juga dijadikan sebagai penentu masuk perguruan tinggi negeri PTN karena yang terakhir ini menambah kuatnya  pemicu kecurangan dalam UN.
Kemdikbud via Dirjen Dikti bisa membuat kategorisasi PTN dan jalur masuknya seperti pada akhir 1970an dan awal 1980an, proyek perintis 1, 2, 3 dan 4. Keunggulan sistem ini setiap siswa sejak awal harus segera memetakan kemampuannya, kemudian memilih jalur mana yang akan diikuti. Tidak ada siswa ikut dua jalur kecuali yang gagal di jalur 2 yakni tanpa tes, dan tidak ada siswa yang masuk karena diskriminasi kemampuan ekonomi.
Harus diakhiri
UN harus diakhiri karena UN telah merusak mental siswa, guru, kepala sekolah serta orang dari instansi terkait dalam bentuk rencana dan praktek kecurangan yang sistematis. Kehadiran orang PTN sebagai pihak luar tidak banyak membantu kondisi lapangan.
Secara normatif jelas tidak ada satu pihak pun yang mau mengakui kecurangan ini. Bahkan ada argumen konyol yang mengatakan bahwa kecurangan tidak hanya terjadi sekarang tetapi sejak dulu (jaman Mendikbud di SMA) sudah ada. Benar, dulu kecurangan memang ada tetapi personal, tidak masif dan sistematis.  
Kecurangan UN lebih lanjut menyebabkan dusta dan kepura-puraan. Tentu bukan karakter ini yang mau dihasilkan dalam pendidikan karakter kita di mana UN dan kecurangannya ibarat tikus mati dan bau busuk di awal tulisan ini. Bau busuknya menyebar ke mana-mana dan dirasakan semua orang meskipun tikusnya sendiri tidak ditemukan.
Semoga Mendikbud yang oleh sebagian orang juga dikenal sebagai spiritualis mampu menangkap pesan spiritual dari tikus mati ini. Terlalu mahal taruhan bagi bangsa ini untuk mempertahankan UN yang jelas-jelas merusak mental secara massif. Hentikan UN dan ganti dengan yang lain yang tidak menimbulkan kebusukan.

*) Agus Purwanto, fisikawan teoritik ITS, pernah menjadi kepala sekolah SMA di Surabaya.

Tidak ada komentar: