Jumat, 23 Agustus 2013

Insentif Berbasis Publikasi Internasional

Kompas, 19 Nopember 2011

Dunia riset kita masih carut-marut dan derita para periset belum akan berakhir karena gaji dan penghargaan masih jauh dari memadai. Demikian isi utama laporan Kompas selama sepekan sejak 24/10/2011 tentang riset dan aneka masalahnya di tanah air. Dari sekian banyak masalah riset yang disorot, diulas dan diusulkan oleh Liek Wilardjo (Kompas, 30/9/2011), Tri Ratnawati dan Satryo BS (Kompas, 1/11/2011), ada satu yang masih belum mendapat perhatian yakni ilmuwan sejati yang telah eksis. Di tengah keadaan yang jauh dari kondusif, dengan berbagai cara dan komitmennya mereka berhasil membuktikan kerja sebagai ilmuwan sejati.
Jurnal Internasional
Ilmuwan sesuai dengan namanya adalah orang yang melakukan pencarian sesuatu yang baru atau orisinil dengan kerja ilmiah.  Ilmuwan lekat dengan orisinalitas. Inilah yang membedakan ilmuwan dengan yang bukan ilmuwan. Teknisi dan laboran juga melakukan kerja ilmiah tetapi sifatnya rutin dengan prosedur dan hasil yang telah diketahui.
Seorang dosen bergelar doktor atau bahkan professor dapat saja sangat piawai menjelaskan teori-teori rumit. Tetapi selama belum mempunyai kontribusi orisinal yang tertulis dan dimuat di jurnal internasional maka ia belum ilmuwan tetapi hanya teknisi teoritis. Ia dosen atau pengajar biasa yang mungkin sangat pintar atau hafal di luar kepala karena telah mengajar subyek tersebut bertahun-tahun.
Barometer kerja ilmuwan hanya dua, publikasi di jurnal internasional atau patent. Di suatu universitas, bisa jadi ada seribu dosen, sekian ratus doktor dan sekian puluh guru besar tetapi hanya beberapa yang mampu eksis sebagai ilmuwan. Sebagai contoh di UI, menurut Terry Mart (Kompas 24/9/2011), dari sekitar 3000 dosen (bidang eksakta dan humaniora) hanya 200 yang diklasifikasi sebagai dosen inti penelitian, sedangkan sisanya adalah dosen pengajar dan struktural. Dari 200 dosen ilmuwan ini UI berharap menghasilkan 150 publikasi internasional per tahun.
Ilmuwan dalam negeri dengan publikasi internasional jelas merupakan orang hebat bahkan mungkin setengah gila. Dengan berbagai kendala yang ada mereka masih mampu bertahan bahkan menghasilkan karya orisinal. Sekian ratus bahkan sekian ribu orang pintar dikirim studi lanjut di luar negeri setiap tahunnya. Mereka pun mendapatkan gelar akademik tertinggi doktor tetapi hanya sedikit yang terus eksis sebagai ilmuwan ketika telah kembali ke tanah air.
Penelitian yang dipublikasi di jurnal internasional, selain membuktikan kualitas sang peneliti juga memperkenalkan peneliti dan institusinya ke tingkat internasional. Pengakuan internasional (international recognition) secara substansial suatu perguruan tinggi otomatis akan meningkat dengan jumlah publikasi internasional ini. 
Pada saatnya, normal tidaknya perguruan tinggi harus diukur dari output publikasi internasionalnya. Atase pendidikan Indonesia di India, Dr Son Kuswadi,  beberapa waktu lalu menemani beberapa rektor PTN berkunjung ke Indian Institute of Technology di New Delhi. Fasilitas di IIT ini relatif terbatas dan lebih kuno dari fasilitas PTN besar di Indonesia. Di balik keterbatasan ini IIT ternyata tergolong luar biasa, IIT menghasilkan 1958 publikasi internasional per tahun dari total 500 dosennya.
Keadaan tersebut terbalik dengan ITB, Rektor ITB yang bergabung dalam rombongan tersebut berkomentar, ITB hanya mempunyai 500 publikasi internasiomal per tahun dari sekitar 1200 dosen yang dimilikinya. Sedangkan ITS baru 103 publikasi  per tahun dari sekitar 1100 dosen yang dimiliki.
Insentif Khusus
Kemenristek perlu membuat program insentif khusus dan besar bagi akademisi atau peneliti yang telah menghasilkan produk berupa publikasi di jurnal internasional. Besar insentif untuk satu publikasi internasional dengan semua penulis Indonesia adalah Rp 100 juta. Program insentif telah ada tetapi baru sekedar cukup untuk membayar biaya muat publikasi ketika artikel diterima suatu jurnal.
Angka dosen ilmuwan dan angka harapan publikasi per tahun UI cukup menggambarkan kemampuan umum ilmuwan kita. Angka-angka tersebut secara kasar menyatakan satu ilmuwan menghasilkan satu publikasi dalam satu tahun empat bulan. Artinya, insentif Rp 100 juta menjadi tambahan gaji sebesar 6 juta rupiah per bulan. Angka yang belum seberapa jika dibanding gaji peneliti di Malaysia yang sekitar Rp 45 juta per bulan, tetapi sangat berarti bagi para dosen ilmuwan di Indonesia. Kalau pun ada dosen mampu menghasilkan dua atau tiga publikasi internasional per tahun maka insentif tetap harus diberikan secara utuh karena memang layak diberikan atas kemampuannya.
Setiap tahun, pemerintah telah menggelontorkan dana hibah penelitian pada perguruan tinggi yang diperebutkan dan dibagikan berdasar proposal penelitian. Masalahnya, hasil penelitian yang dibiayai dana hibah ini hanya berupa laporan yang sifatnya formalitas tidak sampai pada taraf publikasi internasional. Tidak ada mekanisme penilaian yang efektif atas hasil penelitian. Barangkali inilah alasan mengapa kemenristek belum berencana menaikkan gaji para peneliti (Kompas, 26/10/2011).
Pemberian insentif berbasis karya berupa publikasi di jurnal internasional akan memotong rantai penelitian basa-basi. Program ini sekilas terasa aneh, bagaima mungkin seseorang dapat berkarya jika tidak ada anggaran dan fasilitas seperti dikeluhkan selama ini. Kenyataannya memang ada periset atau ilmuwan yang eksis dalam berbagai keterbatasan ini. Mereka harus diapresiasi secara khusus. Merekalah ilmuwan sekaligus pahlawan sejati yang mampu menghidupkan tradisi riset secara signifikan dan meningkatkan pengakuan internasional bagi lembaga riset dan pendidikan tinggi Indonesia.

Oleh: Agus Purwanto, fisikawan teoritik ITS 


Tidak ada komentar: