Dunia
riset kita masih carut-marut dan derita para periset belum akan berakhir karena
gaji dan penghargaan masih jauh dari memadai. Demikian isi utama laporan Kompas
selama sepekan sejak 24/10/2011 tentang riset dan aneka masalahnya di tanah
air. Dari sekian banyak masalah riset yang disorot, diulas dan diusulkan oleh
Liek Wilardjo (Kompas, 30/9/2011), Tri Ratnawati dan Satryo BS (Kompas,
1/11/2011), ada satu yang masih belum mendapat perhatian yakni ilmuwan sejati
yang telah eksis. Di tengah keadaan yang jauh dari kondusif, dengan berbagai
cara dan komitmennya mereka berhasil membuktikan kerja sebagai ilmuwan sejati.
Jurnal
Internasional
Ilmuwan
sesuai dengan namanya adalah orang yang melakukan pencarian sesuatu yang baru
atau orisinil dengan kerja ilmiah. Ilmuwan
lekat dengan orisinalitas. Inilah yang membedakan ilmuwan dengan yang bukan
ilmuwan. Teknisi dan laboran juga melakukan kerja ilmiah tetapi sifatnya rutin
dengan prosedur dan hasil yang telah diketahui.
Seorang
dosen bergelar doktor atau bahkan professor dapat saja sangat piawai
menjelaskan teori-teori rumit. Tetapi selama belum mempunyai kontribusi
orisinal yang tertulis dan dimuat di jurnal internasional maka ia belum ilmuwan
tetapi hanya teknisi teoritis. Ia dosen atau pengajar biasa yang mungkin sangat
pintar atau hafal di luar kepala karena telah mengajar subyek tersebut
bertahun-tahun.
Barometer
kerja ilmuwan hanya dua, publikasi di jurnal internasional atau patent. Di
suatu universitas, bisa jadi ada seribu dosen, sekian ratus doktor dan sekian
puluh guru besar tetapi hanya beberapa yang mampu eksis sebagai ilmuwan.
Sebagai contoh di UI, menurut Terry Mart (Kompas 24/9/2011), dari sekitar 3000
dosen (bidang eksakta dan humaniora) hanya 200 yang diklasifikasi sebagai dosen
inti penelitian, sedangkan sisanya adalah dosen pengajar dan struktural. Dari
200 dosen ilmuwan ini UI berharap menghasilkan 150 publikasi internasional per
tahun.
Ilmuwan
dalam negeri dengan publikasi internasional jelas merupakan orang hebat bahkan
mungkin setengah gila. Dengan berbagai kendala yang ada mereka masih mampu
bertahan bahkan menghasilkan karya orisinal. Sekian ratus bahkan sekian ribu
orang pintar dikirim studi lanjut di luar negeri setiap tahunnya. Mereka pun
mendapatkan gelar akademik tertinggi doktor tetapi hanya sedikit yang terus
eksis sebagai ilmuwan ketika telah kembali ke tanah air.
Penelitian
yang dipublikasi di jurnal internasional, selain membuktikan kualitas sang peneliti
juga memperkenalkan peneliti dan institusinya ke tingkat internasional.
Pengakuan internasional (international recognition) secara substansial suatu
perguruan tinggi otomatis akan meningkat dengan jumlah publikasi internasional
ini.
Pada
saatnya, normal tidaknya perguruan tinggi harus diukur dari output publikasi
internasionalnya. Atase pendidikan Indonesia di India, Dr Son Kuswadi, beberapa waktu lalu menemani beberapa rektor
PTN berkunjung ke Indian Institute of Technology di New Delhi. Fasilitas di IIT
ini relatif terbatas dan lebih kuno dari fasilitas PTN besar di Indonesia. Di
balik keterbatasan ini IIT ternyata tergolong luar biasa, IIT menghasilkan 1958
publikasi internasional per tahun dari total 500 dosennya.
Keadaan
tersebut terbalik dengan ITB, Rektor ITB yang bergabung dalam rombongan
tersebut berkomentar, ITB hanya mempunyai 500 publikasi internasiomal per tahun
dari sekitar 1200 dosen yang dimilikinya. Sedangkan ITS baru 103 publikasi per tahun dari sekitar 1100 dosen yang
dimiliki.
Insentif
Khusus
Kemenristek
perlu membuat program insentif khusus dan besar bagi akademisi atau peneliti
yang telah menghasilkan produk berupa publikasi di jurnal internasional. Besar
insentif untuk satu publikasi internasional dengan semua penulis Indonesia
adalah Rp 100 juta. Program insentif telah ada tetapi baru sekedar cukup untuk
membayar biaya muat publikasi ketika artikel diterima suatu jurnal.
Angka
dosen ilmuwan dan angka harapan publikasi per tahun UI cukup menggambarkan
kemampuan umum ilmuwan kita. Angka-angka tersebut secara kasar menyatakan satu
ilmuwan menghasilkan satu publikasi dalam satu tahun empat bulan. Artinya,
insentif Rp 100 juta menjadi tambahan gaji sebesar 6 juta rupiah per bulan.
Angka yang belum seberapa jika dibanding gaji peneliti di Malaysia yang sekitar
Rp 45 juta per bulan, tetapi sangat berarti bagi para dosen ilmuwan di
Indonesia. Kalau pun ada dosen mampu menghasilkan dua atau tiga publikasi
internasional per tahun maka insentif tetap harus diberikan secara utuh karena
memang layak diberikan atas kemampuannya.
Setiap
tahun, pemerintah telah menggelontorkan dana hibah penelitian pada perguruan
tinggi yang diperebutkan dan dibagikan berdasar proposal penelitian.
Masalahnya, hasil penelitian yang dibiayai dana hibah ini hanya berupa laporan
yang sifatnya formalitas tidak sampai pada taraf publikasi internasional. Tidak
ada mekanisme penilaian yang efektif atas hasil penelitian. Barangkali inilah
alasan mengapa kemenristek belum berencana menaikkan gaji para peneliti
(Kompas, 26/10/2011).
Pemberian
insentif berbasis karya berupa publikasi di jurnal internasional akan memotong
rantai penelitian basa-basi. Program ini sekilas terasa aneh, bagaima mungkin
seseorang dapat berkarya jika tidak ada anggaran dan fasilitas seperti dikeluhkan
selama ini. Kenyataannya memang ada periset atau ilmuwan yang eksis dalam
berbagai keterbatasan ini. Mereka harus diapresiasi secara khusus. Merekalah
ilmuwan sekaligus pahlawan sejati yang mampu menghidupkan tradisi riset secara
signifikan dan meningkatkan pengakuan internasional bagi lembaga riset dan
pendidikan tinggi Indonesia.
Oleh: Agus Purwanto, fisikawan teoritik ITS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar