Selasa, 13 Januari 2009

Di Balik Nobel Fisika 2008

(Sempat dikirim berturutt ke Kompas, Republika dan Media Indonesia

tapi lewat alias tidak dimuat)

Oleh : Agus Purwanto,D.Sc


“Akhir yang manis dari penantian panjang”, ungkap penulis ketika mengetahui nama-nama penerima nobel fisika 2008. Betapa tidak, tahun 1998 sebelum kembali ke tanah air LT Handoko sejawat penulis di Universitas Hiroshima bercerita bahwa komunitas fisika teori Jepang berharap Maskawa mendapat nobel fisika. 
Sebenarnya, tidak ada ahli fisika di dunia yang bekerja dengan misi khusus mendapat nobel, tidak terkecuali Yoichiro Nambu, Makoto Kobayashi dan Toshihide Maskawa. Mereka bekerja karena mencintai pekerjaannya, mencintai ilmu. Tetapi dalam perkembangannya ada alasan yang membuat komunitas fisika teori Jepang berharap nobel bagi sejawat senegara mereka. 
Nobel fisika 2008 berbeda dari nobel fisika 1979 yang juga diberikan kepada tiga ahli fisika teori yaitu Abdus Salam, Sheldon Glashow dan Steven Weinberg. Ketiga fisikawan ini berasal dari negara berbeda, Salam dari Pakistan dan tinggal di Itali sedangkan dua lainnya dari Amerika tetapi mendapatkan nobel fisika untuk satu teori yang sama yaitu teori unifikasi gaya elektrolemah. Teori ini sekarang sering disebut sebagai teori Glashow-Salam-Weinberg.
Sebaliknya Nambu, Kobayashi dan Maskawa berasal dari satu negara tetapi mendapatkan nobel untuk dua teori berbeda. Nambu yang kelahiran Tokyo 1921 dan mendapatkan gelar dotornya di Universitas Tokyo tahun 1952 serta menjadi profesor di Universitas Chicago sejak 1958 dianugerahi nobel karena gagasan perusakan simetri spontannya (sponatenous symmetry breaking, SSB) dalam model sigma. 
Gagasan ini dimuat dalam prosiding konferensi internasional kesepuluh fisika energi tinggi di Jenewa tahun 1960. Satu tahun kemudian Jeffrey Goldstone dari Amerika menulis generalisasi SSB untuk fermion di jurnal Nuovo Cimento. Hasil sampingnya berupa boson takbermassa. Di buku-buku teks SSB kadang diidentifikasi dengan dua nama Nambu-Goldstone tetapi lebih sering hanya satu nama yaitu Goldstone dengan sebutan teorema Golsdtone. 
Gagasan Goldstone disempurnakan Peter Higgs tahun 1964 dengan mekanisme pembangkitan massa Higgs yang terkenal dalam fisika partikel modern. Mekanisme terakhir ini memberi bonus partikel Higgs yang menjadi perburuan di Large Hadron Collider (LHC). Dengan demikian, jika SSB mendapatkan nobel maka yang seharusnya menerima adalah trio Nambu, Goldstone dan Higgs.
Kobayashi dan Maskawa (KM) mendapatkan penghargaan karena ide mereka yang dipublikasi di jurnal Progress of Theoretical Physics tahun 1973 dengan judul CP violation in the renormalizable theory of weak interaction. KM mengintrodusir matriks bauran dimensi tiga yang memuat dua hal baru. Pertama, kuark generasi ketiga bottom dan top, kedua, fasa CP (charge conjugation dan parity). Fasa dan simpangan CP merupakan salah satu syarat terjadinya alam semesta saat ini yang asimetri dari kondisi awal simetri.
Konfirmasi kuark top di CDF Fermilab tahun 1998 membangkitkan harapan nobel bagi KM. Konfirmasi simpangan CP melalui B-factory di akselerator linier Stanford (SLAC-B) dan Belle di pusat riset fisika energi tinggi (KEK) Tsukuba tahun 2001 meneguhkan harapan ini. 
Tahun 1963, Nicola Cabibbo dari Itali menulis matriks bauran dua dimensi di Physical Review Letter (PRL). Dengan demikian, matriks KM dapat dipandang sebagai perluasan dari matriks Cabibbo sehingga sampai sekarang matriks ini disebut matriks CKM (Cabibbo-Kobayashi-Maskawa). Karenanya, nobel mestinya tidak hanya diberikan kepada KM melainkan juga Cabibbo.
Nobel fisika tahun ini juga menyisakan sisi lain yang menarik bagi orang Indonesia. Setelah peraih nobel fisika 2008 diumumkan, ahli fisika teori Dr Laksana Tri Handoko mendapat email dengan bunyi,” Thank you for the works contributed to the establishing the theory...” dari koleganya di Jepang. Handoko memang mempunyai hubungan personal yang kuat khususnya dengan Kobayashi sebagai host-profesor ketika berada di KEK Tsukuba antara tahun 1996-1997.
Ungkapan terimakasih tersebut terkait dengan riset Handoko dan koleganya dari Jepang, Jerman, Korsel dan Kanada pada kurun 1995-2002 yang mengkaji perusakan simetri global pada materi nuklir meson B. Kuark b berada di alam dalam bentuk materi nuklir meson B. Karenanya eksperimen untuk membuktikan teori ini selalu melibatkan meson B dan peluruhannya. Kalkulasi teori terkait dengan aneka mode peluruhan dan hasil akhirnya ini banyak dilakukan oleh Handoko. 
Ada beberapa ilmuwan Indonesia yang turut berperan pada proses pembuktian eksperimental yang menjadi kunci penentu anugerah nobel untuk KM. Pada eksperimen pencarian kuark top misalnya, salah seorang anggota kolaborasi D-zero (D0) adalah van de Brink mahasiswa Indonesia alumni jurusan fisika UI.
Eksperimen yang lebih penting dan merupakan kunci utama konfirmasi kebenaran teori KM adalah B-factory. Selama ini ada dua fasilitas eksperimen utama yang bersaing ketat yaitu eksperimen BaBar di SLAC Stanford dan Belle di KEK Tsukuba. Di dalam kolaborasi BaBar terdapat dua ilmuwan Indonesia, Romulus Godang dan Rahmat. 
Romulus yang asisten profesor di Universitas South Alabama dan alumni jurusan fisika USU bergabung sejak awal dimulainya kolaborasi BaBar sampai sekarang. Rahmat yang menyelesaikan program doktoralnya di University of Oregon melanjutkan program post-doctoral di Universitas Mississippi juga masih aktif di eksperimen BaBar. Demikian pula Haryo Sumowidagdo, alumni jurusan fisika UI, sampai saat ini masih bergabung di eksperimen D0.
Maskawa barangkali sosok yang paling unik dari trio peraih nobel fisika tahun ini. Penulis pernah dua kali bertemu Profesor Maskawa, tahun 1999 di universitas Hiroshima dan tahun 2001 di Yukawa Institue for Theoretical Physics (YITP) universitas Kyoto institusi tempat Maskawa. Ada hal yang tidak dapat penulis lupakan dari kedua pertemuan tersebut. 
Ketika di universitas Hiroshima seorang teman membisiki penulis bahwa Maskawa tidak dapat berbicara dengan bahasa Inggris sehingga bila mau bicara dengannya harus dengan bahasa Jepang. Hal yang sama juga terjadi ketika di YITP, host-profesor penulis di sana berbisik sama. ”Shinjirarenai (tidak dapat dipercaya)”, demikian reaksi dalam hati ketika dibisiki untuk pertama kalinya.  
Dari kisah di depan, ada dua pelajaran yang dapat diambil oleh fisikawan dan ilmuwan Indonesia umumnya. Pertama, gagasan Nambu maupun KM yang akhirnya mendapatkan nobel dimuat di prosiding dan jurnal dengan impact factor atau peringkat tidak tinggi. Reputasi ilmuwan secara umum ditentukan oleh jumlah publikasi dan peringkat jurnalnya. Hitoshi Murayama dari University of California Berkeley dan Ernest Ma dari University of California Riverside, misalnya, selalu berusaha menulis tema terdepan dan mempublikasikannya di PRL yang berimpact factor paling tinggi di antara jurnal fisika.  
Semangat seperti Murayama maupun Ma sangat positip tetapi sangat sulit bagi ilmuwan di negara berkembang seperti Indonesia yang mempunyai aneka keterbatasan. Beberapa senior kita tidak mau publikasi bila tidak di jurnal papan atas dan akhirnya memang tidak mempunyai publikasi atau karya satu pun sampai masa pensiunnya. Semangat umum ilmuwan Jepang patut ditiru, publikasikan hasil riset di jurnal internasional apapun. Kita tidak perlu menghakimi karya sendiri tetapi biarkan orang lain menilainya. Bagi kita yang terpenting adalah berkarya dan berkarya.
Kedua, kolaborasi akan menutupi kekurangan dan kelemahan individual para ilmuwan. Di Indonesia, ilmuwan khususnya fisikawan teori jumlahnya baru belasan. Mereka tidak boleh lagi bangga dengan institusi sendiri maupun almamater tetapi tanpa karya, tanpa publikasi. Sekarang banyak universitas kita yang mengakselerasi lahirnya guru-guru besar baru untuk meningkatkan status universitas. Sayangnya, dari setiap pengukuhan dapat dilihat bahwa guru-guru besar ini umumnya tidak mempunyai publikasi internasional kecuali di saat menempuh program doktoralnya di luar negeri. 
Kondisi paradoks tersebut dapat diatasi melalui kolaborasi. Salah satu contoh kolaborasi adalah Indonesia Center for Theoretical dan Mathematical Physics (ICTMP) yang melibatkan beberapa ahli fisika teori dalam dan luar ITB. Upaya ini memberi hasil dengan mulai munculnya hasil-hasil riset mereka di beberapa jurnal internasional. Jumlah ahli fisika teori Indonesia sekarang belum berubah secara signifikan dibanding tiga puluh tahun lalu. Tetapi kolaborasi telah membedakan dua generasi ini, publikasi menandai generasi yang belakangan.
Nobel bukanlah tujuan utama, yang lebih penting adalah tumbuhnya sikap dan tradisi ilmiah. Penyelesaian berbagai masalah akan jauh lebih efektif bila berdasar pemahaman sains dan tidak sekedar mengandalkan common sense. Di antara negara dengan jumlah penduduk terbesar seperti Cina, India, Amerika dan Indonesia hanya negeri kita yang belum menguasai ilmu pengetahuan. Padahal tanpa ilmu pengetahuan teoritis maupun praktis kita tidak akan mampu mengelola sumber daya alam yang melimpah yang pada gilirannya kita menjadi bangsa yang bergantung pada bangsa lain.

3 komentar:

Unknown mengatakan...

artikelnya bagus dan mencerahkan :) salam kenal dan sukses untuk anda :)

http://sobatbaru.blogspot.com

Unknown mengatakan...

hmmm,,,,,

Agus mengatakan...

salam kenal kembali