Selasa, 13 Januari 2009

Balik Sukses Olimpiade

Republika, Sabtu, 5 Mei 2007

Agus Purwanto*)

Tim Olimpiade Fisika Indonesia (TOFI) meraih dua emas, tiga perak dan dua perunggu di Asian Physics Olympiad (APhO) ke-8 di Shanghai China 22-28 April 2007. Hasil ini, menjadikan Indonesia sebagai satu dari empat negara yang mampu menyabet emas APhO, sekaligus menempel ketat China. Meskipun demikian, olimpiade fisika dan cabang ilmu lainnya tetap perlu dikritik. 
Yohanes Surya (YS) sang arsitek TOFI seperti berhasil memecah kebekuan pendidikan Indonesia. Mulanya ia bina siswa-siswi yang disiapkan dalam ajang International Physics Olympiad (IPhO) dengan biaya sendiri. Upaya ini membuahkan hasil yakni diraihnya medali perunggu, perak dan emas. YS dengan TOFInya membuat kejutan lebih lanjut dengan ungkapan provokatifnya “The First Step to Noble Prize”.  
Orang Indonesia seperti terhipnotis. Akibatnya, penyelenggaraan IPhO ke-33 di Denpasar tahun 2002 konon menjadi IPhO paling istimewa dan mewah. Selain diselenggarakan di hotel bintang lima juga dibuka oleh Presiden Megawati. Demikian pula APhO ke-6 2004 di Pekanbaru yang dibuka menteri kesra Jusuf Kalla. Bandingkan dengan pembukaan APhO ke-8 yang hanya dibuka oleh YS sebagai presiden APhO dan dihadiri wakil walikota Shanghai (Kompas, 23/4/2007). 
Tahun lalu Pesiden SBY menyambut para siswa TOFI bak pahlawan. YS dipilih sebagai wakil ahli pendidikan yang mendapat kesempatan bertemu presiden Bush yang berkunjung ke Indonesia.
Desakralisasi Olimpiade
Kini kita dilanda demam olimpiade. Sejak tahun 2004, di beberapa propinsi diadakan pelatihan guru-guru untuk mempersiapkan siswa-siswi ke aneka olimpiade. Aneka kompetisi tingkat SD sampai SMU dinamai olimpiade. Ada olimpiade fisika, olimpiade matematik, kimia, biologi, komputer, ekonomi bahkan di lingkungan Muhammadiyah ada olimpiade al-Islam.
Dari sekian banyak olimpiade ilmu barangkali olimpiade fisika yang terkesan paling wah. Begitu mendengar, si fulan meraih medali IPhO maka kita membayangkan sosok jenius mirip Newton, Einstein atau Hawking. Atau terbayang orang nyentrik yang berkutat di laboratorium dan sedang membuat formula bom atom Hiroshima yang dahsyat itu.
Masyarakat cukup silau dan bangga dengan prestasi siswa-siswi SMU Indonesia di ajang IPhO dan APhO. Kesan wah bahkan sakral terhadap TOFI tidak terlalu salah. YS berulang-ulang menyatakan bahwa soal IPhO dan APhO setara dengan soal doktor. Pertanyaannya, bagaimana mungkin mereka dapat mengatasi soal-soal sulit tersebut? Sedemikian hebatnya sekolah-sekolah kita?
Siswa yang lolos seleksi sampai tingkat propinsi dikamp dan dididik khusus fisika selama beberapa bulan oleh para doktor fisika. TOFI tahun ini, misalnya, telah dikamp di Karawachi sejak September 2006. YS yang pernah menulis buku “Mekanika Tanpa Kalkulus” menyatakan siswa SLTP yang ingin lolos masuk TOFI harus tamat kalkulus yakni limit, diferensial dan integral sehingga saat SMU bisa konsentrasi belajar fisika.
Kesan sakral akan berkurang bila kita tahu garis besar pelaksanaan IPhO dan APhO. Sebelum diujikan, soal dan solusinya didiskusikan dengan semua pembimbing dan soal bisa mengalami modifikasi. Pada tahap ini dibahas dan disepakati pula skor nilai setiap nomor dan setiap tahap jawaban. Untuk menghindari kebocoran panitia melakukan pengamanan dan aturan ekstra ketat. 
Soal yang telah disepakati dan diterjemahkan ke dalam bahasa ibu setiap negara peserta diujikan. Waktu ujian teori dan eksperimen masing-masing lima jam pada hari yang berbeda. Selanjutnya adalah tahap penilaian jawaban. Penilaian dilakukan oleh juri dan masing-masing pembina. Copy nilai versi pembina dan juri ditukar dan dibandingkan.
Tahap berikutnya adalah moderasi, yakni penyesuaian bila terjadi perbedaan antara nilai dari juri dan pembimbing. Bila nilai juri lebih besar dari pembimbing bisa dipastikan tidak ada protes. Sebaliknya bila nilai juri lebih kecil apalagi cukup besar selisihnya maka akan terjadi perdebatan dan tawar-menawar nilai yang cukup alot dan seru antara pembina dan juri. Pada IPhO 2002 ada seorang ibu pembina yang tidak dapat menahan tangis lantaran gagal memperjuangkan kenaikan nilai siswanya. Dus, peran dan kejelian pembina sangat menentukan.
Tahap akhir adalah penentuan peraihan medali emas, perak, perunggu dan kehormatan yang ditentukan sesuai selang nilai tertentu. Karena itu, peraih medali emas olimpiade bisa cukup banyak dan semua anggota tim suatu negara tertentu bias mendapat emas. 
Menertawakan Diri Sendiri
Secara umum, siswa yang masuk TOFI memang siswa yang cemerlang dan kita bangga atas prestasi mereka. Tetapi benarkah pemerintah mengalokasikan dana 100 milyar untuk keberangkan tim A (belum tim B) ke Shanghai (Kompas, 20/4/2007)?. Untuk apa saja uang ini? Bukankah jumlah itu bisa untuk melahirkan sedikitnya 200 doktor baru di luar negeri ketimbang delapan doktor produk TOFI? Sekarang ini banyak doktor kita yang membagi waktu sebulan menjadi dua pekan di tanah air dan dua pekan di Malaysia. Sebabnya selain untuk menutupi kebutuhan ekonomi juga mendapat fasilitas riset yang memadai di sana.
Apa yang ingin kita capai dengan aneka olimpiade? Jelas, sukses aneka olimpiade internasional atau pun nasional sama sekali tidak mewakili sukses pendidikan kita. Sukses di APhO hanya memperlihatkan bahwa sebenarnya kita mempunyai kemampuan dasar yang sama dengan negara manapun termasuk negara maju. Kenyataan ini juga bisa dilihat dari prestasi mahasiswa Indonesia di luar negeri. Tetapi sistem di dalam negeri membuat semua potensi tersebut sulit berkembang dan tumbuh menjulang. 
Ketika presiden dan para petinggi lainnya menyambut dan memberi ucapan selamat misalnya kepada TOFI sejatinya mereka sedang menertawakan diri sendiri. Mereka seolah sedang mengucapkan “Selamat, kalian jadi juara karena telah menabrak sistem yang telah kita buat”. 
Betapa tidak, emas IPhO atau APhO diperoleh oleh siswa yang meninggalkan program normal sekolah untuk dilatih bukan oleh guru sendiri tetapi para doktor fisika sekitar enam bulan di Karawachi. Singkatnya, mereka menjadi juara karena keistimewaan sistem dan dispensasi yang mereka dapatkan. Anggota TOFI yang sekarang kelas tiga SMU mendapat dispensasi pelaksanaan UN dan baru menjalani UN 14-16 Mei 2007.
Sekarang ada Olimpiade Sains Nasional yang diselenggarakan setiap tahun. Strategi guru, sekolah dan diam-diam sepakati diknas lokal untuk melatih para atlet dan mendulang sebanyak mungkin medali adalah kebijakan dispensasi. Artinya, siswa diperkenankan dilatih pelajaran tertentu dan meninggalkan aneka pelajaran lainnya tetapi nantinya tetap naik kelas atau lulus sebagaimana siswa-siswa lainnya. Tanpa jaminan seperti ini hampir dapat dipastikan tidak ada siswa yang mau mengikuti olimpiade. 
Bila demikian untuk apa medali APhO dan IPhO bila harus menyimpang dan menggunakan dana sangat besar? Akankah prestasi APhO menjadi sekedar penghibur diri dari kemiskinan prestasi? Kita tidak ingin IPhO dan sejenisnya menjadi lahan baru penghamburan uang negara. APhO dan IPhO diikuti berbagai negara termasuk negara maju, tetapi menariknya Jepang belum pernah berpartisipasi sebagai peserta. 



3 komentar:

Agus mengatakan...

mulanya saya tidak tertarik pada berbagai olimpiade sains yang "semu" ini. saya menjadi tertarik ketika senior saya di unpad berargumen,"remaja yang nyanyi2 saja dihadiahi mobil dan jutaan rupiah, masa' anak dengan otak hebat tidak diberi hadiah". jadi, olimpiade itu sendiri adalah hadiah untuk anakk hebat. bahwa sering dipolitisir, itu masalah lain, masalah pejabat dan politisi.

Nurul Hidayah mengatakan...

so, langkah konkrit apa yang kan anda lakukan sebagai orang yang faham fakta dan juga sebagai ahli fisika.
saya rasa, tulisan ini tidak seluruhnya orang2 terkait sempat membaca dan melakukan evaluasi.

Agus mengatakan...

YS adalah orang pertama yang kontak saya begitu artikel ini terbit. Saya nyatakan padanya, saya dukung upayanya sepanjang berdiri di atas obyektivitas dan nilaii holistik lainnya. Segala bentuk politisasi culas semisal memenangkan tim yang tidak menang hanya karena telah berjanji menggoalkan, akan saya lawan/bongkar.