Jumat, 21 Agustus 2009
Purnama dan Awal Bulan Qomariyah
Agus Purwanto*)
Tahun ini, menurut ahli hisab tidak terjadi perbedaan di antara kelompok besar umat Islam Indonesia dalam mengawali awal Ramadhan, Syawwal dan Dzulhijjah. Tetapi, tahun 2010 akan terjadi perbedaan. Terjadinya perbedaan awal bulan atau bulan baru (new month) di tempat yang sama jelas menyiratkan adanya sesuatu yang salah.
Perbedaan awal bulan qomariyah dapat diketahui jauh sebelumnya karena adanya perbedaan kriteria awal bulan di antara sesama pengguna hisab. Kriteria tersebut adalah imkanur rukyat (batas bawah kemungkinan hilal dapat dilihat) dan wujudul hilal (hilal eksis meski tidak dapat dilihat). Bulan purnama dapat dijadikan hakim pemutus awal bulan mana yang benar yang selanjutnya juga memberi arahan kriteria mana yang mestinya ditetapkan.
Prinsip penentuan awal bulan qomariyah adalah sebagai berikut. Pertama menentukan waktu ijimak (conjunction) pada hari ke 29. Ijtimak adalah keadaan ketika posisi Bumi, Bulan dan Matahari berada pada satu garis bujur astronomis. Pada posisi ini bagian Bulan yang terkena sinar matahari sepenuhnya membelakangi bumi.
Bila ijtimak terjadi setelah maghrib (merupakan saat pergantian tanggal dalam Islam) maka usia bulan qomariyah adalah 30 hari, awal bulan masih lusa hari. Bila keadaan ini yang terjadi, sebut sebagai keadaan 1, maka tidak akan terjadi perbedaan awal bulan. Bila ijtimak terjadi sebelum maghrib maka langkah kedua dilakukan yakni menentukan posisi relatif antara Bumi, Bulan dan Matahari pada saat maghrib. Bila hilal negatip (keadaan 2) maka tanggal dan bulan baru juga lusa harinya. Tetapi bila hilal positip maka akan timbul dua kemungkinan. Pertama, tinggi hilal lebih besar dari 2 derajat (keadaan 3) maka keesokan hari adalah tanggal satu bulan baru. Keadaan ini juga tidak menimbulkan perbedaan. Bila kurang dari dua derajat (keadaan 4) akan terjadi perbedaan. Penganut kriteria wujudul hilal menyatakan keesokan hari adalah bulan baru, tetapi penganut imkanu rukyat menyatakan bulan baru adalah lusanya. Dus, perbedaan hanya terjadi pada keadaan 4.
Sebagai contoh, pada 20 Agustus 2009 terjadi keadaan 2 maka puasa awal Ramadhan adalah 22 Agustus. Pada 19 September terjadi keadaan 3, hilal sekitar 6 derajat, maka 1 Syawwal jatuh pada 20 September. Terakhir, 16 Nopember terjadi keadaan 1 maka awal Dzulhijjah jatuh pada 18 Nopember. Tahun depan, 2010, akan terjadi perbedaan pada dari raya idzul kurban, sedangkan awal Ramadhan dan Syawwal sama. Pada 29 Dzulqo’dah yakni 6 Nopember terjadi keadaan 4, tinggi hilal satu derajat sekian menit. Pengguna wujudul hilal akan berhari raya idzul adha 16 Nopember, sedangkan pengguna imkanu rukyat 17 Nopember.
Perbedaan tidak terjadi jika ada satu kriteria saja, wujudul hilal atau imkanur rukyat saja. Imkanur rukyat merupakan upaya akomodasi hisab dan rukyat yakni mengambil ketinggian tertentu sebagai batasan minimum hilal dianggap dapat dilihat dengan mata. Artinya, di bawah ketinggian ini hilal mustahil dapat dilihat dan pengakuan berhasil melihat hilal akan ditolak. Indonesia dengan beberapa negara tetangga seperti Malaysia, Brunei dan Singapura mengambil kriteria 2 derajat. Wujudul hilal dapat dipandang sebagai keadaan khusus dari imkanu rukyat yakni dengan ketinggian lebih besar dari nol. Menurut pemahaman kelompok ini hilal telah wujud atau eksis meski tidak dapat dilihat.
Keduanya mempunyai masalah. Wujudul hilal terkesan mengabaikan pesan hadits yang memerintahkan mengawali puasa setelah melihat hilal. Sedangkan imkanur rukyat mempunyai kriteria yang tidak seragam. Indonesia menetapkan 2 derajat sedangkan Mesir 4, Jordania 6, Turki 7 dan komunitas muslim Amerika utara 15. Mengapa diambil angka-angka yang berlainan? Mengapa tidak diambil angka ketinggian yang lain? Apakah perbedaan angka tersebut menjamin kesamaan awal bulan di semua negara tersebut?
Al-Qur’an hanya menyebut dua fasa Bulan, sabit (crescent) dan purnama (fullmoon). Fasa sabit dimunculkan dalam dua istilah, ahillah (hilal; QS 2:189) dan urjunu al-qadim (tandan tua; QS 36:39). Meski keduanya memberi penampakan Bulan yang sama tetapi berbeda posisi dan waktu. Ahillah adalah awal waktu tepatnya awal bulan sedangkan urjun akhir bulan.
Dua fasa sabit tersebut mempunyai titik temu yang menandai akhir dari urjun yang sekaligus awal dari ahillah. Titik temu tersebut adalah konjungsi atau ijtimak. Secara teoritis, sesaat setelah konjungsi Bulan memasuki fasa baru (new moon) yaitu Bulan sabit. Dari perspektif ini, new moon identik dengan new month. Ada sebagian umat Islam yang menetapkan keesokan harinya sebagai bulan baru bila konjungsi terjadi sebelum maghrib (keadaan 5). Kriteria awal bulan ini dikenal sebagai ijtimak qoblal ghurub (konjungsi sebelum maghrib).
Kemajuan astronomi sebenarnya memungkinkan umat Islam melakukan keputusan revolusioner dengan menjadikan keadaan 5 sebagai kriteria baru awal bulan. Argumennya sederhana, visibilitas merupakan kriteria yang wajib ketika menggunakan rukyat, karena hasil rukyat hanya satu dari dua hal yaitu terlihat atau tidak terlihat. Sedangkan dengan hisab, hilal dapat diketahui eksis atau tidak sehingga kriteria eksistensi telah cukup.
Wujudul hilal dapat dipandang sebagai jalan tengah dari keadaan 5 dan keadaan 3, yakni mengambil nol hilal bukan pada saat konjungsi tetapi saat maghrib. Sdangkan semangat imkanur rukyat cukup baik tetapi ada masalah mendasar pada penetapan angka minimum. Kriteria 2 derajat dari imkanur rukyat di Indonesia merupakan kesepakatan belaka, bukan alasan astronomis. Menurut para ahli astronomi, dengan kondisi alam yang dimiliki, hilal di Indonesia secara umum bisa dilihat jika ketinggian minimum 9 derajat. Dari sisi ini pengambilan nol menjadi lebih berdasar. Secara alamiah segala sesuatu dimulai dari nol. Al-Qur’an menyebut fase Bulan purnama (QS 84: 18) dengan redaksional sumpah, ”Demi Bulan ketika purnama”. Menurut para ahli tafsir ayat seperti ini mempunyai makna istimewa. Sayangnya, sampai saat ini ayat dan fenomena Bulan purnama belum mendapat perhatian serius termasuk dalam menyelesaikan perselisihan awal bulan. Padahal Rasul saw telah mengistimewakannya dengan cara menganjurkan berpuasa sunnah selama tiga hari pada saat purnama seperti yang disebutkan hadits tentang ayyamul bidh atau hari-hari putih. Hadits ini misalnya tertulis dalam kitab sunan Nasai nomor 2377, 2379, 2380, 2384, 2385, 2386, 2387, 2388, 2389 dan musnad Imam Ahmad hadits nomor 19431, 19432 dan 19433.
Rasul saw telah memberi kriteria definit tentang hari putih yaitu hari ke 13, 14 dan 15. Berdasar kriteria ini hari-hari putih dapat diartikan sebagai hari yang terang terus tanpa jeda gelap di antara siang dan malamnya. Keadaan ini terjadi ketika matahari yang menerangi Bumi tenggelam di ufuk barat, Bulan telah berada di atas ufuk timur dalam kondisi bundar dan menerangi Bumi.
Pada hari ke 16 dan 17 Bulan juga masih tampak bundar dan menerangi Bumi ketika malam tetapi pada tanggal 16 ke atas Bulan masih di bawah ufuk timur ketika Matahari tenggelam. Akibatnya ada jeda gelap beberapa saat ketika siang diganti malam sehingga tidak didefinsikan sebagai hari-hari putih.
Bila ada dua tanggal 1 berarti juga ada dua tanggal 15. Menurut pemahaman dari hadits, tanggal 15 yang benar adalah hari yang saat maghribnya Bulan di atas ufuk bukan di bawah ufuk. Dus, dapat diuji. Kami dari Laboratorium Fisika Teori dan Filsafat Alam (LaFTiFA) ITS telah melakukan pengamatan di pantai timur Surabaya pada tahun 2007-2008.
Masalahnya sekarang, ada banyak sistem dan metoda hisab yang pernah dikembangkan dan mempunyai tingkat akurasi berbeda. Sebagai contoh ekstrim, ada sistem hisab yang digunakan untuk memprediksi gerhana Matahari total Agustus 1983 dan meleset sekitar enam jam tetapi ada yang sangat akurat yakni dengan kesalahan nol koma nol nol sekian detik. Untuk masalah terakhir ini serahkan kepada para ahli astronomi ITB untuk memberi rekomendasi metoda mutakhir mana yang paling akurat dan seharusnya digunakan untuk hisab. Artikel ini sengaja hanya membahas hisab karena hanya dengan hisab kalender hijriyah dapat direalisasikan. Selain lebih murah, hisab juga bisa diuji oleh kalayak luas dan dapat terhindar dari muatan dan infiltrasi politis. Wallahu a’lam.
*) Fisikawan Teoritik ITS; Penulis buku Ayat-Ayat Semesta. Email: purwanto@physics.its.ac.id
Catatan: Naskah di atas adalah naskah asli. Versi Republika (setelah diedit) tanpa bagian yang ditebalkan.
Selasa, 13 Januari 2009
Di Balik Nobel Fisika 2008
tapi lewat alias tidak dimuat)
Oleh : Agus Purwanto,D.Sc
“Akhir yang manis dari penantian panjang”, ungkap penulis ketika mengetahui nama-nama penerima nobel fisika 2008. Betapa tidak, tahun 1998 sebelum kembali ke tanah air LT Handoko sejawat penulis di Universitas Hiroshima bercerita bahwa komunitas fisika teori Jepang berharap Maskawa mendapat nobel fisika.
Sebenarnya, tidak ada ahli fisika di dunia yang bekerja dengan misi khusus mendapat nobel, tidak terkecuali Yoichiro Nambu, Makoto Kobayashi dan Toshihide Maskawa. Mereka bekerja karena mencintai pekerjaannya, mencintai ilmu. Tetapi dalam perkembangannya ada alasan yang membuat komunitas fisika teori Jepang berharap nobel bagi sejawat senegara mereka.
Nobel fisika 2008 berbeda dari nobel fisika 1979 yang juga diberikan kepada tiga ahli fisika teori yaitu Abdus Salam, Sheldon Glashow dan Steven Weinberg. Ketiga fisikawan ini berasal dari negara berbeda, Salam dari Pakistan dan tinggal di Itali sedangkan dua lainnya dari Amerika tetapi mendapatkan nobel fisika untuk satu teori yang sama yaitu teori unifikasi gaya elektrolemah. Teori ini sekarang sering disebut sebagai teori Glashow-Salam-Weinberg.
Sebaliknya Nambu, Kobayashi dan Maskawa berasal dari satu negara tetapi mendapatkan nobel untuk dua teori berbeda. Nambu yang kelahiran Tokyo 1921 dan mendapatkan gelar dotornya di Universitas Tokyo tahun 1952 serta menjadi profesor di Universitas Chicago sejak 1958 dianugerahi nobel karena gagasan perusakan simetri spontannya (sponatenous symmetry breaking, SSB) dalam model sigma.
Gagasan ini dimuat dalam prosiding konferensi internasional kesepuluh fisika energi tinggi di Jenewa tahun 1960. Satu tahun kemudian Jeffrey Goldstone dari Amerika menulis generalisasi SSB untuk fermion di jurnal Nuovo Cimento. Hasil sampingnya berupa boson takbermassa. Di buku-buku teks SSB kadang diidentifikasi dengan dua nama Nambu-Goldstone tetapi lebih sering hanya satu nama yaitu Goldstone dengan sebutan teorema Golsdtone.
Gagasan Goldstone disempurnakan Peter Higgs tahun 1964 dengan mekanisme pembangkitan massa Higgs yang terkenal dalam fisika partikel modern. Mekanisme terakhir ini memberi bonus partikel Higgs yang menjadi perburuan di Large Hadron Collider (LHC). Dengan demikian, jika SSB mendapatkan nobel maka yang seharusnya menerima adalah trio Nambu, Goldstone dan Higgs.
Kobayashi dan Maskawa (KM) mendapatkan penghargaan karena ide mereka yang dipublikasi di jurnal Progress of Theoretical Physics tahun 1973 dengan judul CP violation in the renormalizable theory of weak interaction. KM mengintrodusir matriks bauran dimensi tiga yang memuat dua hal baru. Pertama, kuark generasi ketiga bottom dan top, kedua, fasa CP (charge conjugation dan parity). Fasa dan simpangan CP merupakan salah satu syarat terjadinya alam semesta saat ini yang asimetri dari kondisi awal simetri.
Konfirmasi kuark top di CDF Fermilab tahun 1998 membangkitkan harapan nobel bagi KM. Konfirmasi simpangan CP melalui B-factory di akselerator linier Stanford (SLAC-B) dan Belle di pusat riset fisika energi tinggi (KEK) Tsukuba tahun 2001 meneguhkan harapan ini.
Tahun 1963, Nicola Cabibbo dari Itali menulis matriks bauran dua dimensi di Physical Review Letter (PRL). Dengan demikian, matriks KM dapat dipandang sebagai perluasan dari matriks Cabibbo sehingga sampai sekarang matriks ini disebut matriks CKM (Cabibbo-Kobayashi-Maskawa). Karenanya, nobel mestinya tidak hanya diberikan kepada KM melainkan juga Cabibbo.
Nobel fisika tahun ini juga menyisakan sisi lain yang menarik bagi orang Indonesia. Setelah peraih nobel fisika 2008 diumumkan, ahli fisika teori Dr Laksana Tri Handoko mendapat email dengan bunyi,” Thank you for the works contributed to the establishing the theory...” dari koleganya di Jepang. Handoko memang mempunyai hubungan personal yang kuat khususnya dengan Kobayashi sebagai host-profesor ketika berada di KEK Tsukuba antara tahun 1996-1997.
Ungkapan terimakasih tersebut terkait dengan riset Handoko dan koleganya dari Jepang, Jerman, Korsel dan Kanada pada kurun 1995-2002 yang mengkaji perusakan simetri global pada materi nuklir meson B. Kuark b berada di alam dalam bentuk materi nuklir meson B. Karenanya eksperimen untuk membuktikan teori ini selalu melibatkan meson B dan peluruhannya. Kalkulasi teori terkait dengan aneka mode peluruhan dan hasil akhirnya ini banyak dilakukan oleh Handoko.
Ada beberapa ilmuwan Indonesia yang turut berperan pada proses pembuktian eksperimental yang menjadi kunci penentu anugerah nobel untuk KM. Pada eksperimen pencarian kuark top misalnya, salah seorang anggota kolaborasi D-zero (D0) adalah van de Brink mahasiswa Indonesia alumni jurusan fisika UI.
Eksperimen yang lebih penting dan merupakan kunci utama konfirmasi kebenaran teori KM adalah B-factory. Selama ini ada dua fasilitas eksperimen utama yang bersaing ketat yaitu eksperimen BaBar di SLAC Stanford dan Belle di KEK Tsukuba. Di dalam kolaborasi BaBar terdapat dua ilmuwan Indonesia, Romulus Godang dan Rahmat.
Romulus yang asisten profesor di Universitas South Alabama dan alumni jurusan fisika USU bergabung sejak awal dimulainya kolaborasi BaBar sampai sekarang. Rahmat yang menyelesaikan program doktoralnya di University of Oregon melanjutkan program post-doctoral di Universitas Mississippi juga masih aktif di eksperimen BaBar. Demikian pula Haryo Sumowidagdo, alumni jurusan fisika UI, sampai saat ini masih bergabung di eksperimen D0.
Maskawa barangkali sosok yang paling unik dari trio peraih nobel fisika tahun ini. Penulis pernah dua kali bertemu Profesor Maskawa, tahun 1999 di universitas Hiroshima dan tahun 2001 di Yukawa Institue for Theoretical Physics (YITP) universitas Kyoto institusi tempat Maskawa. Ada hal yang tidak dapat penulis lupakan dari kedua pertemuan tersebut.
Ketika di universitas Hiroshima seorang teman membisiki penulis bahwa Maskawa tidak dapat berbicara dengan bahasa Inggris sehingga bila mau bicara dengannya harus dengan bahasa Jepang. Hal yang sama juga terjadi ketika di YITP, host-profesor penulis di sana berbisik sama. ”Shinjirarenai (tidak dapat dipercaya)”, demikian reaksi dalam hati ketika dibisiki untuk pertama kalinya.
Dari kisah di depan, ada dua pelajaran yang dapat diambil oleh fisikawan dan ilmuwan Indonesia umumnya. Pertama, gagasan Nambu maupun KM yang akhirnya mendapatkan nobel dimuat di prosiding dan jurnal dengan impact factor atau peringkat tidak tinggi. Reputasi ilmuwan secara umum ditentukan oleh jumlah publikasi dan peringkat jurnalnya. Hitoshi Murayama dari University of California Berkeley dan Ernest Ma dari University of California Riverside, misalnya, selalu berusaha menulis tema terdepan dan mempublikasikannya di PRL yang berimpact factor paling tinggi di antara jurnal fisika.
Semangat seperti Murayama maupun Ma sangat positip tetapi sangat sulit bagi ilmuwan di negara berkembang seperti Indonesia yang mempunyai aneka keterbatasan. Beberapa senior kita tidak mau publikasi bila tidak di jurnal papan atas dan akhirnya memang tidak mempunyai publikasi atau karya satu pun sampai masa pensiunnya. Semangat umum ilmuwan Jepang patut ditiru, publikasikan hasil riset di jurnal internasional apapun. Kita tidak perlu menghakimi karya sendiri tetapi biarkan orang lain menilainya. Bagi kita yang terpenting adalah berkarya dan berkarya.
Kedua, kolaborasi akan menutupi kekurangan dan kelemahan individual para ilmuwan. Di Indonesia, ilmuwan khususnya fisikawan teori jumlahnya baru belasan. Mereka tidak boleh lagi bangga dengan institusi sendiri maupun almamater tetapi tanpa karya, tanpa publikasi. Sekarang banyak universitas kita yang mengakselerasi lahirnya guru-guru besar baru untuk meningkatkan status universitas. Sayangnya, dari setiap pengukuhan dapat dilihat bahwa guru-guru besar ini umumnya tidak mempunyai publikasi internasional kecuali di saat menempuh program doktoralnya di luar negeri.
Kondisi paradoks tersebut dapat diatasi melalui kolaborasi. Salah satu contoh kolaborasi adalah Indonesia Center for Theoretical dan Mathematical Physics (ICTMP) yang melibatkan beberapa ahli fisika teori dalam dan luar ITB. Upaya ini memberi hasil dengan mulai munculnya hasil-hasil riset mereka di beberapa jurnal internasional. Jumlah ahli fisika teori Indonesia sekarang belum berubah secara signifikan dibanding tiga puluh tahun lalu. Tetapi kolaborasi telah membedakan dua generasi ini, publikasi menandai generasi yang belakangan.
Nobel bukanlah tujuan utama, yang lebih penting adalah tumbuhnya sikap dan tradisi ilmiah. Penyelesaian berbagai masalah akan jauh lebih efektif bila berdasar pemahaman sains dan tidak sekedar mengandalkan common sense. Di antara negara dengan jumlah penduduk terbesar seperti Cina, India, Amerika dan Indonesia hanya negeri kita yang belum menguasai ilmu pengetahuan. Padahal tanpa ilmu pengetahuan teoritis maupun praktis kita tidak akan mampu mengelola sumber daya alam yang melimpah yang pada gilirannya kita menjadi bangsa yang bergantung pada bangsa lain.
Balik Sukses Olimpiade
Republika, Sabtu, 5 Mei 2007
Agus Purwanto*)
Tim Olimpiade Fisika Indonesia (TOFI) meraih dua emas, tiga perak dan dua perunggu di Asian Physics Olympiad (APhO) ke-8 di Shanghai China 22-28 April 2007. Hasil ini, menjadikan Indonesia sebagai satu dari empat negara yang mampu menyabet emas APhO, sekaligus menempel ketat China. Meskipun demikian, olimpiade fisika dan cabang ilmu lainnya tetap perlu dikritik.
Yohanes Surya (YS) sang arsitek TOFI seperti berhasil memecah kebekuan pendidikan Indonesia. Mulanya ia bina siswa-siswi yang disiapkan dalam ajang International Physics Olympiad (IPhO) dengan biaya sendiri. Upaya ini membuahkan hasil yakni diraihnya medali perunggu, perak dan emas. YS dengan TOFInya membuat kejutan lebih lanjut dengan ungkapan provokatifnya “The First Step to Noble Prize”.
Orang Indonesia seperti terhipnotis. Akibatnya, penyelenggaraan IPhO ke-33 di Denpasar tahun 2002 konon menjadi IPhO paling istimewa dan mewah. Selain diselenggarakan di hotel bintang lima juga dibuka oleh Presiden Megawati. Demikian pula APhO ke-6 2004 di Pekanbaru yang dibuka menteri kesra Jusuf Kalla. Bandingkan dengan pembukaan APhO ke-8 yang hanya dibuka oleh YS sebagai presiden APhO dan dihadiri wakil walikota Shanghai (Kompas, 23/4/2007).
Tahun lalu Pesiden SBY menyambut para siswa TOFI bak pahlawan. YS dipilih sebagai wakil ahli pendidikan yang mendapat kesempatan bertemu presiden Bush yang berkunjung ke Indonesia.
Desakralisasi Olimpiade
Kini kita dilanda demam olimpiade. Sejak tahun 2004, di beberapa propinsi diadakan pelatihan guru-guru untuk mempersiapkan siswa-siswi ke aneka olimpiade. Aneka kompetisi tingkat SD sampai SMU dinamai olimpiade. Ada olimpiade fisika, olimpiade matematik, kimia, biologi, komputer, ekonomi bahkan di lingkungan Muhammadiyah ada olimpiade al-Islam.
Dari sekian banyak olimpiade ilmu barangkali olimpiade fisika yang terkesan paling wah. Begitu mendengar, si fulan meraih medali IPhO maka kita membayangkan sosok jenius mirip Newton, Einstein atau Hawking. Atau terbayang orang nyentrik yang berkutat di laboratorium dan sedang membuat formula bom atom Hiroshima yang dahsyat itu.
Masyarakat cukup silau dan bangga dengan prestasi siswa-siswi SMU Indonesia di ajang IPhO dan APhO. Kesan wah bahkan sakral terhadap TOFI tidak terlalu salah. YS berulang-ulang menyatakan bahwa soal IPhO dan APhO setara dengan soal doktor. Pertanyaannya, bagaimana mungkin mereka dapat mengatasi soal-soal sulit tersebut? Sedemikian hebatnya sekolah-sekolah kita?
Siswa yang lolos seleksi sampai tingkat propinsi dikamp dan dididik khusus fisika selama beberapa bulan oleh para doktor fisika. TOFI tahun ini, misalnya, telah dikamp di Karawachi sejak September 2006. YS yang pernah menulis buku “Mekanika Tanpa Kalkulus” menyatakan siswa SLTP yang ingin lolos masuk TOFI harus tamat kalkulus yakni limit, diferensial dan integral sehingga saat SMU bisa konsentrasi belajar fisika.
Kesan sakral akan berkurang bila kita tahu garis besar pelaksanaan IPhO dan APhO. Sebelum diujikan, soal dan solusinya didiskusikan dengan semua pembimbing dan soal bisa mengalami modifikasi. Pada tahap ini dibahas dan disepakati pula skor nilai setiap nomor dan setiap tahap jawaban. Untuk menghindari kebocoran panitia melakukan pengamanan dan aturan ekstra ketat.
Soal yang telah disepakati dan diterjemahkan ke dalam bahasa ibu setiap negara peserta diujikan. Waktu ujian teori dan eksperimen masing-masing lima jam pada hari yang berbeda. Selanjutnya adalah tahap penilaian jawaban. Penilaian dilakukan oleh juri dan masing-masing pembina. Copy nilai versi pembina dan juri ditukar dan dibandingkan.
Tahap berikutnya adalah moderasi, yakni penyesuaian bila terjadi perbedaan antara nilai dari juri dan pembimbing. Bila nilai juri lebih besar dari pembimbing bisa dipastikan tidak ada protes. Sebaliknya bila nilai juri lebih kecil apalagi cukup besar selisihnya maka akan terjadi perdebatan dan tawar-menawar nilai yang cukup alot dan seru antara pembina dan juri. Pada IPhO 2002 ada seorang ibu pembina yang tidak dapat menahan tangis lantaran gagal memperjuangkan kenaikan nilai siswanya. Dus, peran dan kejelian pembina sangat menentukan.
Tahap akhir adalah penentuan peraihan medali emas, perak, perunggu dan kehormatan yang ditentukan sesuai selang nilai tertentu. Karena itu, peraih medali emas olimpiade bisa cukup banyak dan semua anggota tim suatu negara tertentu bias mendapat emas.
Menertawakan Diri Sendiri
Secara umum, siswa yang masuk TOFI memang siswa yang cemerlang dan kita bangga atas prestasi mereka. Tetapi benarkah pemerintah mengalokasikan dana 100 milyar untuk keberangkan tim A (belum tim B) ke Shanghai (Kompas, 20/4/2007)?. Untuk apa saja uang ini? Bukankah jumlah itu bisa untuk melahirkan sedikitnya 200 doktor baru di luar negeri ketimbang delapan doktor produk TOFI? Sekarang ini banyak doktor kita yang membagi waktu sebulan menjadi dua pekan di tanah air dan dua pekan di Malaysia. Sebabnya selain untuk menutupi kebutuhan ekonomi juga mendapat fasilitas riset yang memadai di sana.
Apa yang ingin kita capai dengan aneka olimpiade? Jelas, sukses aneka olimpiade internasional atau pun nasional sama sekali tidak mewakili sukses pendidikan kita. Sukses di APhO hanya memperlihatkan bahwa sebenarnya kita mempunyai kemampuan dasar yang sama dengan negara manapun termasuk negara maju. Kenyataan ini juga bisa dilihat dari prestasi mahasiswa Indonesia di luar negeri. Tetapi sistem di dalam negeri membuat semua potensi tersebut sulit berkembang dan tumbuh menjulang.
Ketika presiden dan para petinggi lainnya menyambut dan memberi ucapan selamat misalnya kepada TOFI sejatinya mereka sedang menertawakan diri sendiri. Mereka seolah sedang mengucapkan “Selamat, kalian jadi juara karena telah menabrak sistem yang telah kita buat”.
Betapa tidak, emas IPhO atau APhO diperoleh oleh siswa yang meninggalkan program normal sekolah untuk dilatih bukan oleh guru sendiri tetapi para doktor fisika sekitar enam bulan di Karawachi. Singkatnya, mereka menjadi juara karena keistimewaan sistem dan dispensasi yang mereka dapatkan. Anggota TOFI yang sekarang kelas tiga SMU mendapat dispensasi pelaksanaan UN dan baru menjalani UN 14-16 Mei 2007.
Sekarang ada Olimpiade Sains Nasional yang diselenggarakan setiap tahun. Strategi guru, sekolah dan diam-diam sepakati diknas lokal untuk melatih para atlet dan mendulang sebanyak mungkin medali adalah kebijakan dispensasi. Artinya, siswa diperkenankan dilatih pelajaran tertentu dan meninggalkan aneka pelajaran lainnya tetapi nantinya tetap naik kelas atau lulus sebagaimana siswa-siswa lainnya. Tanpa jaminan seperti ini hampir dapat dipastikan tidak ada siswa yang mau mengikuti olimpiade.
Bila demikian untuk apa medali APhO dan IPhO bila harus menyimpang dan menggunakan dana sangat besar? Akankah prestasi APhO menjadi sekedar penghibur diri dari kemiskinan prestasi? Kita tidak ingin IPhO dan sejenisnya menjadi lahan baru penghamburan uang negara. APhO dan IPhO diikuti berbagai negara termasuk negara maju, tetapi menariknya Jepang belum pernah berpartisipasi sebagai peserta.
Pemilu ITS dan Kepemimpinan Riset
Surya, Senin 16 Oktober 2006
Agus Purwanto*)
ITS kembali menyelenggarakan pemilihan rektor periode 2007-2011. Tujuh dari 57 staf dosen yang memenuhi persyaratan administratif maju sebagai calon rektor (carek). Doktor berpangkat lektor kepala dan pernah jadi pejabat jurusan atau guru besar adalah syarat minimum carek. Ada beberapa catatan yang perlu diberikan di sekitar kepemimpinan ITS dan dunia akademik secara umum.
Sejak 2003 ITS dipimpin oleh orang-orang muda. Dari empat petinggi, rektor dan tiga pembantunya hanya pembantu rektor bidang akademik yang berusia di atas 50 lainnya 40 tahun awal. Para pimpinan baru ITS bagai berlomba mewujudkan adagium life begins at fourty. Hasilnya, beberapa fasilitas olah raga, gedung, taman dan jalan baru dibangun. ITS jadi tampak tidak kumuh.
Obsesi pimpinan ITS yang menyolok adalah membuat ITS dikenal lebih luas termasuk oleh komunitas internasional. Sebagai realisasi, rektor sering muncul dalam wawancara di media cetak, bahkan suatu waktu muncul di radio BBC. Dosen yang menulis di media massa atau jurnal internasional diberi insentif. Tokoh bisnis Hermawan Kertajaya diundang sebagai narasumber dalam diskusi umum bertema ITS Menuju Perguruan Tinggi KelasInternasional.
Dalam setiap peringatan dies natalis, ITS mengundang orang-orang terkenal seperti Emha Ainun Najib, Thontowi Yahya dan Ki Anom Suroto. Bahkan, dies juga pernah diisi istighotsah yang dikemas dalam tema dzikir ketentraman dan diikuti ribuan jamaah dari luar ITS.
Masih dalam upaya opini building. Tahun lalu, rektor ITS maju dalam pemilihan Ketua ICMI pusat. Rektor juga aktif melakukan lobi. Hasilnya ITS mendapat jatah mahasiswa asing dan mahasiswa titipan serta ada staf ITS yang menjadi sekretaris atase kebudayan di salah satu negara di Eropa. Untuk mendapatkan dana tambahan, ITS juga menerima mahasiswa baru melalui jalur kemitraan.
Mahasiswa didorong dan difasilitasi untuk tampil dalam berbagai lomba ilmiah nasional maupun internasional. Robotika dan kapal menjadi andalan ITS. Untuk memacu aktivitas ini terkadang pembantu rektor bahkan rektor sendiri menemani mahasiswa misalnya selama lomba robotika.
Meskipun demikian, keberhasilan tersebut tetap mendapat kritik seperti yang muncul ketika temu kenal carek. Pembangunan fasilitas pendukung memang sangat mengesankan tetapi sayang mahasiswa harus selalu antri beberapa praktikum karena fasilitas laboratorium yang sangat terbatas. Mahasiswa baru menjalani praktikum yang tidak sesuai dengan materi kuliah yang sedang dijalani. Sebabnya sederhana, tidak ada anggaran bagi penyediaan peralatan laboratorium yang semestinya.
Agenda Mendatang
Masalah yang belum teratasi adalah jumlah mata kuliah pilihan yang terlalu banyak dan menejemen ruang kuliah. Mata kuliah terlalu banyak disebabkan tidak dimungkinkannya mahasiswa mengambil mata kuliah pilihan di jurusan lain. Padahal pola kuliah lintas jurusan ini sudah lazim misalnya di ITB juga di luar negeri.
Akibat jumlah besar ini, selain kesulitan mendapat ruang kuliah, beban mengajar seorang dosen menjadi terlalu besar yang berakibat mengurangi perannya yang lebih serius yakni riset. Sebagai contoh, penulis semester ini harus mengampu 15 SKS sedangkan yunior yang baru selesai program master mendapat 12 SKS.
Ruang kuliah juga menjadi persoalan di ITS. Para dosen cukup sulit mendapatkan ruang bila ingin memberi kuliah atau ujian tambahan yang di luar jadwal resmi meski banyak ruang kosong. Padahal ketika penulis masih mahasiswa S1 dan 3 tahun menjadi asisten kuliah tidak pernah menemui kesulitan bila hendak memberi kuliah asistensi.
Persoalan yang tidak kalah serius adalah dipertahankannya pandangan lama bahwa FMIPA didirikan untuk melayani jurusan teknik. Pandangan ini bermuara pada ketidakadilan dan eksploitasi ITS kepada FMIPA.
Selama ini FMIPA diminta menangani perkuliahan program D3 di beberapa jurusan di fakultas teknik padahal program tersebut adalah program lokal jurusan bersangkutan. Kerja dapat tapi rewardnya tidak memadai, konon katanya karena memang bagian dari tugas layanan FMIPA.
Demikian pula terhadap operasionalisasi program kemitraan yang bahan bakunya cukup parah. Dosen-dosen FMIPA harus bekerja ekstra keras untuk membantu program kemitraan. Bila tidak, separoh lebih mahasiswa baru ITS bisa rontok sebagai mahasiswa di tahun pertama, atau setidaknya tiga per empat mahasiswa baru harus tidak lulus fisika dan matematika dasar. Falsafah melayani jurusan teknik sudah tidak sesuai dengan zeitgeist (semangat jaman) yakni kesetaraan dan interdependensi.
Pimpinan baru ITS harus mampu mengatasi masalah-masalah tersebut agar perkuliahan menjadi efektif. Bila tidak, international recognition akan menjadi jauh panggang dari api.
Kepemimpinan Riset
Menurut penulis, ITS telah salah kaprah ketika mengundang Hermawan Kertajaya untuk memberi resep agar ITS menjadi PT level internasional. ITS adalah lembaga pendidikan tinggi dan idealnya juga (harus) lembaga riset. Karena itu, international recognition otomatis terpenuhi jika dan hanya jika ITS mempunyai produk orisinil dari riset yang dapat muncul dalam dua bentuk yaitu patent atau publikasi di jurnal internasional.
Apa yang dilakukan pimpinan ITS selama ini termasuk partisipasi dalam lomba robot internasional hanyalah sarana antara dan bukan hal yang utama serta fundamental dari dunia riset. Ujung tombak lembaga riset adalah laboratorium. Karena itu, untuk melangkah dan mencapai level internasional pimpinan ITS harus mengajak bicara para ketua laboratorium. Apa rencana setiap laboratorium dan apa masalahnya.
Lebih lanjut, ukuran keberhasilan para staf khususnya yang sudah doktor atau guru besar juga dua hal tersebut, bukan jabatan struktural. Posisi sekretaris dan ketua jurusan, dekan, rektor dan para pembantunya ke depan harus dipegang oleh orang tua yang peak performance sudah klimaks alias produktivitas risetnya sudah turun. Kisaran usia untuk pejabat struktural idealnya adalah di atas 50 tahun. Staf di bawah usia itu harus diberi kesempatan dan difasilitasi untuk riset sampai menghasilkan karya-karya orisinil.
Ada pengalaman menarik di sekitar kepemimpinan riset ini. Tahun 1997 saat penulis masuk universitas Hiroshima (UH) Profesor Taizo Muta (TM) sedang menjadi dekan Graduate School of Science UH. Setiap mahasiswa fisika yang menekuni Kromodinamika Kuantum tahu nama TM dari publikasinya tentang skema renormalisasi medan di tahun 1978. Tetapi sejak jadi dekan TM sering dirasani karena kurang produktif, kualitas publikasi dan tidak pernah berkumpul dengan komunitas sebidang.
Rasan-rasan minor menguat menjelang TM pensiun dan maju sebagai carek UH tahun 2000. Padahal saat itu, TM merupakan professor di UH yang publikasinya paling banyak dikutip yakni sampai 904 kali. TM menjadi rektor UH pada tahun 2001 di usia 65 tahun yakni menjelang masa pensiunnya dan terpilih untuk kedua kalinya pada tahun 2004.
Pelajaran yang bisa diambil dari cerita TM yang sempat satu tahun menjadi supervisor penulis adalah TM maju menjadi birokrat setelah merasa tidak produktif dalam riset.
Saat penulis berkunjung ke UH sebagai Visiting Profesor Pebruari-Maret lalu TM bercerita bahwa misinya kini adalah menjadikan UH terkenal. TM menolak saya undang sebagai pembicara dalam lokakarya fisika teori yang akan diadakan tahun depan di ITS dengan alasan sudah tidak berkecimpung di fisika. Artinya, ia tahu diri.
Bagi para carek ITS, selamat berkompetisi untuk menjadi rektor. Kini saatnya memikirkan, mengatur dan melengkapi hal-hal yang substansial bagi tradisi ilmiah dan aktivitas riset. Mahasiswa sudah membayar mahal, mereka punya hak untuk mendapat pelayanan pendidikan yang benar dan memadai.
Para staf muda yang masih produktif dalam riset juga harus didukung dan difasilitasi. Jangan biarkan mereka mati muda sebagai ilmuwan, dan jangan beri peluang untuk berfikir hijrah ke negeri tetangga seperti Malaysia karena di sana difasilitasi penuh. Merekalah yang akan menghasilkan publikasi atau patent yang selanjutnya membuat ITS diakui eksistensinya oleh komunitas ilmiah internasional.