Opini: Republika, Jum’at 21 Agustus 2009
Agus Purwanto*)
Tahun ini, menurut ahli hisab tidak terjadi perbedaan di antara kelompok besar umat Islam Indonesia dalam mengawali awal Ramadhan, Syawwal dan Dzulhijjah. Tetapi, tahun 2010 akan terjadi perbedaan. Terjadinya perbedaan awal bulan atau bulan baru (new month) di tempat yang sama jelas menyiratkan adanya sesuatu yang salah.
Perbedaan awal bulan qomariyah dapat diketahui jauh sebelumnya karena adanya perbedaan kriteria awal bulan di antara sesama pengguna hisab. Kriteria tersebut adalah imkanur rukyat (batas bawah kemungkinan hilal dapat dilihat) dan wujudul hilal (hilal eksis meski tidak dapat dilihat). Bulan purnama dapat dijadikan hakim pemutus awal bulan mana yang benar yang selanjutnya juga memberi arahan kriteria mana yang mestinya ditetapkan.
Prinsip penentuan awal bulan qomariyah adalah sebagai berikut. Pertama menentukan waktu ijimak (conjunction) pada hari ke 29. Ijtimak adalah keadaan ketika posisi Bumi, Bulan dan Matahari berada pada satu garis bujur astronomis. Pada posisi ini bagian Bulan yang terkena sinar matahari sepenuhnya membelakangi bumi.
Bila ijtimak terjadi setelah maghrib (merupakan saat pergantian tanggal dalam Islam) maka usia bulan qomariyah adalah 30 hari, awal bulan masih lusa hari. Bila keadaan ini yang terjadi, sebut sebagai keadaan 1, maka tidak akan terjadi perbedaan awal bulan. Bila ijtimak terjadi sebelum maghrib maka langkah kedua dilakukan yakni menentukan posisi relatif antara Bumi, Bulan dan Matahari pada saat maghrib. Bila hilal negatip (keadaan 2) maka tanggal dan bulan baru juga lusa harinya. Tetapi bila hilal positip maka akan timbul dua kemungkinan. Pertama, tinggi hilal lebih besar dari 2 derajat (keadaan 3) maka keesokan hari adalah tanggal satu bulan baru. Keadaan ini juga tidak menimbulkan perbedaan. Bila kurang dari dua derajat (keadaan 4) akan terjadi perbedaan. Penganut kriteria wujudul hilal menyatakan keesokan hari adalah bulan baru, tetapi penganut imkanu rukyat menyatakan bulan baru adalah lusanya. Dus, perbedaan hanya terjadi pada keadaan 4.
Sebagai contoh, pada 20 Agustus 2009 terjadi keadaan 2 maka puasa awal Ramadhan adalah 22 Agustus. Pada 19 September terjadi keadaan 3, hilal sekitar 6 derajat, maka 1 Syawwal jatuh pada 20 September. Terakhir, 16 Nopember terjadi keadaan 1 maka awal Dzulhijjah jatuh pada 18 Nopember. Tahun depan, 2010, akan terjadi perbedaan pada dari raya idzul kurban, sedangkan awal Ramadhan dan Syawwal sama. Pada 29 Dzulqo’dah yakni 6 Nopember terjadi keadaan 4, tinggi hilal satu derajat sekian menit. Pengguna wujudul hilal akan berhari raya idzul adha 16 Nopember, sedangkan pengguna imkanu rukyat 17 Nopember.
Perbedaan tidak terjadi jika ada satu kriteria saja, wujudul hilal atau imkanur rukyat saja. Imkanur rukyat merupakan upaya akomodasi hisab dan rukyat yakni mengambil ketinggian tertentu sebagai batasan minimum hilal dianggap dapat dilihat dengan mata. Artinya, di bawah ketinggian ini hilal mustahil dapat dilihat dan pengakuan berhasil melihat hilal akan ditolak. Indonesia dengan beberapa negara tetangga seperti Malaysia, Brunei dan Singapura mengambil kriteria 2 derajat. Wujudul hilal dapat dipandang sebagai keadaan khusus dari imkanu rukyat yakni dengan ketinggian lebih besar dari nol. Menurut pemahaman kelompok ini hilal telah wujud atau eksis meski tidak dapat dilihat.
Keduanya mempunyai masalah. Wujudul hilal terkesan mengabaikan pesan hadits yang memerintahkan mengawali puasa setelah melihat hilal. Sedangkan imkanur rukyat mempunyai kriteria yang tidak seragam. Indonesia menetapkan 2 derajat sedangkan Mesir 4, Jordania 6, Turki 7 dan komunitas muslim Amerika utara 15. Mengapa diambil angka-angka yang berlainan? Mengapa tidak diambil angka ketinggian yang lain? Apakah perbedaan angka tersebut menjamin kesamaan awal bulan di semua negara tersebut?
Al-Qur’an hanya menyebut dua fasa Bulan, sabit (crescent) dan purnama (fullmoon). Fasa sabit dimunculkan dalam dua istilah, ahillah (hilal; QS 2:189) dan urjunu al-qadim (tandan tua; QS 36:39). Meski keduanya memberi penampakan Bulan yang sama tetapi berbeda posisi dan waktu. Ahillah adalah awal waktu tepatnya awal bulan sedangkan urjun akhir bulan.
Dua fasa sabit tersebut mempunyai titik temu yang menandai akhir dari urjun yang sekaligus awal dari ahillah. Titik temu tersebut adalah konjungsi atau ijtimak. Secara teoritis, sesaat setelah konjungsi Bulan memasuki fasa baru (new moon) yaitu Bulan sabit. Dari perspektif ini, new moon identik dengan new month. Ada sebagian umat Islam yang menetapkan keesokan harinya sebagai bulan baru bila konjungsi terjadi sebelum maghrib (keadaan 5). Kriteria awal bulan ini dikenal sebagai ijtimak qoblal ghurub (konjungsi sebelum maghrib).
Kemajuan astronomi sebenarnya memungkinkan umat Islam melakukan keputusan revolusioner dengan menjadikan keadaan 5 sebagai kriteria baru awal bulan. Argumennya sederhana, visibilitas merupakan kriteria yang wajib ketika menggunakan rukyat, karena hasil rukyat hanya satu dari dua hal yaitu terlihat atau tidak terlihat. Sedangkan dengan hisab, hilal dapat diketahui eksis atau tidak sehingga kriteria eksistensi telah cukup.
Wujudul hilal dapat dipandang sebagai jalan tengah dari keadaan 5 dan keadaan 3, yakni mengambil nol hilal bukan pada saat konjungsi tetapi saat maghrib. Sdangkan semangat imkanur rukyat cukup baik tetapi ada masalah mendasar pada penetapan angka minimum. Kriteria 2 derajat dari imkanur rukyat di Indonesia merupakan kesepakatan belaka, bukan alasan astronomis. Menurut para ahli astronomi, dengan kondisi alam yang dimiliki, hilal di Indonesia secara umum bisa dilihat jika ketinggian minimum 9 derajat. Dari sisi ini pengambilan nol menjadi lebih berdasar. Secara alamiah segala sesuatu dimulai dari nol. Al-Qur’an menyebut fase Bulan purnama (QS 84: 18) dengan redaksional sumpah, ”Demi Bulan ketika purnama”. Menurut para ahli tafsir ayat seperti ini mempunyai makna istimewa. Sayangnya, sampai saat ini ayat dan fenomena Bulan purnama belum mendapat perhatian serius termasuk dalam menyelesaikan perselisihan awal bulan. Padahal Rasul saw telah mengistimewakannya dengan cara menganjurkan berpuasa sunnah selama tiga hari pada saat purnama seperti yang disebutkan hadits tentang ayyamul bidh atau hari-hari putih. Hadits ini misalnya tertulis dalam kitab sunan Nasai nomor 2377, 2379, 2380, 2384, 2385, 2386, 2387, 2388, 2389 dan musnad Imam Ahmad hadits nomor 19431, 19432 dan 19433.
Rasul saw telah memberi kriteria definit tentang hari putih yaitu hari ke 13, 14 dan 15. Berdasar kriteria ini hari-hari putih dapat diartikan sebagai hari yang terang terus tanpa jeda gelap di antara siang dan malamnya. Keadaan ini terjadi ketika matahari yang menerangi Bumi tenggelam di ufuk barat, Bulan telah berada di atas ufuk timur dalam kondisi bundar dan menerangi Bumi.
Pada hari ke 16 dan 17 Bulan juga masih tampak bundar dan menerangi Bumi ketika malam tetapi pada tanggal 16 ke atas Bulan masih di bawah ufuk timur ketika Matahari tenggelam. Akibatnya ada jeda gelap beberapa saat ketika siang diganti malam sehingga tidak didefinsikan sebagai hari-hari putih.
Bila ada dua tanggal 1 berarti juga ada dua tanggal 15. Menurut pemahaman dari hadits, tanggal 15 yang benar adalah hari yang saat maghribnya Bulan di atas ufuk bukan di bawah ufuk. Dus, dapat diuji. Kami dari Laboratorium Fisika Teori dan Filsafat Alam (LaFTiFA) ITS telah melakukan pengamatan di pantai timur Surabaya pada tahun 2007-2008.
Masalahnya sekarang, ada banyak sistem dan metoda hisab yang pernah dikembangkan dan mempunyai tingkat akurasi berbeda. Sebagai contoh ekstrim, ada sistem hisab yang digunakan untuk memprediksi gerhana Matahari total Agustus 1983 dan meleset sekitar enam jam tetapi ada yang sangat akurat yakni dengan kesalahan nol koma nol nol sekian detik. Untuk masalah terakhir ini serahkan kepada para ahli astronomi ITB untuk memberi rekomendasi metoda mutakhir mana yang paling akurat dan seharusnya digunakan untuk hisab. Artikel ini sengaja hanya membahas hisab karena hanya dengan hisab kalender hijriyah dapat direalisasikan. Selain lebih murah, hisab juga bisa diuji oleh kalayak luas dan dapat terhindar dari muatan dan infiltrasi politis. Wallahu a’lam.
*) Fisikawan Teoritik ITS; Penulis buku Ayat-Ayat Semesta. Email: purwanto@physics.its.ac.id
Catatan: Naskah di atas adalah naskah asli. Versi Republika (setelah diedit) tanpa bagian yang ditebalkan.
Jumat, 21 Agustus 2009
Langganan:
Postingan (Atom)