Rabu, 31 Maret 2010

Ramadhan, Liburkan Sekolah

Agus Purwanto*)

Misi shaum Ramadhan adalah meningkatnya kualitas dan takaran taqwa (QS 2:183), dan taqwa merupakan barometer sukses hakiki Muslim (QS 49:13). Mempertimbangkan misi istimewa ini mestinya Ramadhan dijalani dan diperlakukan secara istimewa juga. Perlakuan tersebut adalah peliburan sekolah dan pengurangan jam kerja selama Ramadhan.

Kebijakan libur sekolah selama Ramadhan pernah diberlakukan di Indonesia sampai akhirnya dihapus oleh menteri P dan K (1977-1982) Daoed Joesoef (Republika, 24/8/2009). Tidak jelas alasan dihapuskannya kebijakan ini. Pada masa pemerintahan presiden Abdurahman Wahid dengan mendiknas Yahya Muhaimin, kebijakan libur Ramadhan kembali diterapkan. Ramadhan sebaiknya memang libur sekolah. Mengapa?

Negara maju yang mempunyai empat musim seperti Jepang menerapkan libur panjang sekolah selama musim panas. Alasannya, selama musim panas produktivitas rendah karena orang lebih cepat lelah. Siang hari di musim panas suhu dapat mencapai 40 derajat Celcius. Indonesia hanya mempunyai dua musim tanpa musim panas yang ekstrim tetapi tetap mempunyai kurun waktu yang kurang produktif yaitu Ramadhan.

Menurut Rasul SAW, Muslim senang bila Ramadhan akan datang dan sedih bila akan berlalu. Lebih lanjut disebutkan, andai tahu maka Muslim akan meminta seluruh bulan menjadi Ramadhan. Selama Ramadhan Muslim menjalani penggemblengan tidak makan dan minum di siang hari serta banyak shodaqoh. Empati dan rasa kesetiakawanan sosial terhadap sesama dibangkitkan dan dipupuk.

Pada malam hari, Muslim dianjurkan shalat malam atau lebih dikenal dengan shalat tarawih. Tarwiyhun sendiri berarti beristirahat, artinya istirahat panjang di sela-sela shalat malam yang juga panjang-panjang. Usai tarawih dianjurkan untuk tadarus yakni membaca dan mengaji kitab suci Alquran. Sebelum shubuh dianjurkan bangun untuk makan sahur, lalu menunggu saat shalat shubuh dengan mengaji. Muslim diharapkan melakukan peningkatan kualitas ilmu dan iman dengan kajian dan perenungan secara intensif.

Bila hal-hal tersebut dijalani dengan sungguh-sungguh niscaya di siang harinya orang akan mengantuk dan cepat lelah. Karena itu, Rasul SAW menghibur umatnya dengan menyatakan bahwa tidurnya Muslim di siang hari saat Ramadhan adalah ibadah.

Tanpa Kesan

Ramadhan telah datang dan pergi seolah menjadi rutinitas tanpa pernah ada evaluasi terhadap pelaksanaan maupun hasilnya. Umat Islam senang menyambut kedatangan Ramadhan tetapi mereka juga ingin Ramadhan segera berakhir. Umat berbondong-bondong ke masjid untuk tarawih tetapi tarawih dengan surat panjang dan tartil serta lama tidak difavoritkan terlebih di kalangan jamaah usia sekolah. Tarawih semarak di awal, tetapi berkurang signifikan terlebih di sepuluh malam terakhir yang justru mestinya lebih penuh dan semarak.

Tadarus hanya diikuti beberapa jamaah yang umumnya usia lanjut atau yang esoknya tidak terikat kegiatan yang menuntut pemikiran. Para siswa dan mahasiswa yang mestinya dibiasakan dengan kegiatan ini justru tidak berminat. Maklum mereka harus mempersiapkan bahan pelajaran bahkan ujian tengah semester serta menjaga stamina untuk esok harinya.

Bagi anak usia sekolah, Ramadhan berlangsung tanpa suasana istimewa. Para siswa tetap masuk sekolah dan mahasiswa tetap kuliah meski proses pengajaran berlangsung setengah hati dan tidak efektif. Secara umum mereka masuk lebih siang dan pulang lebih awal. Termasuk mereka yang di sekolah fullday, kegiatan hanya berlangsung setengah hari. Ada yang masuk bergantian, sebagian masuk sebagian libur. Di perguruan tinggi, suasa kelas setengah bulan terakhir Ramadhan sering kosong. Untuk menghindari kesulitan transportasi banyak mahasiswa pulang kampung lebih awal dan meninggalkan perkuliahan.

Suasana pengajaran setengah hati bisa dihindari jika sekolah diliburkan selama Ramadhan. Libur Ramadhan tidak berarti menambah jumlah hari atau jam libur melainkan menggeser jadwal libur. Jelas, ini bukan masalah rumit. Libur sekolah selama Ramadhan juga tidak berarti tidak ada kegiatan di sekolah lalu guru maupun dosen tidak datang ke kantor. Libur Ramadhan hanya berarti tidak ada proses belajar mengajar formal, baku dan ketat seperti hari-hari biasa. Selama ramadhan dapat diisi dengan kegiatan pendalaman pemahaman keagamaan dan peningkatan spiritualitas.

Seperti libur musim panas di Jepang dosen tetap datang ke kampus tetapi bukan untuk mengajar melainkan mempersiapkan bahan seminar yang merupakan hasil riset mereka. Sedangkan di sekolah dasar dan menengah ada kegiatan seperti renang di kolam renang sekolah. Artinya, meskipun secara formal libur tetapi kegiatan informal yang tidak mengikat tetap dapat dilangsungkan.

Libur Ramadhan bertujuan meningkatkan efektivitas proses pendidikan itu sendiri. Dengan tidak libur, laporan tahunan akademik memang menyebutkan bahwa jumlah jam belajar-mengajar normal dan tinggi tetapi sesungguhnya telah terjadi penyusutan cukup signifikan. Pendidikan kita makin carut marut khususnya dalam membangun sikap dan karakter peserta didik. Ramadhan mestinya dijadikan momen berbenah dengan berfikir rasional obyektif dan bertindak jujur terhadap kebijakan pendidikan itu sendiri khususnya kebijakan tidak libur selama Ramadhan.

Paradoks Ramadhan

Karena Ramadhan tidak didukung dengan keadaan dan suasana yang tepat maka misi Ramadhan secara umum gagal. Alih-alih menahan diri dari berbagai keinginan yang terjadi justru nafsu konsumeris meningkat signifikan di bulan Ramadhan. Para pelaku bisnis bukan saja di Indonesia tetapi di seluruh dunia berlomba merangsang umat Islam dan berhasil menjadikan Ramadhan sebagai the most important business period. Nafsu berbelanja Muslim meningkat tajam di bulan ini.

Walter Armburst (2004) dari universitas Oxford sempat melakukan penelitian dan mendapatkan bahwa Ramadhan merupakan bulan yang multiguna. Dalam kurun ini ditawarkan dan dijual aneka produk, sifat konsumsi dirangsang dan promosi sikap politik dilakukan dengan lebih gencar. Sedangkan Sandicki dan Omeraki (2006) menyebutkan bahwa gairah beragama selama Ramadhan telah dimanfaatkan para pemilik modal untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya sehingga terjadi komersialisasi Ramadhan. Kita saksikan promosi nginap dan sahur di hotel mewah serta kuiz jutaan rupiah di saat Ramadhan. Ramadhan kehilangan transendensinya.

Pemandangan agak spesifik pernah disampaikan harian di negeri Paman Sam. The Washington Post di salah satu edisinya pada Nopember 2004 melaporkan pengalaman orang-orang asing yang telah tinggal di Saudi dalam rentang waktu cukup lama. Mereka enggan keluar sore selama Ramadhan karena kecelakaan meningkat dibanding bulan-bulan lainnya. Orang Saudi cenderung terburu-buru pulang untuk berbuka puasa. Keadaan yang juga tidak jauh berbeda dengan keadaan negeri kita atau negeri berpenduduk Muslim lainnya.

Presiden terpilih dan menteri pendidikan nasional mendatang perlu mempertimbangkan dan menerapkan membali kebijakan libur Ramadhan. Mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim maka membangun manusia seutuhnya tidak akan terwujud jika mengabaikan karakter dan kultur dasarnya.

Kultur Muslim dalam Ramadhan adalah tidur sedikit dan bangun lama di malam hari untuk aneka ibadah pembersihan diri dan pendekatan menuju Ilahi. Proses ini harus dilakukan sejak dini, sejak usia sekolah. Akibatnya, di siang hari harus dilonggarkan dari aneka beban formal sekolah. Ketika tubuh lelah dan tenaga berkurang maka konsentrasi dan aktivitas berfikir akan menurun. Peserta didik akan turun daya serapnya sedangkan pendidik akan kurang ekspresif dan optimal dalam menyampaikan bahan ajar terlebih yang spesifik. Tanpa itu, Ramadhan akan berlalu dengan biasa-biasa saja dan dunia pendidikan kita hanya akan lari-lari di tempat.

*) Fisikawan ITS dan Kepala Sekolah SMA Sekolah Alam Insan Mulia Surabaya.

Tulisan ini dibuat sesuai Pemilu 2009, sebelum Kabinet Indonesia Bersatu II dibentuk.